Cerpen Minggu Keren: Republik Move On


Republik Move On oleh Gari Rakai Sambu 

Rani, senior yang paling ditakuti oleh segenap mahasiswa baru di kampusku, sama persis dengan Malang: dingin, misterius. Rani adalah orang paling antagonis di acara ospek ini. Selain mahasiswi, kurasa penebar teror adalah pekerjaan utamanya. Dan hari ini, berkat sedikit “keberuntungan,” teror itu khusus ia hadiahkan kepadaku. Ya, aku. Bukan ratusan mahasiswa lain yang berbaris dalam topi dan pita warna-warni di lapangan kampus pagi ini.

“Sebutin sekali lagi, apa dosa kamu?”

Aku mendesah pelan. Entah sudah berapa kali aku mengucapkan kalimat ini sedari tadi pada senior-senior lain: “Gak bawa telor.” Mungkin ini yang keseratus kalinya.


Dahi gadis itu mengernyit. “Kamu menantang saya?!” bentaknya. “Lupa peraturannya? Harus bilang apa setiap ngomong sama senior perempuan?”

“Roro…”

“Bagus, ternyata kamu masih inget. Jadi, ulangi sekali lagi, apa dosa kamu hari ini, ehm… Kirun?” Dia membaca name tag dari kardus di dadaku. Tentu saja, itu bukan nama asliku.

“Gak bawa telor, Roro.” Oke, ini yang keseratus satu.

“Roro? Kamu pikir saya gak punya nama?”

“Gak bawa telor, Roro Rani.” Seratus dua.

“Jadi cowok jangan lembek! Yang kenceng!”

Dan… seratus tiga, “Gak bawa telor, Roro Rani!!!” Suaraku membahana.

Kalau penglihatanku tak salah, gadis menyebalkan ini sedikit terlonjak. Namun kuakui dia cukup pintar menyembunyikan keterkejutannya. Kini ia tersenyum. Demi Tuhan, sekali lagi dia menyuruhku berkata soal “telor-teloran” ini, kutusuk senyum jahat itu dengan payung cantik!

“Bagus! Sekarang kamu boleh pulang,” ujarnya datar. “Gak ada telur, gak ada ospek!”

Aku melongo. Kutatap matanya dalam-dalam.

“Kenapa lihat-lihat? Mau aku suruh keliling lapangan seratus kali?”

Kualihkan pandangan. Kutatap dinding bangunan kampus, lurus di depanku dengan malas.

“Jawab!!!”

“Enggak, Roro.”

“Roro siapa?”

“Enggak, Roro Rani…”

“Yang kenceng!”

“Enggak, Roro Rani!!!”

Tiba-tiba aku ingin mengunyah dinding bangunan kampus di hadapanku. Tapi sudahlah, yang penting aku bisa terbebas dari kutukan ini. Aku pun berbalik, lalu mulai melangkah.

“Eh, eh... mau ke mana kamu?” tanya suara di belakangku. Dingin. Menyebalkan.

Aku menoleh pada iblis neraka jahanam itu. “Pulang, ehm… Roro Rani…”

“Siapa yang suruh kamu pulang?”

“Roro Rani, barusan…”

“Saya belum selesai!” Ia melotot lebar. Kedua bola matanya seperti hendak lompat keluar.

Aku pun kembali menghadapkan badanku ke arahnya. “Maaf, Roro Rani.”

Rani menatapku dari atas ke bawah seperti melihat setumpuk kotoran. “Jadi, kamu hobi fotografi?” tanyanya membaca biodata singkat yang tertera di name-tag-ku.

Jantungku berdegup kencang. Tiba-tiba saja aku teringat Lei. Entah bagaimana, hari-hari di mana kita hunting foto bersama di Tangkuban Perahu, Carita dan objek wisata lain berkelebatan di benakku. Lebih dari itu, Lei lah alasan mengapa aku berada di kota ini. “Iya, Roro Rani.”

Dia mengangguk-angguk. “Oke, kamu boleh pulang. Tapi kamu gak bisa santai begitu aja. Dosa kamu terlalu besar.” Dia menatapku tajam. “Bikin seratus foto tentang keunikan Malang! Cetak ukuran postcard, kumpulin besok sebelum jam dua belas di ruang panitia! Paham?!”

Seratus? Aku gak salah dengar, kan? Kutukan macam apa lagi ini?! 
“Paham, Roro Rani.”

“Bagus. Sekarang saya sudah selesai. Kamu boleh pergi, Kirun.”

Aku mendesah pelan. Lei sangat berbeda dengan Rini. Lei, sosok yang selalu menemani hari-hariku di Bandung, adalah sosok yang manis. Jauh lebih manis dari nenek sihir ini.

“Terima kasih, Roro Rani,” ujarku balik badan.

Well, tepat di hari pertamaku sebagai mahasiswa baru, aku mulai menyadari bahwa aku benar-benar merindukan Lei lebih dari yang pernah kusadari.

***

“Jangan terlalu idealis. Pakai dulu kamera ini. Yang penting kamu bisa lanjutin ospek,” ujar Erik, teman sekosku. “Lagian, hari gini pake kamera analog?! Yang bener aja!” Ia terkikik.

Darah di tubuhku seperti naik ke ubun-ubun. Aku ingin mengucapkan sesuatu yang kasar, namun kutahan sekuat tenaga. Akhirnya yang keluar hanyalah, “Aku gak biasa pakai digital.”

Erik menatapku tak percaya. “Lho, bukannya digital lebih gampang dari analog?”

“Ini bukan masalah gampang atau susah. Ini masalah karya. Aku gak mau bikin seratus karya dengan kamera sembarangan.”

“Enak aja! Ini bukan kamera sembarangan! Kamera ini ibuku yang beliin!”

Aku membisu. Kutatap benda itu lekat-lekat. Selama sembilan belas tahun hidupku, belum pernah sekalipun aku menggunakan kamera digital, terlebih lagi pocket. Kakek selalu bilang, aku bisa lebih banyak belajar menghargai hidup dengan kamera analog—entah apa maksudnya.

“Emang kenapa sih kalau gak ikut ospek?” tanyaku sambil menatap jendela kamar kosku.

“Kamu gak akan dapet sertifikat.”

“Sertifikat apa? Terus kenapa kalau aku gak punya sertifikat?” Kutatap kedua mata Erik.

“Kamu gak akan bisa ikut pendadaran.”

“Ya, terus kenapa kalau—” Aku terhenyak. “A-apa…?”

Erik, mahasiswa baru yang sekampus dan sejurusan denganku itu, mengangguk-angguk yakin, tanpa mengulangi ucapannya yang terasa seperti sambaran petir di kupingku.

Beribu pertanyaan muncul di kepalaku. Apa hubungannya ospek dan pendadaran? Sebegitu pentingnyakah ospek, sampai-sampai menjadi syarat utama untuk bisa ikut pendadaran? Aku teringat kesalahan kecil yang membuatku tak bisa mengikuti ospek hari ini: telur. Telur! Aku dilarang mengikuti ospek hanya karena lupa membawa telur?! Artinya, tanpa telur, aku juga dilarang mengikuti pendadaran?! Akal sehatku sulit mencernanya.

“Jadi, gimana?” tanya Erik. “Mau pake kamera ini, atau ikut ospek tahun depan?”

***

Dan, di sinilah aku sekarang—terduduk di pinggiran alun-alun kota Malang, dengan sebuah kamera pocket digital di tangan. Sudah sejam sejak aku sampai, dan aku belum memotret satu objek pun. Kuhela napas panjang. Coba Lei ada di sini, beban ini tentu terasa lebih ringan.

Sebuah kejadian tiba-tiba menarik perhatianku. Kejadian itu berlangsung dengan cepat! Seekor anjing kampung cokelat tua yang hendak menyeberang terserempet sepeda motor. Anjing itu tergeletak lemah di atas aspal, dekat trotoar. Beberapa pedagang dan anak-anak muda yang berada di sekitar alun-alun menatap ke arah si anjing malang. Pengemudi motor yang menabrak anjing itu hanya menoleh sesaat, lalu melajukan motornya dengan lebih kencang.

Yang mengherankan, tak ada seorang pun yang bergerak menolong anjing itu. Aku baru saja hendak berdiri, ketika seorang gadis berjalan mendekati anjing itu. Ia berjongkok, lalu mengeluarkan sebungkus kantong keresek putih dari dalam tas selempangnya. Tanpa kusadari, tanganku bergerak secara refleks, membawa kamera pocket digital mendekati wajahku. Kubidikkan kamera ke arah gadis itu. Jarak kami cukup jauh. Kugerak-gerakkan lensa kecil yang menonjol di depan. Ah, aku lupa! Ini bukan kamera analog! Aku hanya perlu menekan-nekan tombol kecil untuk melakukan zoom. Kutekan tombol tersebut hingga ke titik maksimal, namun gadis dan anjing itu masih terlihat kurang jelas di dalam frame.

Aku berdiri dan berjalan mendekat. Dalam jarak beberapa meter, gadis itu mulai terlihat jelas di frame. Namun aku masih belum bisa menatap wajahnya. Jadi kuputuskan berjalan memutar, agar dapat menangkap kejadian itu dengan lebih baik. Setelah berada di depan gadis itu, aku bersiap membidik. Belum sempat telunjukku menekan tombol bidik, gadis itu menatapku. Kemudian napasku terhenti beberapa saat.

“Kamu?” seru gadis itu. “Ngapain kamu berdiri di situ? Gak lihat ada orang lagi bingung?”

Aku membeku. Benar-benar tak pernah kusangka pertemuan tak terduga ini.

“Malah diem, lagi… Bantuin!” perintahnya.

Tubuhku mulai bergerak kikuk. “I-iya R-Roro Rani…”

Ia tersenyum kecut. “Di sini gak usah pake ‘Roro!’ Norak banget, sih?”

Aku segera mendekati Rani yang masih berjongkok di depan anjing itu. Dari dekat, aku melihat kaki anjing bagian depan sebelah kanan tersebut berdarah hebat. Anjing itu berbaring kaku. Napasnya tersengal-sengal. Lidahnya melelet keluar. Ia tampak betul-betul kesakitan.

“Nih! Di sini ada perban sama obat merah!” ucap Rani sambil mengangkat kantong keresek putih. “Tolong kamu obatin dia. Aku gak tega…”

Aku menatapnya bingung. Kuterima saja kantong itu, membukanya dan mengeluarkan perban dan kapas. Pelan-pelan, kusentuh kaki anjing itu pada bagian yang tak terluka. Ia tampak pasrah. Tanpa menunggu lama, kubersihkan darah di kaki anjing itu dengan kapas. Sejujurnya, aku tak yakin dengan apa yang kulakukan. Setelah kurasa kakinya cukup bersih, kuambil perban dan langsung membalut kaki anjing itu dengan cepat.

“Lho, gak dikasih obat merah dulu?” tanya Rani.

“Gak usah. Nanti juga kering sendiri,” ujarku dengan suara bergetar. “Yang penting lukanya harus cepet-cepet ditutup, biar darahnya berhenti.”

Rani mengangguk-angguk kecil, seperti menyetujui ucapanku yang kurang meyakinkan itu. Beberapa menit kemudian, aku berhasil membalut kaki anjing malang tersebut dengan cukup sempurna. Kukira balutanku bisa dibilang cukup profesional.

“Kamu bakal baik-baik aja,” ucapku pada anjing itu. Kuelus-elus badannya. Bulunya lebat dan lembut. “Sekarang kamu istirahat. Gak lama lagi kamu bakal sembuh.”

Secara mengejutkan, Rani tersenyum. “Kamu… punya anjing, ya?”

Aku menggeleng. “Kakekku.” Aku masih mengelus-elus anjing itu. “Dia gak apa-apa. Lukanya kecil. Dia cuma masih shock. Sebentar lagi dia udah bisa jalan.”

Aku menoleh pada Rani. Gadis itu sudah berdiri dalam jarak sekitar dua meter dari tempatku jongkok. Ia membidikkan sebuah kamera kecil ke arahku dan anjing ini. “Senyum!”

Aku melongo menatap kamera di tangannya. “Analog?”

Ia menurunkan kamera dari wajahnya, lalu jongkok di sebelahku. “He-em,” angguknya.

Kuperhatikan kamera yang masih tergenggam di tangannya. “Nikon FM?”

Dia menatapku untuk sesaat, lalu mengangguk pelan.

“Tahun 70?” tebakku lagi.

“1977,” jawabnya.

“Mirip Lei,” gumamku tanpa sadar.

“Lei?”

Aku hening, bingung mau mengatakan apa. Aku hanya bisa menggelengkan kepala. “M-masih pakai analog? Kenapa gak dimuseumin aja?” godaku mengalihkan pembicaraan.

Ia terkekeh. “Bukan masalah analog atau digital. Yang penting orang yang memakai.” Ia memberanikan diri mengelus anjing itu. Satu hal yang baru kusadari: nada bicara Rani menjadi jauh, jauh, jauh lebih menyenangkan daripada tadi pagi. “Kayak pelukis…” ujarnya misterius, “bahkan dinding goa bisa dijadiin karya seni yang monumental.”

Aku menatapnya penuh tanda tanya. Ucapan Rani mengingatkanku pada Kakek. Kakek sering mengucapkan hal-hal seperti itu. Tak perlu kuas dan kanvas mahal. Bahkan daun, di tangan seorang seniman luar biasa, bisa menjadi sebuah masterpiece.

“Jadi, siapa nama asli kamu, Kirun?” tanyanya mengangkat tangan kanan.

“Uki,” jawabku menyambut jabatannya. Tangannya ternyata halus. Kukira sekasar naga.

“Dan Lei yang kamu sebut tadi?”

Aku tersenyum. Dia benar-benar gadis yang pantang menyerah. “Leica M4. Buatan 1967. Kakekku yang memberi—”

“Tunggu, tunggu… Kamu manggil kamera kamu dengan nama ‘Lei?’”

Kupalingkan pandanganku. Wajahku terasa panas.

Rani tertawa. Awalnya pelan, lama-lama terbahak-bahak. “Kamu penuh kejutan, Kirun!”

Aku hanya bisa diam. Mungkin itu terdengar kekanak-kanakkan, tapi memang itulah kenyataannya. 

“Almarhum Kakek selalu berkata, aku harus memperlakukan kamera seperti memperlakukan orang yang kita sayangi. Aku hanya menuruti kata-kata beliau.”

Tawa Rani mereda tiba-tiba. Ia tersenyum ke arahku.

Kulirik Nikon FM di tangannya. “Boleh aku panggil ‘Niki?’”

Ia kembali tergelak. “Jelek banget! Pasti ada banyak orang yang manggil kamera Nikon-nya dengan ‘Niki,’” ujarnya. “Aku mau nama yang lebih bagus. Yang lebih macho!”

“Kalau gitu... Niko.”

Rani kian terbahak. “Gimana kalo Nikolas Saputra?” Gelak tawanya semakin renyah.

“Not bad,” ujarku terkekeh.

“Nih! Pakai ini untuk hunting kalo kamu mau,” ujarnya sembari menyodorkan kamera itu.

Aku menggeleng. “Aku pakai ini aja. Yang penting bukan kameranya, kan?” Kuangkat kamera pocket digital di tanganku dengan bangga. Erik benar, ini bukan kamera biasa. Ehm, mungkin ini memang kamera biasa, tapi aku fotografer luar biasa! “Tau gak kenapa aku pindah ke Malang?” tanyaku mengalihkan topik.  Ia menggeleng. “Aku gak sengaja jatuhin Lei ke air waktu hunting di Pantai Carita. Dia tewas. Kakek marah. Sebagai hukuman, aku dipaksa pindah ke sini. Baru tiga minggu di sini, Kakek gak ada. Dia nyerah dengan kanker paru-parunya.”

Rani tercenung mendengarku. Raut kesangaran sudah benar-benar raib dari wajahnya.

Aku tersenyum. “Tau gak apa kata-kata dia waktu terakhir kita ngobrol?” tanyaku. Tanpa menunggu reaksi Rani, segera kujawab, “Sebentar lagi kayaknya Kakek bakal bertemu lagi dengan Lei di surga.” Kutirukan gaya bicara Kakek semirip mungkin.

“Kakek kamu lucu,” ujar Rani tersenyum.

Kutatap langit merah alun-alun kota Malang. Kurasa, aku akan mulai belajar memakai kamera digital. Mudah-mudahan Kakek tak marah. Kalaupun dia marah, aku akan tetap belajar. Bukankah Kakek yang bilang, di tangan seniman luar biasa, daun bisa menjadi masterpiece?

Entah mengapa, Malang sore ini terasa lebih hangat dari biasanya. Jauh lebih hangat.

Inikah rasanya move on?

***

Cerpen ini sudah pernah ditayangkan di sebuah majalah terbitan Jogja dan dimuat kembali di KampungFiksi.com seijin penulisnya.

Ingin membaca lebih banyak lagi karya-karya Gari Rakai Sambu, bisa tengok ke websitenya di: GariRakaiSambu.com dan follow twitternya @garirakaisambu. Tunggu juga hasil wawancara Kampung Fiksi dengan Gari Rakai Sambu pada artikel yang akan datang ya...

8 comments: