Ilustrasi oleh Azam Raharjo |
Hari Jum’at biasanya Runi baru pulang saat matahari tak lagi menyisakan bayangan pohon kelengkeng tetangga di tembok rumah, pertanda senja sudah sepenuhnya lengser dari singgasananya. Ia tak ingin membawa pulang pekerjaan yang hanya akan mengganggu acara akhir pekannya. Namun hari itu klason mobil Runi mengejutkan Iroh yang masih menyeterika. Ia pulang jauh lebih awal. Rambut kepang Iroh melonjak-lonjak di belakang punggungnya ketika ia berlari hendak membuka pintu pagar.
“Dea sudah pulang, Roh?” Sejak kemarin sekolah-sekolah di Jogja dipulangkan awal. Aktivitas Merapi menciutkan nyali banyak orang, tidak hanya warga yang tinggal di lerengnya saja. Letusan-letusannya makin kerap dan panjang. Awan panasnya mulai menerjang batas radius zona bahaya 10 kilometer.
“Udah, Nya. Ada di kamar. Lagi siap-siap. Katanya mau ikut jadi relawan.” Iroh menutup pintu pagar.
“Hah? Relawan?” Bergegas Runi masuk ke dalam, menaruh bawaannya di atas meja kerja lalu masuk ke kamar Dea yang pintunya dibiarkan terbuka. “Dea? Beneran kamu mau ke atas? Sama siapa? Ada gurumu? Naik apa? Bukan sepeda motor kan?”
Si gadis terkejut diberondong pertanyaan. Tangannya yang sibuk memasukkan beberapa barang ke dalam ransel terhenti. “Emang nggak boleh? Rae dan Beti ikut juga.”
“Boleh. Yang penting ada orang dewasanya. Kalian belum pernah jadi relawan. Lagian ini bukan gempa. Situasinya beda. Letusannya bisa terjadi kapan aja. Makin lama makin besar. Bukan cuma awan panasnya yang bahaya. Abunya bisa merusak mata. Bahaya untuk paru-paru. Di sini aja abunya kayak gini. Apalagi di atas sana.” Runi punya alasan kuat untuk menguatirkan anaknya.
“Ada Pak Narto, Ma. Ada senior juga.” Dea menyebut nama guru olah raga di sekolahnya.
“Senior?”
“Alumni yang udah pada kuliah. Mereka bikin posko.” Dea menyebut nama desa yang terletak di luar radius bahaya. “Mereka butuh relawan untuk anak-anak, ngajakin main, nggambar, trauma healing, gitu.”
“Jam berapa berangkat? Jangan lupa maskernya. Mama ada banyak. Pakai jaket yang ada hoodnya. Sneakers. Kaus kaki yang sampai lutut. Celana panjang. Kalau perlu pakai sarung tangan…”
“Halaaaah… Mamaaa…”
“Kok halah! Dengerin Mama. Hati-hati itu wajib. Ini bukan hura-hura…”
“Iya, Maaa… tadi udah di-briefing sama senior dan Pak Narto.” Dea memasukkan botol air mineral ke dalam ransel.
“Bawa ini.” Runi mengangsurkan kotak tersegel berisi 20 masker N95 yang direkomendasi lembaga kesehatan internasional; yang dirancang sebagai pelindung dari penyebaran virus flu babi.
“Ini udah ada,” Dea menunjukkan beberapa masker warna telur asin yang biasa dipakai dokter dan perawat.
“Jangan yang itu. Pakai yang ini.” Runi memaksa. “Suruh teman2mu pakai yang ini juga, bukan yang kayak gitu itu.”
Dea menurut. Ia mengerti ibunya lebih ahli dan lebih berpengalaman dalam banyak hal. Lagi pula ia tak ingin sakit hanya karena ngeyel.
“Jangan sepelekan urusan masker ini, ya. Kalau kalian sakit, nggak ada gunanya jadi relawan.” Runi seolah tahu isi otak anaknya. Dea berdiri, memeluk mamanya. “Mama terbaik di dunia.”
“Jam berapa dijemput? Bukan naik motor kan?”
“Naik mobil Beti.” Dea menyingkap ujung lengan kausnya yang menutupi arloji di pergelangan tangannya. “Bentar lagi mereka sampai sini.”
Runi senang anaknya mengenakan kaus turtleneck lengan panjang yang melindungi tubuh hingga ke lehernya. Ibu dan anak melangkah keluar. Eyang mengiringi tanpa bicara namun hatinya melafalkan doa. Ia percaya anaknya sudah cukup memberi wejangan pada cucunya.
“Kami pulang sebelum gelap. Janji…” Gadis kurus tinggi itu memeluk ibu dan neneknya. Kali ini sang nenek tidak protes meskipun cucunya itu membuat gaduh dengan kaki-kaki kurusnya saat berlari melintasi halaman untuk menjumpai teman-temannya.
**
Kursi yang biasa ia duduki berjam-jam itu terasa panas, membuatnya gerah. Keringat keluar dari seluruh pori-pori pahanya, sebagian mengalir ke betisnya, sebagian terserap oleh daster katunnya.
“Kok belum pulang, ya? HP-nya nggak bisa dihubungi!” gelisah Runi. Salah satu laptopnya ia pakai untuk streaming radio komunitas yang terus menerus menyiarkan kondisi Merapi. Sejak matahari menghilang dari lengkung langit Runi telah berkali-kali menelpon anaknya yang belum memberi kabar. Katanya tadi ia akan pulang sebelum gelap.
“Mungkin low-bat. Mungkin sedang di jalan.” Eyang menenangkan. Ia meminta Iroh berhenti menata meja. Runi pasti tak mau makan sebelum anaknya muncul. Iroh ikut merasa kuatir melihat majikannya sejak tadi terbengong di depan netbook yang sering ia pinjam untuk mengunduh lagu. Ia menyalakan TV, berharap bisa melihat nonanya muncul di berita yang disiarkan tak henti-henti sepanjang hari memantau letusan Merapi.
“Pelankan suaranya,” pinta Eyang.
“Saya mau nyari Non Dea…” ujar Iroh serius, mencari stasiun TV yang sudah dua minggu berada di lokasi bencana, menyiarkan langsung setiap peristiwa yang justru sering memicu rasa takut para pemirsa.
“Siapa bilang Dea muncul di TV?” Eyang tertawa.
“Yaaa… saya sering lihat ada relawan ditanya-tanya sama mbak penyiar itu…” Iroh tak melepaskan matanya dari layar TV.
Dari luar terdengar suara mobil berhenti. Iroh meletakkan remoto control. Runi beranjak dari kursi. Eyang menutup bukunya. Tiga pasang kaki berderap bersama menuju pintu depan tanpa aba-aba.
“Deaaa…?” Runi berlari keluar. Nafasnya sedikit terganggu oleh abu Merapi yang beterbangan di atas kota sejak dua hari lalu.
“Runiii… maskernyaaa…!” Eyang menyuruh Iroh menyusul Runi.
Seorang pemuda berkucir keluar dari pintu depan, disusul Dea melompat dari pintu belakang. Di dalam mobil itu terlihat ada beberapa kepala dan suara riuh obrolan dari mulut-mulut mereka.
“Kok sampai malam?” Runi mengulurkan tangan meraih pundak anak gadisnya.
“Maaf, Tante. Tadi kami diminta makan barengan di posko,” si pemuda menjawab sopan. Rambut lurus-gondrongnya diikat kencang di belakang kepala, menonjolkan rahang kokoh dan alis tebal yang menaungi sepasang mata sipitnya. “Saya Renshu. Koordinator posko mahasiswa,” lelaki muda berwajah oriental itu memperkenalkan diri, menyebut nama fakultas dan universitas tempatnya kuliah.
“Kami alumni SMA 3,” tambahnya.
Mereka bersalaman. “Makasih, ya, Renshu.” Nama yang tidak biasa, pikir Runi, “Kami sempat kuatir,” tambahnya tersenyum lega.
“Kami besok siang pergi lagi. Boleh, Ma?” pinta Dea di depan si perjaka. “Ya?”
Runi mengijinkan. Dea berteriak senang. Tawanya berderai, tak peduli pada tubuhnya yang lunglai. Penuh semangat Dea menceritakan pengalamannya. Mulutnya tak berhenti bicara sambil melepas sepatu, mencuci tangan dan berganti baju. Ranselnya yang penuh abu ia taruh di belakang. Ketika Iroh hendak membersihkannya, ia melarang. Katanya akan ia urusi sendiri nanti selepas makan.
Cerita Dea berhenti karena Mama menyuruhnya mandi. “Keramas, ya!” Runi mengingatkan, lalu tersenyum sendiri begitu anaknya masuk kamar mandi. Pikirnya, bila hati sedang senang, kelenjar dalam tubuh memproduksi endorphin, meski badan lungkrah wajah tetap saja sumringah.
Makan malam sudah tertata di meja saat Dea keluar dari kamar mandi. Kisahnya berlanjut lagi. Nama Renshu terucap belasan kali. Mata Eyang berpindah ke wajah Runi tiap kali Dea menyebut nama itu. Cucunya jarang sekali menyebut-nyebut nama teman lelaki.
“Renshu baiiiik… banget. Ia bisa apa aja. Sketsanya keren sekali. Sempat-sempatnya ia bikin sketsa wajah Dea. Bentar…” Dengan rambut terbalut handuk remaja itu berlari ke belakang, mengambil sesuatu dari ranselnya. “Ketemu!” Teriaknya. Dalam sedetik ia sudah berdiri di samping Runi, menyodorkan kertas HVS kuarto berisi sketsa wajahnya dengan pipi sebagian tertutup hood. Sketsa itu terlihat hidup. “Keren, kan? Keren, nggak?”
Runi mengiyakan sambil menyerahkan kertas itu. “Makan dulu."
“Renshu itu papanya Cina dan mamanya campuran Jawa-Cina. Nama Renshu, katanya, artinya gabungan antara sabar, toleran, dermawan, baik hati…” Dea mengambil nafas, “pas banget sama orangnya.” Akhirnya gadis itu berhenti lalu duduk memandangi piringnya yang sudah terisi nasi. “Eyang dan Mama bosan ndengerin cerita Dea?” Gadis itu menatap ibu dan neneknya berganti-ganti.
“Kamu ini cerita soal kegiatanmu jadi relawan apa teman barumu?” celetuk Eyang, menahan tawa sampai beberapa bulir nasi keluar dari mulutnya.
“Kamu tadi main sama anak-anak pengungsi apa sama Renshu?” Goda Runi.
“Yeee… Mama kayak yang nggak pernah muda aja! Kalau bisa dua-duanya ‘napa pilih satu!”
Gelak tawa menghangatkan ruang makan. Di luar, abu yang menyeliputi kota mulai luruh oleh rintik hujan. Di lereng Merapi, ribuan pengungsi berlarian masuk posko, anak-anak mereka ketakutan oleh bunyi gemuruh yang berasal dari perut sang gunung saat ia memuntahkan lava. Di lereng gunung bagian atas yang semua tumbuhannya hangus terpanggang awan panas itu, beberapa jam yang lalu benih-benih cinta bersemi di hati Dea.
**
Catatan:
Wejangan = nasihat
Lungkrah = lelah sekali serasa sulit bergerak
Nisa tunggu kelanjutan ceritanya.. :)Nisa tunggu kelanjutan ceritanya.. :)
ReplyDeletedilanjutin dung kishnya...mkasih...
ReplyDeleteHihihi...akhirnya ketemu jg...ada tho ternyata yg tokohnya cina...hehehe...
ReplyDelete