Gari Rakai Sambu : Setiap Penulis Mempunyai Caranya Sendiri

Gambar diambil dari : koleksi foto pribadi Gari


Hai, Sahabat Kampung Fiksi, sudah pada baca khan cerpen keren yang dimuat di blog tercinta ini di hari Minggu, 4 November lalu, yang judulnya "Republic Move On"?

Nah, Kampung Fiksi berkesempatan untuk mewawancarai Gari yang dengan baik hatinya meladeni pertanyaan-pertanyaan yang kami ajukan, dengan ini kita semua berkesempatan sedikit mengenal lebih baik sosok di balik "Republic Move On" yang membuat kita jadi ingin ikut move on juga dari masa lalu yang mungkin masih menahan langkah kita untuk bergerak maju.

Lalu, ada hubungannya tidak sih antara membaca dan menulis? Bagaimana kalau saat sedang menulis, kita merasa mentok, atau mungkin mengalami yang sering dibilang writer's block? Apa Gari sendiri merasa karyanya itu keren? Hmm, kira-kira dari mana sih Gari mendapatkan sumber inspirasinya? Dan ingin dikenal sebagai penulis seperti apa ya Gari?

Mau tahu jawabannya? Stay tune yaa dan pastinya ikutin terus sampai selesai yaa, yukk marii..


~.*.~

Bisa ceritakan tentang perjalanan menulis kamu?

Secara profesional, saya mulai menulis kelas 3 SMA. Waktu itu jamannya teenlit lagi booming. Ayah saya yang penulis juga, nyaranin saya untuk nulis novel. Beliau menyarankan untuk nyoba masukin naskah ke salah satu penerbit Jogja. Akhirnya novel itu saya tulis selama satu setengah bulan, masukin ke penerbit, dan terbit dengan judul “Gebetan Instan.”

Beberapa bulan setelah “Gebetan Instan”, saya bikin lagi novel yang lebih pendek berjudul “Jomblo No More”, terbit di penerbit yang sama. Novel ketiga saya terbit nggak lama kemudian, berjudul “Miss Jablai”.

Setelah “Miss Jablai”, akhirnya saya kerja di penerbit tersebut sebagai editor. Dan sampai sekarang, saya masih jadi editor di penerbit yang sama, khusus menangani buku-buku fiksi.

Selama bekerja jadi editor, saya gak berhenti menulis. Dua buku lagi terbit, baik fiksi maupun non-fiksi. “Penyunting Sinting” adalah karya non fiksi saya yang diterbitkan penerbit Jakarta, berisi pengalaman saya selama jadi editor buku, ditulis dengan gaya humor. Untuk buku fiksinya, berjudul “Tunggu Aku di Pintu Surga.”

Sekarang sehari-hari saya masih ngedit buku, sambil nulis berbagai proyek malam harinya.


Sejak kapan mulai suka menulis? Pengalaman menarik apa yang didapat selama menulis?

Saya jatuh cinta dengan menulis sejak kelas 2 SD. Waktu itu guru Bahasa Indonesia ngasih PR mengarang kegiatan liburan. Saya nulis tentang liburan yang menyenangkan ke rumah Kakek di Madiun, Jawa Timur. Saya nulis dengan semangat membara. Dengan sepenuh hati. Tapi Bu Guru cuma ngasih nilai 7, nilai terendah di kelas, yang lain minimal dapat 8. Saya sakit hati. Saya merasa tulisan saya bagus, tapi kenapa dikasih nilai terendah? Akhirnya dari situ saya mulai semangat nulis. Apa pun saya tulis. Segala hal yang menjadi kegelisahan saya waktu itu, saya curahkan dalam bentuk tulisan. Saya pengen nunjukin pada Bu Guru dan dunia, bahwa saya bisa nulis. Bahwa tulisan saya layak dihargai lebih dari “7”.

Jatuh cinta dengan fiksi, khususnya novel, waktu baca “Oliver Twist”-nya Charles Dickens pas SMP. Saya kasihan sama Oliver yang hidupnya menderita. Hati saya tersentuh. Sejak saat itu, saya coba nulis tentang hal-hal yang menyedihkan. Tapi gak pernah bisa. Soalnya saya seneng yang lucu-lucu juga kayak “Lupus”, “Olga Sepatu Roda”, dan buku-buku Hilman lainnya. Jadi, akhirnya saya memutuskan untuk menulis dengan jujur. Mau menyedihkan atau lucu, yang penting saya nulis dengan jujur dan tulus.

Pengalaman menarik kayaknya waktu buku keempat saya, “Penyunting Sinting” terbit. Waktu itu saya diminta untuk talkshow dalam rangka promosi. Jujur saja, itu pertama kalinya saya bicara di depan publik tentang karya saya. Bisa dibayangin kan, groginya kayak apa? Tambah lagi, di acara talkshow itu banyak editor senior yang duduk di kursi penonton. Tambah kederlah saya waktu itu. Dan talkshow itu berakhir dengan banyak suara jangkrik di sana-sini *krik krik krik*

Ada pengalaman menarik lain. Lain waktu, saya sempet diminta mengisi talkshow di Magelang. Yang hadir anak-anak SMA. Di acara itu saya ngasih workshop kilat tentang penulisan kreatif dan cara nembus penerbit. Untungnya saya udah nggak grogi. Setelah acara selesai, saya dibawa ke sebuah ruangan untuk istirahat. Di ruangan itu ada pengisi talkshow lain : seorang kakek tua berwajah bijak. Saya memperkenalkan diri pada dia, tapi dia nggak nyebut nama. Dari cerita yang dia omongin, saya akhirnya nyadar kalo dia juga penulis. Kayaknya sih sastrawan. Dari mulutnya mengalirlah berbagai cerita dia sejak mulai menulis, kerja jadi editor majalah sastra, sampai kehidupannya sekarang yang masih pengen hidup “nyastra.” Sampai titik itu saya masih belum tau siapa dia. Saya nggak tega motong pembicaraan untuk menanyakan nama dia, soalnya dia bercerita dengan cukup menggebu-gebu. Setelah sekitar satu setengah jam dia cerita tentang hidupnya, tiba-tiba seorang panitia acara masuk ke ruangan. Dengan sopan, dia ngomong ke si kakek tua berwajah wibawa, “Pak Ahmad Tohari, bisa naik ke atas panggung sekarang?”

Saya langsung diam seribu bahasa. Udah gitu, Pak Ahmad Tohari pamit sama saya untuk naik ke atas panggung. Saya cuma bisa senyum garing. Akhirnya saya menyadari kebodohan saya, bertemu dengan idola, penulis “Ronggeng Dukuh Paruk,” dan saya menyia-nyiakan kesempatan untuk berguru pada sang maestro. Sialnya lagi, saya lupa minta nomor HP. Sejak saat itu saya nggak pernah lagi bertemu dengan beliau. Sebenernya ini bukan pengalaman menarik. Lebih ke pengalaman yang bikin nyesek.


Apa sumber inspirasi terbesar kamu?

Kegelisahan dan ketakutan diri saya sendiri. Saya selalu berusaha menjadi penulis yang jujur. Menurut saya, penulis yang jujur itu menggunakan kegelisahan atau ketakutan dirinya sebagai sumber inspirasi tulisannya. Bisa aja sih misalnya saya bikin novel tentang korupsi. Tapi korupsi bukan hal yang menjadi kegelisahan pribadi saya. Saya memang sebel dengan para koruptor, tapi saya masih bisa tidur dengan nyenyak, dan pencernaan saya masih baik-baik saja dengan berita korupsi di TV. Sementara ini, insomnia dan gangguan pencernaan yang saya alami berasal dari hal lain. Saya nggak perlu sebutkan apa hal itu, tapi harusnya pembaca tulisan saya bisa menangkap secara otomatis.


Ingin dikenal sebagai penulis apa?

Ingin dikenal sebagai penulis fiksi yang jujur, walaupun menurut saya penulis fiksi nggak ada yang jujur, haha, itu topik lain, nggak usah dibahas di sini. Yang jelas saya ingin menjadi penulis fiksi yang bisa memberi sebanyak-banyaknya manfaat bagi sebanyak-banyaknya orang. Saya pengen orang yang membaca tulisan saya bisa tergerak hatinya untuk melakukan kebaikan. Kebaikan macam apa? Kebaikan apa pun yang saya selipkan di dalam karya saya. Saya nggak pernah bikin karya yang kayak khotbah, penuh berisi pesan moral. Karya saya lebih ke gerutuan pribadi terhadap apa yang saya lihat dan saya rasakan. Saya cuma berharap, pembaca bisa menjadi orang yang lebih baik dengan membaca dan merenungkan apa yang saya tulis.


Cerita macam apa yang ingin kamu tulis tapi belum terwujud hingga sekarang?

Dari dulu saya pengen nulis genre fantasi, kayak “Lord of the Rings” dan “Neverwhere”. Saya selalu kagum dengan Tolkien, Rowling, Gaiman dan penulis-penulis fantasi lainnya. Saya kagum dengan kehebatan mereka membangun dunia, membangun ras, bahkan sampe membangun bahasa sendiri. Pernah nyoba nulis beberapa kali, tapi saya selalu mentok di tengah jalan. Saya selalu kehabisan “bensin.” Belakangan baru nyadar, mungkin memang “kegelisahan” saya bukan di situ. Jadi ya udah, saya balik lagi ke prinsip awal : menulis untuk memberi manfaat sebanyak-banyaknya pada orang lain.

Jadi saya nggak peduli lagi dengan genre. Toh genre kan cuma istilah yang dipake industri dan kritikus untuk “melabeli” sebuah karya. Seharusnya penulis sih berkarya aja, nggak perlu pusing dengan label.


Sejauh ini, apa karya yang paling memuaskan untuk kamu?

Semua karya punya keistimewaan sendiri-sendiri. Seperti jatuh cinta, yang paling berkesan tetap yang pertama. Kalo yang paling memuaskan, selalu karya paling akhir (mungkin ini sama dengan jatuh cinta juga :D). Jadi jawaban saya untuk pertanyaan ini bisa berubah-ubah. Untuk saat ini, “Tunggu Aku di Pintu Surga” adalah yang paling memuaskan. Walaupun sebenernya saya nggak pernah suka dengan karya saya sendiri.

Di antara orang-orang yang membenci karya saya, saya adalah yang paling benci. Saya nggak pernah baca novel saya begitu novel itu diterbitkan. Ada ketakutan tersendiri begitu karya saya terbit. Entah cuma sekadar takut menemukan typo, adegan yang belum di-rewrite, struktur ngaco, dialog aneh, kalimat-kalimat absurd, dan sebagainya.


Punya penulis idola? Seberapa besar pengaruh tulisannya terhadap gaya menulis kamu?

Tentu. Setiap penulis pasti punya idola. Buat saya, Ernest Hemingway, Neil Gaiman, Harper Lee, Charles Dickens, Khaled Hosseini. Pengaruhnya besar sekali. Dickens membuat saya jatuh cinta pada dunia fiksi. Hemingway, Lee dan Hosseini mengajarkan bahwa karya hebat selalu berasal dari ide sederhana yang bersumber dari kegelisahan pribadi. King mengajarkan bahwa menulis novel itu nggak harus pakai outline, dan menulis itu harus tulus menghibur pembaca, nggak boleh berniat menggurui. Gaiman mengajarkan bahwa penulis hebat adalah penulis yang memperhatikan detail, yang sebenernya nggak terlalu pengaruh sama keseluruhan cerita, tapi berperan membangun nuansa dan believability.


Pernah merasa jenuh menulis? Apa yang biasa kamu lakukan untuk kembali merasakan gairah dalam menulis?

Alhamdulillah belum pernah. Saya malah bingung kalau nggak nulis. Soalnya bisanya cuma itu. Saya nggak bisa olahraga dan jadi atlet. Saya nggak ngerti politik dan nggak berminat jadi politikus. Bisanya cuma ndongeng, ya saya ndongeng aja sepenuh hati. Alhamdulillah saya juga belum pernah ngalamin “writer’s block”. Menurut saya, “writer’s block” itu cuma mitos yang dibikin sama pemalas dan orang-orang yang jiwanya memang bukan menulis.


Apa arti menulis untuk kamu?

Nyambung dari jawaban sebelumnya, menulis adalah hidup saya. Kalo saya nggak nulis, ya berarti saya sudah mati. Saya hidup untuk menulis, tapi juga menulis untuk hidup. Ya, saya menggantungkan hidup dari menulis (selain kerja jadi editor juga sih). Ada yang tanya, “Emangnya bisa, hidup dari menulis?” Menurut saya, hasilnya cukup kok. Lagian, masalah cukup nggak cukup, cuma tergantung pintar-pintarnya kita bersyukur, kan?


Apa saran kamu pada orang yang mau belajar menulis?

Seperti kata King, read a lot, write a lot. Cuma itu caranya. Nggak ada jalan pintas. Buat yang emang serius, harusnya sih ini udah berjalan secara alami. Cuma harus ditingkatkan aja kualitas dan kuantitasnya. Baca buku-buku penting. Cari informasi di internet, buku-buku apa aja yang direkomendasikan untuk dibaca.

Tapi juga jangan batasi bacaan. Novel bagus dan novel jelek sama aja pentingnya. Dari novel jelek, kita bisa belajar, apa yang bikin novel itu jelek. Jadi kita bisa hindari di proyek kita sendiri.

Kalo tertarik dengan teknik, baca beberapa buku yang bahas teknik menulis secara detail. Rekomendasi saya sih “On Writing”-nya Stephen King, sama “Immediate Fiction”-nya Jerry Cleaver. Tapi buat wawasan, boleh banget baca buku-buku lain.

Yang jelas, jangan percaya pada satu teori. Kalau ada guru penulisan yang bilang bahwa menulis novel itu harus bikin kerangka dulu, harus bikin biografi tokoh utama dulu, harus bikin premis dulu, jangan gitu aja percaya. Pakai yang berguna, buang yang nggak penting. Stephen King nggak pernah nulis pakai outline. Tapi Robert Ludlum selalu bikin outline yang detil sebelum mulai nulis. Ada juga yang bikin biografi tokoh utama dulu sampe 50 halaman lebih. Kalo emang dengan cara itu bisa membantu, silakan pakai. Tapi kalau cuma bikin mentok, ya nggak usah maksain. Setiap penulis punya cara menulisnya sendiri-sendiri. Pede aja dengan cara kita sendiri.


Menurut kamu, seberapa penting peran membaca terhadap kualitas tulisan yang dihasilkan?

Penulis yang baik adalah pembaca yang baik. Ibarat teko, penulis mengeluarkan apa yang “dimasukkan” ke dalam dirinya. Kalau yang dimasukin teh, yang keluar teh. Kalau yang dimasukkin air comberan, yang keluar air comberan. Nggak melulu sesaklek itu sih, tapi kurang-lebihnya seperti itu. Jadi hati-hati dengan apa yang kita baca.

Membaca, bagi saya, “memperkaya” diri saya. Saya selalu mendapat ide, kata-kata, kalimat-kalimat baru dari membaca karya orang lain. Kata-kata itu terekam secara otomatis ke dalam alam bawah sadar. Ketika mulai project baru, dan nulis draft 1, kata-kata itu sangat berperan dalam membuat tulisan saya lebih berwarna dan efisien dari yang sudah-sudah.

Silakan pilih, mau jadi penulis hebat atau penulis biasa-biasa aja? Kalau mau jadi penulis hebat, jadilah pembaca yang hebat.


Bagaimana cara kamu mengatasi kebuntuan dalam mengembangkan cerita?

Saya termasuk orang yang kejam pada diri saya sendiri. Kalau saya mentok waktu nulis, saya akan terus memaksa diri saya untuk menulis sampai tulisan saya jadi. Saya selalu memaki-maki diri saya kalau muncul niat berhenti di tengah jalan (kecuali untuk beberapa tulisan yang akhirnya saya sadari emang bukan berasal dari kegelisahan pribadi). Ketika akhirnya draft 1 jadi, hasilnya emang buruk. Biarin aja. Tulisan yang buruk masih bisa diedit, tapi halaman kosong nggak akan pernah bisa diedit.

Hemingway bilang, "The first draft of anything is shit", saya setuju banget. Draft 1 saya selalu busuk. Lebih busuk dari sampah. Tapi saya nggak peduli. Yang penting saya berhasil menyelesaikan draft 1. Langkah selanjutnya adalah rewrite. Saya biasa nge-rewrite 3-5 draft sampai benar-benar yakin untuk dikirim ke penerbit. Yang di-rewrite bukan cuma kalimat atau kata-kata aneh, tapi lebih ke struktur secara keseluruhan. Intinya sih, mengubah dari sampah menjadi intan permata. #tsah


Apa buku yang paling berkesan buat kamu, dan menurut kamu, apa kelebihannya dibanding buku dan penulis lain?

To Kill a Mockingbird”. Masterpiece. Uniknya, si penulis cuma nulis satu novel selama hidupnya. Kelebihannya, ceritanya sederhana, ditulis dengan detail dan gaya yang sederhana. Beda banget sama penulis-penulis wannabe yang bikin cerita muluk-muluk dengan gaya penceritaan yang berbunga-bunga. Pengennya tampil keren, tapi lupa esensi kita menulis, yaitu menghibur orang banyak. Bukannya menghibur, kebanyakan penulis wannabe malah cuma bikin bingung pembaca dengan kata-kata yang penuh metafora. Menulis dengan metafora nggak masalah, asalkan tau diri aja.

Oliver Twist”, sudah jelas kalau ini, dari awal saya udah nyebut berkali-kali.

Selebihnya, buku-bukunya King, Gaiman, Hosseini, dan Hemingway.


Kalau dilihat di Goodreads, sudah ada 2 buku kamu yang terbit ya, "Penyunting Sinting  : Ketika Naskah Bikin Pusing" dan "Tunggu Aku di Pintu Surga", bisa ceritakan bagaimana proses penulisannya hingga terbit menjadi buku?

Di awal udah saya singgung dikit, “Penyunting Sinting” adalah buku non-fiksi berdasarkan pengalaman saya jadi editor buku. Proses penulisannya makan waktu sekitar dua bulan. Nggak ada yang spesial sih dari buku ini. Isinya cuma seperti diary yang ditulis dengan gaya komedi. Dari buku ini saya belajar dua hal, bahwa saya nggak lucu dan tidak dilahirkan sebagai komedian. Jadi, buku ini adalah buku pertama dan terakhir saya di genre personal-literature bergaya komedi.

Proses menulis “Tunggu Aku di Pintu Surga” lebih lama dibandingkan buku saya yang lain. Mungkin sekitar delapan bulan. Kenapa? Temanya bukan berasal dari kegelisahan pribadi saya. Tema novel ini tentang kesalahan di masa kecil yang berdampak besar pada kehidupan masa kini si tokoh utama. Saya nggak pernah punya kesalahan yang berdampak besar pada kehidupan saya sekarang. Tapi saya tertarik menulis hal itu. Entah kenapa, ide itu menyedot perhatian saya dari waktu ke waktu. Akhirnya saya putuskan untuk memulai project itu. Karena nggak ada kegelisahaan apa pun yang berkaitan dengan tema, jadi saya harus mulai dengan membayangkan kembali masa kecil saya. Saya munculkan kenangan-kenangan itu, lalu saya saring yang paling menyakitkan. Nah, kenangan menyakitkan itulah yang saya munculkan terus-menerus, sampai akhirnya saya jadi susah tidur. Pencernaan saya juga bermasalah sampe beberapa bulan. Proses inilah yang makan waktu lama. Untuk riset dan bikin desain karyanya sih selesai dalam waktu seminggu. Akhirnya ketika terbit, saya nggak berani baca buku itu. Saya yakin, buku itu banyak sekali keteledoran, karena berasal dari “kegelisahan instan.”


Dari sekian banyak cerita yang telah kamu tulis, mana yang paling kamu suka, dan mengapa?

Nggak ada.

Terserah orang menganggap saya terlalu mengada-ada, atau pengen kelihatan keren. Saya nggak keren sama sekali. Itulah kenapa saya nggak pernah suka sama karya saya sendiri.

Yang berkesan adalah novel pertama saya, “Gebetan Instan”, bukan karena apa-apa, cuma karena itu novel pertama yang diterbitin.

Saya berusaha menulis setiap saat. Dalam bentuk apa pun, terutama novel dan cerpen. Cerpen jelas paling banyak. Karya-karya saya ada yang biasa dan sampah. (Cuma dua itu kategori tulisan saya: biasa dan sampah.) Saya nggak pernah malu ketika saya menghasilkan sampah. Pun saya tidak bangga ketika menghasilkan karya yang biasa. Saya bukan seniman hebat yang bisa memunculkan masterpiece terus-menerus. Saya manusia biasa. Saya bikin banyak kesalahan, hampir setiap saat. Jadi, silakan ambil manfaat positif dari karya saya yang biasa, dan abaikan karya-karya sampah saya. Mudah-mudahan sih, walaupun sampah bisa sedikit memberi pencerahan bagi yang baca.


Apa saran kamu untuk mereka yang ingin menjadi penulis?

Sebelum mulai menulis, pahami dulu, apa itu “cerita?” Bagaimana bentuk “cerita?” Apa itu “cerita yang bagus?” Bagaimana sebuah cerita bisa dibilang bagus? Bagaimana bikin cerita yang bagus? Kalau udah bisa jawab pertanyaan ini dengan yakin, insya Allah tulisan kita bisa lebih bermanfaat bagi orang banyak.

Kalau ditolak penerbit, segera berkacalah. Apa yang bikin tulisan kamu ditolak? Gaya penulisannya yang aneh? Ceritanya yang tidak terstruktur? Bikin komedi tapi nggak lucu? Bikin romance tapi nggak menyentuh? Kalo udah punya jawabannya, segera ubah sebisa mungkin. Terus kirimin lagi ke penerbit, tunggu respon mereka. Lakukan hal ini terus-menerus, insya Allah bakal ada hasilnya. Yang penting sering-sering “bercermin” aja.

Jadi penulis itu nggak susah dan nggak muluk-muluk. Saya selalu menganggap menulis fiksi adalah pekerjaan yang nggak penting. Menurut saya, dokter, guru, dan polisi adalah pekerjaan yang jauh jauh jauh lebih penting dari penulis fiksi. Kalo kamu menulis, mentok, dan menyerah, lupain aja mimpi jadi penulis. Mungkin memang jiwa kamu bukan di menulis. Mungkin kamu bisa coba kerja di bidang lain yang lebih penting dari menulis fiksi: dokter, guru, atau masuk ke kepolisian.

Tapi kalo emang merasa cita-citanya jadi penulis, sama kayak saya yang masih berjuang menjadi penulis yang lebih baik, ayo kita berjuang sama-sama. Ayo banyak-banyakan baca dan banyak-banyakan menulis. Kita lihat nanti siapa duluan yang bakal sukses. Setuju?

~.*.~

Berikut biodata singkat Gari.

Nama lengkap : Gari Rakai Sambu

Lahir : Bandung, 13 Juni 1987

Blog : http://garirakaisambu.com

E-mail : gari@garirakaisambu.com

Facebook : http://www.facebook.com/garirakaisambu

Buku yang telah terbit :
Gebetan Instan (Media Pressindo, 2005)
Jomblo No More : The Ballad of Ronan and Luna (Media Pressindo, 2006)
Miss Jablai (Media Pressindo, 2006)
Penyunting Sinting: Ketika Naskah Bikin Pusing (Bukune, 2008)
Tunggu Aku di Pintu Surga (Mutiara Media, 2011)

~.*.~

Terima kasih ya, Gari, atas waktu dan kesediaannya untuk berbagi cerita dan pengalaman dengan para sahabat Kampung Fiksi. Nah, Gari sudah memberi tantangan di akhir wawancaranya dengan kami, ayoo kita mulai banyak-banyak membaca serta tidak lupa terus berlatih menulis, siapa duluan yang akan mencapai gerbang kesuksesan? Bagi-bagi cerita kalian ya.

Sampai jumpa di interview-interview selanjutnya.

0 Spots:

Post a Comment