(Cerpen KF) Selimut Ramadan

Oleh: Safinah Hakim


Selimut adalah kain pemberi nyaman, penghangat saat tidur. Semua orang ingin nyaman, oleh karena itu semua orang butuh selimut. Selimutku berwarna putih kusam bergaris  abu-abu. Meskipun kusam, setiap hari selimut ini membuatku nyaman. Selimut ini membantuku melupakan masalah. Setidaknya saat tidur.

Tapi malam ini sunguh berbeda. Selimut ini tak bisa memberiku kenyamanan. Kumatikan lampuku berharap lebih menenangkanku, tapi nyatanya semakin mencekam. Selimut ini tak mampu mententramkanku dan menenangkanku. Aku memikirkan mereka. Mereka adalah Arka, Rahmat, Sekar dan 18 anak lainnya. Mereka sahabatku, penyemangatku, dan adik-adikku yang kini tinggal, berbagi semangat, senyum dan tangis rumah singgah ini. Rumah singgah "Sahabat". Begitu Ibuku memberi nama rumah singgah ini.

Entah mengapa Ibuku memberi nama rumah singgah ini dengan nama "Sahabat". Mungkin Ibuku menganggap anak-anak yang ada di sini adalah sahabatnya, atau mungkin juga Ibu berharap semua yang ada di rumah singgah ini bisa bersahabat. Aku juga bertanya mengapa Ibu lebih memilih memberi nama rumah ini sebagai rumah singgah, bukan panti asuhan. Padahal, faktanya hampir semua anak di sini adalah anak yatim piatu. Lalu, ibu dengan tegas berkata bahwa rumah ini adalah rumah persinggahan mereka sebelum menuju kesuksesan, bukan panti asuhan yang kadang hanya menimbulkan kesan mengiba ke orang lain.

Lima tahun lalu, tiba-tiba Ibu dan Bapak pulang membawa seorang anak. Mereka bilang, mereka bertemu anak itu di pinggir rel jalan. Anak itu lusuh, dan tak tahu harus pergi ke mana. Ibu dan Bapak sudah membuat laporan ke kantor Polisi terdekat, tapi nihil. Tak ada keluarga yang merasa kehilangan anak laki-laki berusia 5 tahun itu. Anak itu bernama Arka. Kedatangan Arka, diikuti kedatangan anak-anak yang lain. Ada juga yang dititipkan oleh orangtuanya langsung, dengan alasan tak mampu menahan biaya hidup sang anak.

Dari mana Ibu dan Bapak mendapatkan uang untuk memberi makan dan menyekolahkan mereka? padahal Ibu dan Bapak cuma PNS golongan pas-pasan. Sekali-sekali Ibu menjahit baju untuk orang lain. Tapi Ibu bilang, Tuhan selalu memberikan selimut kedamaian serta selimut rejeki kepada anak-anak sehingga rumah singgah ini bisa bertahan hingga saat ini. .

Lalu keadaan berubah cepat. Tepat tiga bulan yang lalu, Ibu dan Bapak meninggal dalam kecelakaan motor. Lalu, tinggal aku di sini bersama anak-anak rumah singgah. Aku tak larut dalam kesedihan memikirkan kepergian Ibu dan Bapak, tapi yang aku pikirkan setiap hari adalah bagaimana cara memberi makan anak-anak di rumah singgah yang berjumlah 21 anak ini. Aku, freshgraduate, baru saja mendapatkan kerja di perusahaan telekomunikasi yang cukup ternama. Tapi, apa yang bisa gaji freshgraduate ini bisa memberi makan 21 anak. Oh ya, plus biaya sekolah mereka.


Aku menarik selimut putih kusam bergaris abu-abuku ini menutupi ujung kepala. Kuingat, Pagi ini aku ke ATM untuk mengecek berapa rekening tersisaku. Bergetar rasanya, saat mengetahui rekeningku hanya Rp. 325.000. Ya Rabb, aku harus bagaimana. Kurasakan ujung mataku tergenang air. Rasanya aku terlalu letih menangis, lalu aku tertidur.

####

" Bindu, kenapa? " kata Mahesa membuyarkan lamunku. Mahesa, teman dekatku. Aku sudah mengenal Mahesa sejak tingkat satu di bangku kuliah. Kita mengikuti kerja praktik lapang mahasiswa bersama, wisuda bersama, melamar pekerjaan bersama, dan diterima di satu perusahaan yang sama. "Sakit?".

"Eh, enggak. Mungkin karena lapar. Makan yuk,"ajakku. Lalu tanpa banyak bicara kita menuju warung makan di samping kantor.

" Senyum dong. Banyak yang bilang, yang pelit senyum akan cepat tua loh," goda Mahesa

"Ah, kamu ada-ada saja. Toh, pada akhirnya, semua juga akan tua," Aku menarik ujung bibirku. Tersenyum.

"Eh, bagimana kabar Arka? Sudah lama aku tak main ke rumahmu dan bercanda dengan mereka," tanya Mahesa sembari makan mi ayam yang baru kita pesan. 

Ah, kenapa Mahesa mengingatkanku pada Arka di momen makan siang yang aku harapkan jadi waktu pelarianku melepaskan pikiran tentang mereka. Aku terdiam. Ujung mataku basah, airmataku meleleh.

"Bindu, Kamu kenapa?"

"Aku bingung,"Aku terisak. 

"Kenapa?, urusan kantor? Bos kamu berulah lagi? "

Aku terdiam. Aku malu bercerita. Aku ingat Ibu bilang Aku tak boleh meminta belas kasihan dari orang lain. Tapi sungguh Bu, kali ini Aku bukan meminta belas kasihan. Aku hanya ingin bercerita kepada orang lain, meringankan bebanku. Bukan meminta belas kasihan. "Bukan. Ini tentang Arka juga teman-temannya."

Mahesa terdiam, tak berkomentar. Matanya menatap mataku seakan bermakna permintaan untukku melanjutkan cerita.

"Mahes, Aku bingung. Aku bingung bagaimana cara membiayai hidup dan pendidikan anak-anak di rumah singgah sahabat "

"Bukannya ada donatur tetap di rumah singgah itu?"

"Ibu dan Bapak tak pernah menerima sumbangan dari donatur tetap. Mereka gerah. Seringkali orang yang mengaku sebagai donatur itu menyalahgunakan status itu untuk meminta belas kasian ke orang lain, tapi seringkali hanya sebagian saja yang masuk ke Rumah Singgah kita".

"Lalu apa rencanamu?"

"Belum tahu. Aku mungkin mau mencari part-time job. Aku sungguh tak akan mampu membiarkan mereka kelaparan"

"Bindu, ini sulit. Belum tentu semua orang akan berbuat yang negatif terhadap rumah singgahmu itu. Itu hanya oknum. Masih banyak orang yang di luar sana rindu untuk berbuat baik, dan mereka menunggu kesempatan untuk itu. Salah satunya mungkin lewat Rumah Singgahmu itu. "

"Ya, mungkin. Tapi aku belum bisa"

Tak ada tanggapan dari Mahesa. Akupun terdiam. Aku berfikir, mungkin Mahesa benar.

###
Hari sudah malam. Aku menarik selimut putih kusam bergaris abu-abu kesayanganku. Malam ini selimut ini benar-benar membuatku tenang. Sejak Ibu dan Bapak meninggal, belum pernah aku setenang hari ini.

Malam ini, tepat 1 Ramadhan. Setelah shalat tharawih berjamaah, Arka dan teman-temannya menuju ke tempat tidur masing-masing. Semua anak-anak bersemangat untuk tidur dan bangun untuk sahur esok hari. Mereka terseyum lepas, dan ini yang membuatku terus semangat untuk mendukung mereka mencari masa depan lebih baik setelah mereka merasa cukup waktunya tinggal di rumah singgah ini.

Untuk esok hingga hari ke-30 Ramadhan, ada donatur yang bersedia memberi santunan makanan untuk berbuka dan sahur mereka. Setelah makan siang dengan Mahesa kala itu, Mahesa membantuku dengan menginformasikan perihal rumah singgahku ke teman-teman kantor. Satu-persatu mengajukan diri untuk membantu anak-anak di rumah singgah ini. Pada bulan Ramadhan, sedakah yang diberikan akan berganjar pahala berkali-kali lipat, begitu katanya.

Mahesa benar, ada kalanya kita harus memberi kesempatan teman-teman yang lain untuk berbuat baik, untuk meminjamkan selimutnya kepada yang merasa kedinginan.

Selimut yang menenangkan tidurku bukan hanya selimut putih kusam bergaris abu-abu ini, tapi juga selimut lain yang bernama Ramadhan. Selimut Ramadhan ini, menyelimut Arka dan teman-temannya, Aku, dan mereka yang berbaik hati berbagi selimutnya di Ramadhan ini.

Bagaimana nasib anak-anak nanti setelah Ramadhan? Ah, tidak usah dicemaskan. Tuhan masih punya banyak persediaan selimut untuk mentrentamkan hati umatnya. SEperti Ibu pernah bilang, Tuhan selalu memberikan selimut kedamaian serta selimut rejeki kepada anak-anak sehingga rumah singgah ini bisa bertahan hingga saat ini. Dan lagi, Aku sekarang punya teman yang akan membantuku, Mahesa. Oh ya, Mahesa melamarku kemarin.

***

Pengarang cerpen terpilih #CeritaRamadan Minggu ke-2 ini berhak mendapatkan satu buah USB modem Wifi DF78AH dari Smartfren.


0 Spots:

Post a Comment