Gulita mengkudeta malam, ketika Joko terbangun. Dia
sungguh terkejut ketika mendapati ada darah
di kepala, lengan, dan telapak tangannya. Dia sungguh tak tahu mengapa
darah-darah itu bisa ada di tubuhnya.
Beribu pertanyaan membuncah di kepalanya, darah siapa ini? Apakah ini darahnya?
Mengapa dia sampai berdarah? Apakah ada yang membubuhnya? Ataukah dia bunuh
diri? Atau jangan-jangan ini darah orang lain. Kalau darah orang lain mengapa
darah itu ada padanya? Jangan-jangan dia telah
membunuh orang. Dia bergidik, dia merinding, dia ketakutan. Dia mencoba memeras otak, berpikir dengan
keras kejadian yang terjadi hari ini. Menelaah dengan teliti lapisan memori
otaknya, mencoba mengurut kejadian-kejadian hari ini.
Pagi tadi Joko bangun seperti biasa. Pukul tujuh
pagi di dering weker yang entah ke berapa. Dia mandi seperti biasa, di kamar
mandinya yang penuh tissue dan celana dalam kotor bekas pakai yang sudah
seminggu lebih dibiarkan tergeletak tak berdaya di sudut kamar mandi. Dia
menggosok badannya dengan sabun dua kali, membilas tubuhnya dengan air dan
mengeringkan tubuhnya dengan handuk
berwarna biru berbau apek akibat tak pernah terkena sinar matahari, hanya
digantung seadanya di paku di dinding kamar. Dia tidak sarapan pagi ini, jadi tidak
sikat gigi hanya kumur dua tiga kali menggunakan obat kumur. Jadi sehabis
mandi, dia langsung mengenakan pakiannya, baju kemeja berwarna biru langit dan
celana bahan hitam dari katun sambil
memikirkan materi presentasi yang akan
dia sampaikan untuk meeting bersama klien di kantor jam sebelas nanti. Tepat
pukul delapan pagi dia meninggalkan apartemennya,
tanpa sempat membereskan tempat tidur bahkan tanpa menjemur handuk basah yang
tergeletak begitu saja di tempat tidur. Jelaslah darah-darah di tubuh Joko sekarang, bukan berasal dari waktu
pagi, ketika dia bangun tidur dan bersiap bekerja.
Joko sampai di kantornya tepat pukul sembilan kurang lima
menit. Setelah berdesak-desakan dengan banyak orang di trans Jakarta. Selama
empat puluh menit neraka itu, dia harus rela digencet berbagai macam orang.
Kakinya pegal akibat lama berdiri, belum lagi tadi hak sepatu tinggi seorang
wanita tak sengaja menginjak ujung sepatunya. Meninggalkan bekas tak enak
dilihat, mengingat dia baru saja menyemir sepatunya kemarin sore dengan semir
sepatu terbaik. Untung saja yang menginjak sepatunya adalah wanita cantik,
kalau tidak sudah disuruhnya penginjak itu
menjilat sepatunya sampai bersih. Hal pertama yang dilakukanya begitu sampai di
mejanya di pojokan adalah menyalahkan komputer. Baru ada Udin satpam kantor.
Bos mereka dan tiga orang teman kantornya belum kelihatan batang hidungnya. Jam
aktif kantor mereka memang selalu dimulai pukul sepuluh pagi, dia sengaja
datang lebih cepat karena ingin mempersiapkan diri lebih baik di presentasi dengan
klien nanti. Sambil menunggu proses booting, dia berlalu ke pantry membuat kopi untuk diri sendiri. Satu sendok kopi,
satu sendok gula sedikit creamer
dan air panas. Dia kembali ke mejanya
dengan gelas dan kopi yang mengepul.. Jelaslah darah-darah di seluruh tubuh
Joko sekarang bukan berasal dari waktu pagi ketika dia memulai aktivitas di
kantornya.
Pukul sepuluh, semua teman kantor termasuk bosnya
telah berkeliaran di kantor.
“Sudah siap presentasi proyek terbaru kita, Ko?” kata si Bos yang kepalanya botak
dan berkumis.
“Semangat kawan! Kalau kau memuaskan klien kau
berhasil.” Kata Bayu teman sekantor paling akrab.
“Do your best!”
“You can do it!”
Kata-kata
penyemangat yang diamini Joko dengan sungguh-sungguh dalam hati. Matanya tak
lepas dari layar computer, melihat adakah kekurangan dari proyek yang akan dia
presentasikan. Setelah merasa puas, dia meraih rokok dari bungkusnya di atas
meja. Merokok membuat pikiranya tenang. Kopinya telah bersisa ampas. Dia segera
menuju ke pantry, membuat kopi gelas kedua. Pukul sebelas presentasi berjalan
lancar. Dua jam yang menuras tenaga, pikiran dan tentunya adrenalin itu
berakhir dengan ucapan selamat dari klien, Bos, dan rekan-rekanya
“Kau memang hebat, Joko,” kata si Bos. Saat itu SMS dari Lastri muncul ke HPnya, mengajak
Joko makan siang. Jelaslah darah-darah di seluruh tubuh Joko sekarang bukan
berasal dari waktu pagi menjelang siang setalah dia presentasi dan sebelum
makan siang dengan Lastri.
Makan
siang dengan Lastri berjalan lancar. Mereka makan di sebuah restaurant yang
menyediakan steak dan burger sebagai hidangan utama. Lastri memesan tenderloin
ukuran besar, dengan saus berbeqyu dan segelas es lemon. Joko memilih burger
sapi berukuran sedang dan segelas jus alpukat. Mereka menghabiskan makan siang
mereka dalam diam. Lastri yang biasanya banyak bicara, lebih banyak diam siang
tadi.
“Kenapa kau diam saja? Adakah yang menganggu
pikiranmu?” Joko bertanya ingin tahu.
“Aku ingin
menikah!” Tanpa basa-basi Lastri berkata serempak. Joko hampir saja
menelan bulat-bulat daging sapi dalam burgernya.
“Mengapa?”
“Aku hamil!”
“Kau yakin?”
“Sudah tiga bulan.”
“Baiklah, mau apalagi. Aku akan menghadap kedua
orang tuamu.” Kata Joko.Lastri memegang tangan Joko erat. Dia tersenyum manis,
menampakan gigi-gigi putihnya yang seperti mutiara. Jelaslah darah-darah di
seluruh tubuh Joko bukan berasal dari waktu siang ketika dia dan Lastri makan
siang.
Sehabis makan siang dengan Lastri kondisi psikis Joko berubah seratus
delapan puluh derajat. Seluruh otaknya dipenuhi dengan bayi dan bayi. Joko
mencintai Lastri dan demi apapun, dia akan menikahi perempuan itu. Tetapi dia
merasa belum siap menikah menjadi suami sekaligus ayah. Dia memang mempunyai
karir yang lumayan cemerlang, dia
mempunyai sebuah apartemen
yang dirasanya cukup sebagai tempat hunian bersama Lastri. Tetapi sesuatu dalam
dirinya meninginkan kebebasan. Dan tiba-tiba kegundahan pelan-pelan merayapi
hati Joko, menciptakan rasa sesak tak enak di dada. Dia terus gunda sampai jam
kantor berakhir, sampai saat pulang dan berdesak-desakan dengan penumpang Trans
Jakarta, sampai saat tiba di apartemennya,
sampai saat merebahkan tubuhnya yang masih memakai kemeja biru dan celana bahan
di atas tempat tidur yang tak diatur, sampai saat dia menutup mata dan
tertidur. Jelaslah darah-darah di tubuh Joko tidak berasal saat dia kembali
lagi di apartemennya.
Lalu dari mana darah-darah ini berasal? Joko
frustasi. Dia memandang tanganya yang berdarah. merasakan kepalanya yang
berlumuran darah. Darah itu masih segar, bahkan belum membeku. Darah itu
pastilah menempel di tubuhnya belum lama. Tetapi darah siapa ini? Joko semakin
frustasi. Dia berteiak kencang berharap frustasinya mengilang, berharap darah
ditanganya hilang.
“Anda tak apa-apa, Pak Joko?” Dua orang perawat
berseragam putih tiba-tiba datang menghampirinya.
“Siapa kalian? Apa yang kalian lakukan di kamarku?”
Tanya Joko garang. Dia menatap perawat-perawat itu marah. Kedua peawat itu
saling menatap.
“Astaga segera panggil dokter Latip.” Kata seorang
kepada yang lain. Joko semakin bingung, lebih bingung lagi ketika melihat darah
di tubuhnya menghilang. Tiba-tiba dia ingat, dari mana darah-darah itu muncul.
Joko terbangun tepat pukul tujuh, mandi,
mengeringkan badan, tidak sarapan dan tidak sikat gigi hanya berkumur dengan
obat kumur, berpakian dan berangkat ke kantornya menggunakan Trans Jakarta.
Joko tiba di kantor pukul Sembilan, Bos dan teman-temannya telah menunggu dia
dengan muka lesu dan kuyu. Aneh biasanya, teman-temannya baru tiba di kantor
pukul sepuluh siang. Dia bahkan tidak sempat menyalakan computer, merokok dan
membuat kopi.
“Klien membatalkan kontrak, Joko. Kau tidak jadi
presentasi Kantor kita bangkrut.” Kata bos dengan sedih. Joko tak percaya.
Bertepatan dengan itu SMS dari Lastri mengajak bertemu. Mereka bahkan belum
memesan makan ketika Lastri berkata.
“Aku ingin
menikah!”
“Mengapa?”
“Aku hamil”
“Kau yakin?”
“Sudah tiga bulan!”
“Baiklah aku akan menghadap orang tuamu. Kita akan
menikah.”
“Ini bukan anakmu.”
“Maksudmu?”
“Ini anak laki-laki lain. Aku ingin kita putus.”
Perkataan lastri membuat kemarahan besar menguasai Joko. Rasa stress karena
kehilangan pekerjaan dan kehilangan Lastri bercampur jadi saksi. Dia bangkit
menampar Lastri. Lastri jatuh
terjerambab ke lantai. Darah mengalir dari sela-sela pahanya. Suasana
restaurant menjadi ribut dan semrawut. Joko bangkit dan menghampiri Lastri, dia
ingin mencekik leher perempuan
itu dan saat itulah Lastri memukul kepala Joko keras menggunakan piring kaca
yang berat. Joko tak ingat apa-apa lagi.
Astaga
darah di tubuhnya itu adalah darahnya
sendiri, darah akibat pukulan Lastri. Kini Joko ingat semuanya.
“Anda baik-baik saja, Pak Joko?” tanya perawat yang tetap
tinggal bersama dia.
“Lastri memukul kepala saya, saya dipecat dari
pekerjaan, ada darah di seluruh tubuh saya,”
ujar Joko cepat.
“Ada apa dengan dia? Apakah dia baik-baik saja?”
Dokter Latip muncul di ruangan itu. Bersama perempuan berseragam putih yang
tadi memanggil dia.
“Pak Joko sudah mengingat kembali, Dok. Ingatannya
sudah kembali. Sepertinya dia telah sembuh
dan normal kembali” Kata perawat
yang bersama Joko. Dokter Latip menatap Joko.
“Anda sudah dapat mengenal semuanya, Pak Joko?”
“Dimana Lastri? Aku ingin perempuan itu membalas apa
yan dia lakukan kepadaku” Tanya Joko. Dia menatap dokter Latip dengan tajam.
Ada dendam membara di matanya.
"Astaga, Dok. Dia belum sembuh seutuhnya. Dia
tidak ingat telah membunuh kekasihnya,"
bisik salah seorang
perawat. Dokter Latip si ahli jiwa menganguk-anguk. Sepertinya Joko masih harus
dirawat dalam
waktu yang lama. Sudah enam bulan sejak hari dimana Joko dipecat dari kantornya
dan membunuh kekasihnya Lastri di restaurant. Sepertinya dia membutuh waktu lebih
lama lagi di rumah sakit jiwa ini..
-TAMAT-
Lengket. Amis. Anyir. "Apa ini?" Joko memandang tangannya, "Apa ini?!?" Teriaknya sambil menendang selimut dari tubuhnya. Darah. Joko tahu itu darah. Darah segar yang lengket. Cepat-cepat dia melompat dari tempat tidurnya. Seprai putih kusut bekas tempatnya berbaring juga penuh bercak darah, begitu juga bantal dan guling yang tadi menemaninya tidur. Dipeganginya kepalanya. Rambutnya terasa basah. Cepat-cepat dia berlari ke kamar mandi. Kaca, dia perlu kaca. Ada apa ini? Apakah dirinya terluka? Dia tidak merasa ada bagian tubuhnya yang perih dan pedih seperti umumnya bila ada luka yang menganga. "Ini gila," gumamnya seperti orang linglung. Bayangannya di kaca tidak baik-baik saja. Dia berlumuran darah, tetapi tidak ada sedikitpun luka yang dapat ditemukannya di sekujur tubuhnya.
ReplyDeleteKepala Joko terasa berdetum-detum, detak jantungnya menggedor-gedor ruang di dadanya, begitu keras sehingga ia merasa sakit seperti ditunju telak sekali tepat di ulu hatinya. Apa yang sudah terjadi kenapa dia tidak bisa mengingat darimana asal darah di tubuhnya ini?
Tarik nafas panjang, katanya kepada dirinya sendiri. Atur nafasmu, Joko. Tenang. Tenangkan dirimu. Berpikirlah, berpikirlah, apa yang sudah terjadi? Diaturnya nafasnya sambil memandang sekeliling kamar mandi. Dari jendela kaca di atas bathtub dia dapat melihat langit malam yang gelap gulita. Jam berapa ini? Cepat-cepat diangkatnya tangan kiri tempat arloji biasa dikenakannya. Pukul sebelas lebih sepuluh menit. Pukul sebelas malam! Berarti dia sudah tertidur berapa lama sejak pulang ke rumah tadi?
****
Wakakakakaaa, sori ya Jen, gw vandalisme cerpen lo ini sebaaab.... gw jadi dapat ide ih. Pengen bikin kuis, tuliskan kembali cerpen anggota KF, ceritanya sama, tapi boleh diubah gimana mau menceritakannya dan mau mulai dari adegan yang mana dulu. Dengan begitu kan jadi lebih interaktif dan sama-sama belajar nulis ulang cerpen, jadi mirip2 fanfic sih tapi bukan juga, semacam, satu ide bisa dipakai banyak orang dan menghasilkan cerita berbeda-beda atau peenceritaan yang berbeda-beda. Sambil main-main tapi kayaknya asyik sih :p
what do you think of this idea? ^_^
DeleteKerenn banget idenya...
ReplyDeleteYang pertama, sebagai penulis cerpen kita bisa melihat lobang yang tidak kita lihat di cerpen kita.. Kaya di cerpen gue, gue sama sekali ga showw dan ga ekplore perasaan Joko waktu lihat darah itu dan di remake Mbak G ada..
Jadi sama-sama belajar yah!
Keren idenyaaaa
Joko bangkit dan menghampiri Lastri, tangannya meraih garpu makan Lastri. dia mengarahkan jemari garpu pada wajah Lastri.
ReplyDelete"Kamu pengkhianat!"
Perempuan itu menahan diri, mencoba menjauh, tapi tangannya menarik taplak meja dan terjatuhlah semua hidangan, saat itu sebuah kaki yang lain tersandung, dan garpu di tangang Joko menancap tepat di leher Lastri.
****
cuma mampir.
Hai hai :) Makasih udah mampir ^_^
Deletecuma mampir, baca, menikmati. :)
ReplyDeleteMiss G, aku Novi yang baru ikutan. Aku kagum sama penulis yang bisa mendeskripsikan situasi dan kondisi sebuah cerita, sampai daku yang bacanya larut. Cerita ini fokus sama kasus 'darah yang menempel di tubuh Joko'. Itu dulu ya Miss G. Ada bagian logika yang menurutku agak diluar nalar. Entah penulisnya riset dulu ato tidak. Aku harus baca ulang buat memahami keseluruhan logika cerita.
ReplyDeleteSalam kenal juga buat sang Penulis, Mbak Ajen.
ReplyDelete