(Wawancara Penulis) Emil Amir: Mengangkat Budaya Lokal ke Dalam Cerpen



Oleh: Nastiti Denny 

Halo Sahabat Kampung Fiksi,

Kalian suka menulis cerpen, kan? Berapa banyak dari kalian yang suka mengangkat tema budaya lokal ke dalam tulisannya? Nah, kali ini admin berhasil mewawancarai salah satu penulis cerpen muda berbakat yang cerpen-cerpennya selalu mengangkat budaya lokal sebagai latar cerita. Bernama lengkap Muh. Amir. Emil Amir adalah nama penanya. Lahir di Sinjai, 10 November 1986. Saat ini berdomisili di Makassar.

Sumber: Koleksi Pribadi


Beberapa penghargaan berhasil diraih dari menulis cerpen. Diantaranya: Pemenang II LMCR ICE SELSUN GOLDEN AWARD 2007 PT. ROHTO; Pemenang I Lomba Menulis Cerpen Kolomkita.com 2008; Pemenang Harapan 2 MENPORA 2011. Beberapa cerpennya juga dimuat di majalah SEKAR, majalah GONG, Jurnal Cerpen Indonesia, dan koran KOMPAS. Emil Amir juga terpilih sebagai salah satu penerima fellowship emerging writers Makassar International Writers Festival 2012.

Simak yuk wawancaranya…

  1. Sejak kapan mulai menulis? Awalnya menulis untuk tujuan apa?
Sejak 2006. Saya belajar menulis di FLP Depok. Kisah perjalanan Makassar-Depok ada disiniTujuan menulis awalnya adalah untuk terapi.  Saya menulis di diary lalu saya bakar supaya tidak dibaca orang lain. Tertarik bikin cerpen ketika membaca majalah Annida.

  1. Mengapa cerpen yang dijadikan pilihan? Pernahkah menulis selain cerpen?
Saya suka cerita yang tidak panjang dan sekali habis. Cerpen saya ibaratkan seperti foto. Foto yang sekalli lihat kita bisa bercerita dan ada kenangan di dalamnya.

  1. Siapa cerpenis idola Emil? Mengapa ia layak menjadi idola?
Sebenarnya saya tidak punya cerpenis idola :D Saya lebih suka karya ketimbang orangnya. Tapi kecenderungan saya lebih suka penulis perempuan seperti: Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, Helvy Tiana Rosa, Oka Rusmini, Wa Ode Wulan Ratna. Mereka adalah perempuan-perempuan hebat yang mampu menyuarakan idealismenya.

  1. Berapa banyak penulis-penulis tersebut memengaruhi gaya tulisan Emil?
Berpengaruh dari sudut pandang. Aku belajar diksi dari karya mereka.

  1. Adakah waktu khusus untuk menulis dalam sehari? Berapa jam?
Tidak. Saya menulis ketika momen ada. Saya tidak menulis setiap hari.

  1. Menurut Emil, apa hal yang penting untuk dikembangkan dalam menulis cerpen?
Komposisi antara narasi, deskripsi dan dialog yang seimbang. Pemilihan diksi, dan tentu saja tema yang memikat.

  1. Dari sekian banyak cerpen yang Emil tulis, cerpen mana yang paling berkesan? Mengapa?
Cerpen yang berjudul Calabai.

Calabai adalah cerpen pertama saya yang mengangkat budaya lokal. Saya menulis cerpen tersebut di Depok, ditantang oleh teman-teman saya untuk mengangkat budaya dimana saya berasal. Saya browsing, cari buku tentang Bugis. Akhirnya dapat tema cerita tentang Bissu; pendeta agama bugis kuno yang kebanyakan waria. Ini menarik sekali sampai saya terobsesi. Cari literatur sampai bela-belain datang ke penerbit yang membahas hal tersebut. Selama lebih dari 5 bulan saya mengumpulkan bahan. Menuliskannya hanya seminggu selesai. Pakai tulis tangan waktu itu. Lalu ke warnet untuk ngetik dan disertakan lomba. Alhamdulillah menang! Hadiahnya saya belikan laptop. Tahun 2007 waktu itu.Sejak saat itulah saya merasa senang mengangkat kisah-kisah lokal dalam karya saya.

  1. Cerpen Emil yang dimuat dalam kumpulan cerpen Dunia di Dalam Mata berjudul “Hajrah, Langkahi Jenazah Suamimu" sangat menarik baik dari segi tema maupun konflik yang diangkat. Boleh tahu kisah yang menginspirasi cerita ini?
Pernah saya nguping omongan tante saya; kalau janda ditinggal mati tidak melangkahi jenazah suami bakal jadi janda gatal yang selalu merindukan laki-laki. Ga jelas sih ritualnya gimana dan saya malu menanyakannya tapi saya teringat terus.

Nah, saat saya kerja di mal ada dua karyawan perempuan yang sering cekcok, sampai-sampai puncaknya mereka dikeluarkan karena perkelahian fisik. Justru saya tertarik dengan status mereka. Satunya belum menikah tapi sudah berumur, satunya janda beranak satu. Imajinasiku tiba-tiba main. Jika dua karakter itu dipertemukan seru kali ya?

Soal endingnya tentang obat kuat itu saya dapat di lembaran iklan koran lokal yang selalu semarak dengan ramuan obat kuat. Sementara masalah lesbiannya baru kepikiran saat menulis cerpen itu. Barangkali itu adalah pesanku yang ingin mengolok-olok laki-laki yang kadang menggunakan obat kuat untuk egonya sendiri :D

Ternyata ide bertebaran di mana-mana ya, Sahabat Kampung Fiksi. Tinggal bagaimana kita mencermati kemudian mengolahnya menjadi cerita yang menarik;)

  1. Cerpen Emil kebanyakan bertema budaya lokal. Adakah hal khusus yang ingin disampaikan pada pembaca melalui tema tersebut?
Saya ingin budaya itu tetap ada. Beradaptasi tanpa kehilangan jati diri. 

  1. Apakah menurut Emil cerpen dengan tema budaya lokal memiliki kesempatan lebih banyak untuk menembus surat kabar semacam Kompas ataupun majalah seperti Femina, misalnya?
Untuk saat ini, iya. Di luar itu semua, masih banyak cerita daerah Indonesia yang belum digali, khususnya Indonesia Timur. Tentu bukan tema lokalnya saja, tapi cara penyajiannya juga mesti jitu jadi tidak hanya sekedar tempelan.

  1. Apakah saat ini Emil aktif di komunitas penulis? Kalau ya komunitas apa saja dan seberapa banyak kontribusi aktivitas komunitas tsb berarti dalam mengembangkan tulisan?
2006-2009 saya aktif di FLP Depok. Di sini saya lahir sebagai cerpenis.

Guru saya di FLP Depok adalah Denny Prabowo, Koko Nata, Noor H Dee, Ratno Fadillah. Tiap bulan kami Bakar Sate (Bahas Karya Sambil Telaah).
 
2009 sampai sekarang tidak begitu aktif. Ada sih sekarang komunitas Lego Lego saya ikuti tapi tidak terikat. Sebenarnya saya lebih suka tidak terikat pada sebuah komunitas sehingga bisa keluar masuk komunitas lainnya tanpa ada pengkotak-kotakan.

  1. Sebagai penulis yang terpilih untuk menghadiri Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2013, bagaimana pendapat Emil tentang ajang tersebut? Seberapa besar manfaatnya bagi penulis dan pembaca tanah air?
Ajang tersebut sangat luar biasa manfaatnya. Kita bisa mengenal banyak penulis dari dalam dan luar negeri. Hanya saja, karena terlalu banyak panel yang bertabrakan waktunya, saya tidak bisa menghadiri semuanya.

UWRF itu bisa memotivasi saya sebagai penulis tanah air untuk terus berkarya. Sebab penulis luar negeri sebenarnya sangat ingin tahu Indonesia. Khususnya budaya lokal yang ada di Indonesia.

  1. Yang terakhir, adakah pesan-pesan Emil buat penulis muda agar menghasilkan karya fiksi yang menarik sekaligus menggugah?
Buat saya menulis itu jangan kayak mesin atau cuma ingin mengikuti pasar. Tapi cobalah gali terus apa yang ingin kita ketahui sampai ke dalam-dalamnya. Pastikan dimasak dengan enak sebelum dihidangkan ke pembaca. Saya percaya tiap individu punya olahan tangan (mewakili suara hati dan pikiran) yang berbeda dan unik. Selamat menulis!

Sekian dulu wawancara dengan Emil Amir. Semoga Sahabat Kampung Fiksi mendapat banyak hal yang bermanfaat di dalamnya. 

Sampai jumpa di wawancara berikutnya!
 

4 comments:

  1. Keren ih... Sudah lama banget saya juga kepingin nulis2 yg ada hub sama budaya maluku/minahasa/banjar, akar budaya keluarga saya gitu.. Kayaknya mmg harus dilaksanakan bukan dipikir2 saja :')

    ReplyDelete
  2. senang sekali mas emil bisa bagi ilmunya :')
    keren

    ReplyDelete
  3. wahh makasih udah jadi inspirasi saya :)))

    ReplyDelete