Bagian 4
Ternyata perjalanan sekitar 6 jam dari Bangkok menuju Three Pagodas Pass menyenangkan. Sepanjang jalan mataku menikmati rangkaian perbukitan yang hijau-teduh-rimbun. Jalan yang dilewati mulus, tidak kalah dengan jalan-jalan raya lintas negara bagian di Amerika. Masing-masing jalur untuk satu arah dan tiap jalur terdiri atas 2 lajur. Sangat nyaman untuk perjalanan jarak jauh.
Kendaraan yang berpapasan di sepanjang perjalanan sebagian besar keluaran terbaru. Four-wheel drive berbagai merk aneka warna. Setiap kendaraan itu kupandangi penuh kekaguman. Aku jadi ingin tahu siapa pemilik kendaraan-kendaraan itu. Menurut yang kubaca, penduduk di wilayah itu sebagian besar petani.
“Four-wheelers itu milik para petani,” jelas si supir, seperti mengerti isi pikiranku. Ia melihatku melalui kaca spion. Nama lengkapnya Saw Ku Moe, namun lebih senang dipanggil Mo, katanya agar mudah diingat. Ia lahir di Burma. Bersama keluarganya Mo pernah menjadi pengungsi di salah satu kamp pengungisan di Mae Sai, di perbatasan Burma-Thailand bagian utara. Sebuah LSM Swedia pada akhir tahun 2003 berhasil membawa keluar 30 orang pengungsi dari kamp itu. Keluarga Mo ada di antara mereka. Sebagian besar mereka kini tinggal di berbagai negara di Eropa. Mo dan keluarganya memilih menjadi warga negara Thailand. Laki-laki murah senyum yang istrinya baru saja melahirkan anak kedua itu ingin bisa berbuat sesuatu untuk para pengungsi yang tidak seberuntung dirinya.
Sudah lima tahun Mo bekerja sebagai supir sekaligus pemandu bagi orang atau tim yang mendatangi kawasan perbatasan Burma dan Thailand. Teman Mo banyak dan berasal dari berbagai negara. Pelanggannya macam-macam. Dari para wisatawan muda usia yang ingin mencari kenikmatan dunia di Thailand hingga para professor dari berbagai universitas di penjuru dunia yang melakukan penelitian. Ia pandai membawa diri. Bila sedang bersama anak-anak muda, ia akan bergaya seperti mereka. Kalau sedang mengantar turis Jepang yang rapi jali, Mo akan tampil sebersih yang ia bisa. Satu hal yang dipegangnya, ia tidak pernah merokok di dalam mobil. Rokoknya ia simpan rapat-rapat di dalam kantung, ditaruh di dalam tas supaya aromanya tidak menguar kemana-mana.
Sebagai pemandu bahasa Inggrisnya cukup piawai. Itu salah satu kelebihannya dibandingkan supir lain. Reputasi baiknya tersebar dari mulut ke mulut sehingga sepanjang tahun Mo selalu mendapat pekerjaan yang memberinya penghasilan layak. Ia bercita-cita memiliki biro perjalanan sendiri dan akan merekrut mantan pengungsi Burma yang sudah mendapat ijin tinggal di Thailand.
“Kalau begitu para petani di sini kaya, ya. Mengapa kamu tidak jadi petani saja, Mo?” kucondongkan badanku ke depan.
“Hahahaaa…!” Mata Mo berusaha mencari sosokku lewat kaca spion.
“Ceritakan, Mo. Mia ingin mendengar cerita itu.” Sahut Tim.
“Ayo, Mo. Saya juga mau dengar lagi.” Tong Rang yang duduk persis di belakangnya menepuk-nepuk pundaknya.
“Nanti malam saja, sambil minum kopi. Ya? Madam Mia?” Mo terdengar malu-malu. Ia kembali mencari bayanganku di dalam kaca spion.
“Okay. Janji, ya. Saya akan menunggu ceritamu,” kusandarkan kembali punggungku.
Mo sangat sopan pada siapa saja. Ia akan memanggil semua lelaki dengan embel-embel mister dan semua perempuan dengan tambahan madam. Ia menolak memanggilku Mia saja. Tim juga berkali-kali memintanya memanggil nama depan kami. Permintaan itu dia iyakan meskipun tidak pernah dilaksanakan.
“Yes, Mister Tim. Yes.”
"Tim!"
"Yes, Mister..."
Tawa kami berderai.
Menurut Tim pada bulan Februari seperti ini cuaca di Thailand sangat menyenangkan. Bagiku selama masih di Asia Tenggara, cuacanya sama saja dengan di Indonesia. Musim hujan di Thailand datang antara bulan Juni hingga Oktober. Antara November hingga Februari cuaca bisa dibilang paling nyaman, tidak terlalu panas dan sesekali turun hujan. Dari bulan Maret hingga Mei, cuaca sangat panas dan lembab, para wisatawan sering bercanda, orang bisa menggoreng telur di atas jalan aspal saking panasnya.
“Kita hampir sampai.” Mo mengecilkan suara musik klasik yang mengiringi perjalanan kami. Salah satu hal yang aneh tentang kami berempat adalah kesukaan mendengarkan musik klasik dalam perjalanan darat yang panjang. Kesamaan ini bukan disengaja. Saat merekrut tiga anak buahnya, Tim tidak menanyakan tentang musik yang kami sukai. Yang pasti, kesamaan itu sangat membantu, kami tidak perlu bertengkar atau saling menahan diri bila ingin mendengarkan musik di perjalanan. Namun Mo tidak suka musik jenis itu.
“It’s killing me,” kata Mo di hari pertama. “Tapi saya akan belajar menyukai karena kalian majikan saya yang harus saya layani sebaik-baiknya.” Mo memegang kata-katanya. Ia menjadi bagian penting dalam ekspedisi kami.
**
Three Pagodas Pass. Nama kawasan perbatasan Burma dengan Thailand bagian barat itu diambil dari tiga buah pagoda yang tidak begitu tinggi, hanya sekitar 3 meter, yang terletak di ujung jalan dari wilayah Thailand. Tiga pagoda itu berada di tengah ruang terbuka, semacam bundaran, dikelilingi deretan kios-kios yang menjajakan suvenir dan warung-warung kecil. Di pinggir jalan yang mengelilingi bundaran itu para pengunjung memarkir kendaraan.
Tidak jauh dari bundaran ada Kantor Imigrasi Thailand – bangunan serupa kios drive-thru – dan checkpoint untuk masuk ke wilayah Burma, dilengkapi pos militer. Begitu melewati checkpoint itu, orang sudah memasuki wilayah Burma. Perbatasan dibuka-tutup sesuai panas-dinginnya suhu politik di sana.
Pengunjung bisa masuk ke wilayah Burma dengan visa kunjungan sehari, cukup dengan fotokopi paspor, dua buah pasfoto dan uang US$ 10 atau 500 Baht.
Siang ini kami hanya berniat melihat-lihat sebentar di Three Pagodas Pass. Sejak awal kami tidak berencana masuk ke wilayah Burma. Karena konflik terbuka minggu lalu, perbatasan ditutup untuk pengunjung, kecuali warga lokal yang tinggal di kedua wilayah di sepanjang perbatasan.
“Mau turun?” Tim menoleh ke belakang, bergantian memandang aku dan Tong Rang.
Kami bertiga turun. Mo tetap di dalam mobil. Kacamata hitamku tidak kulepas.
Siang itu tak kulihat seorangpun selain kami. Warga lokal juga tidak berhamburan mengerubungi pendatang sambil menawarkan aneka barang dagangan. Suasananya begitu tenang, serupa desa yang warganya sedang menikmati tidur siang.
Selain dihuni orang Thai kawasan perbatasan itu juga merupakan rumah bagi etnis minoritas Karen dan Mon yang terusir atau sengaja bersembunyi dari pegunungan di perbatasan Burma. Sungguh, suasana konflik sama sekali tidak terlihat di permukaan walaupun banyak orang percaya bahwa Three Pagodas Pass merupakan wilayah nirhukum. Setiap saat bisa saja meletus konflik antara kelompok pemberontak – atau kelompok apapun yang mengatasnamakan pihak manapun – degan pihak militer Burma atau patroli perbatasan Thailand.
Seperti di wilayah-wilayah rentan konflik di Indonesia, wisatawan biasa sulit mendeteksi adanya ancaman. Menurut informasi yang sudah kukantongi, kecuali para petugas patroli dan penjaga checkpoint, warga lokal senang difoto. Mereka akan berpose dengan lugu dan lucu, serta siap berbincang-bincang dengan bahasa Tarzan.
Tong Rang menjauh dari bundaran, menuju checkpoint yang kosong, mendekati palang-palang yang menghalangi jalan menuju wilayah Burma. Mataku menangkap sosok berseragam militer keluar dari bangunan serupa bedeng, menyandang senapan. Dari caranya berdiri naluriku mengingatkan kami harus waspada.
“Hati-hati!” seru Tim. Rupanya ia juga mencium aroma bahaya.
Tong Rang melambaikan tangan kirinya sementara tangan kanan menenteng kamera. Dengan senapan teracung penjaga itu memberi isyarat agar Tong Rang menjauhi palang. Entah apa yang ada di pikiran Tong Rang saat itu, ia masih saja menunjukkan kameranya, mungkin maksudnya minta ijin memotret.
Tim berteriak memperingatkan bersamaan dengan penjaga itu mengokang senapan. Sepersekian detik kemudian sebuah letusan merobek keheningan. Terdengar suara kepakan sayap serombongan burung meninggalkan reranting pohonan disusul kokangan dan letusan kedua. Membahana! Satu-dua detik aku kehilangan kesadaran akan sekelilingku; tahu-tahu badanku tertelungkup di aspal, Mo sudah di dekatku, berusaha mengangkatku. Jantungku berdentum cepat dan keras.
Kulihat Tim dan Tong Rang berhadapan dengan dua penjaga berseragam, si pembawa senapan marah-marah, yang satunya menenangkan. Lamat-lamat kudengar Tong Rang bicara entah bahasa Thai entah Burma. Mo membantuku berdiri. Tim berlari menuju kendaraan. Ia mengambil tas lalu kembali berlari menemui dua penjaga itu. Aku tak bisa melihat dengan jelas namun aku yakin Tim menunjukkan paspor dan dokumen.
Beberapa menit kemudian Tim dan Tong Rang berbalik, menuju kendaraan, wajah mereka tegang. Dua penjaga itu mengawasi. Kurasakan mata si pembawa senapan menembus tubuhku. Mo membantuku masuk kendaraan. Air mataku bercucuran karena ketakutan. SUV kami meninggalkan bundaran. Gemetar tubuhku baru kurasakan.
Suasana di dalam kendaraan hening beberapa saat. Mo mematikan musik. Kucari-cari tisu dari saku ransel. Tidak ketemu. Seluruh tubuhku masih gemetaran.
“I’m sorry. I’m truly sorry…” lirih suara Tong Rang. “I was just…”
“Are you okay, Mia?” Tim menoleh ke belakang, memandangku, tanpa mempedulikan Tong Rang yang minta maaf. “Lenganmu?”
Aku baru sadar ada luka memanjang di bawah siku kiri. Kulihat darah pelan-pelan keluar dari luka gores itu. Tim menyuruh Mo berhenti. “Kamu pindah ke depan!” suaranya ketus memerintah Tong Rang bertukar tempat duduk. Mereka bersamaan membuka pintu dan melompat turun dari kendaraan. “Jalan!” perintahnya pada Mo sebelum pintu benar-benar tertutup. Kuhapus air mataku dengan punggung tangan kanan. Tim meraih kotak P3K dari belakang jok yang kami duduki.
“Kamu akan baik-baik saja….” ujarnya, membuka kotak. Tangannya sedikit gemetar saat mengambil kapas dan betadin. “Lukanya cukup besar….” gumamnya.
Rasa perih menyengat kulitku begitu Tim menorehkan kapas penuh betadin ke lukaku. Dengan ekor mata kulihat Tong Rang menoleh ke belakang dan meminta maaf lagi.
“Aku tidak tahu bagaimana aku bisa jatuh…”
“Madam Mia tadi berlari…” suara Mo halus sekali. Aku sama sekali tidak ingat itu. Saking takutnya, mungkin kakiku reflek berlari sambil berbalik, lalu terpeleset. Kulihat celana kargoku robek di lutut kiri.
“Ada klinik dekat sini, Mo? Ini lukanya cukup besar….”
“Ada, Mister Tim. Di Sangkhlaburi, di dekat pasar, tak sampai 10 menit lagi.” Mo mempercepat laju kendaraan.
“Kamu akan baik-baik saja…” Tim mengulang kata-katanya. Ia meraih pundakku, mengecup pelipisku. Selama lima tahun bekerja bersamanya, belum pernah ia melakukan itu. Sesekali kami berpelukan, sewaktu bertemu kembali setelah berpisah beberapa bulan, saat merayakan sesuatu, atau ketika berpisah di bandara.
Kembali kami diam, tidak ingin membicarakan insiden barusan. Aku yakin kami semua berusaha meredakan rasa takut yang baru kami sadari setelah kejadian. Tim duduk kaku di sampingku. Matanya melihat keluar, ke pohonan jati diselang-seling ekaliptus yang merindangi perbukitan, ke gubug-gubug yang sesekali terlihat di sela-sela kerimbunan. Dari belakang, kulihat tengkuk kokoh Tong Rang menegang. Mo berkali-kali menghela nafas dan menghembuskannya keras-keras.
“Itu kliniknya, Mister Tim.”
“Thank you, Mo…”
“I’m sorry…” Tong Rang menatap kami satu persatu, “I truly am…”
“It’s fine…” Tim mengangguk-angguk. “We're all fine…”
***
It's a touching good story, and I've been there. Sigh . . .
ReplyDeleteThanks. I kind of recognize the 'sigh' at the end of the sentence. Is that you, L? :-)
ReplyDelete