Sekejap setelah suara yang memekakan telinga, yang  menggemuruh dari seberkas sinar putih membutakan. Aku seperti terlempar  pada suatu masa yang tak mengenal ruang dan waktu. Hanya hampa yang  menyelimutiku. Semua bagai terlahir baru dalam bentuk kedewasaanku.
Aku  meraba sekelilingku,  pupil mataku membesar. Belum dapat kukuasai  keadaan ini. Hanya dingin dan sepi yang hadir. Rasa ingin menangis, tapi  tak mampu air mata ini mengalir.  Kuseret kakiku, melangkah berharap  bertemu ujung masa. Namun sepertinya aku berada dalam ruang tanpa sekat.  Meski telah kujelajahi sebisaku, belum sekalipun aku membentur  dinding-dinding yang entah ada atau tidak.
Waktu seperti berjalan  lambat. Mataku mulai terbiasa dengan gelapnya.  Namun baru tersadar pada  bayangan lebih gelap itu, saat tanganku yang menggapai-gapai, menyentuh  sesuatu, atau lebih tepatnya sesosok. Benar, aku meyakininya dengan  sesosok, karena ada hawa hangat mengalir ke ujung jemariku.
Bayangan gelap itu menggerakkan dirinya. Tangannya seperti menggapai dan menyentuh wajahku. Meraba setiap jengkalnya.
“Maaf!” Suaranya berat, terucap sangat jelas.
Aku  hanya terpekur. Membisu diantara keterkejutan dan kegembiraanku, kalau  bisa kukatakan bahwa rasa yang menyelinap ini adalah gembira.
“Adakah  yang bisa menjelaskan, situasi seperti apa ini?” Dia seperti bertanya  padaku. Dan itu kuyakini karena rasanya hanya ada diriku di dekatnya.
Kucoba  membesarkan bola mataku, berharap dapat melihat sosok didepanku dengan  lebih jelas. Namun hanya sebentuk sosok gelap dan pekat.
“Aku sendiri  tidak mengerti tentang apa dan bagaimana dengan keadaan ini." Jawabku lirih.
Tiba-tiba  telapak tanganku digenggamnya. Aku tak berusaha melepasnya. Naluriku  mengatakan, hanya itu yang bisa kulakukan, entah apa yang akan terjadi  selanjutnya.
“Mari, kita bersama mencari yang tidak pernah kita  ketahui ini.” Ajaknya.  Aku mengangguk kuat, meyakini kalau sosok itu  melihat anggukanku tadi.
Bergandengan tangan kami berjalan  terseok-seok. Mencari yang tak pernah kami ketahui keberadaanya. Hanya  berteman gelap dan sunyi.
Pada awalnya perjalanan ini sungguh  sulit untukku. Mungkin juga untuknya. Tanpa arah dan terang, kami  berjalan seperti mayat hidup. Tanpa koordinasi yang jelas. Terkadang  kakiku menginjak kakinya, demikian sebaliknya. Hanya lenguhan kecil yang  keluar dari mulut kami, saat kaki terinjak atau bahkan kepala saling  beradu. Tapi, sejauh kami melangkah, tidak ada setitik cahaya pun yang  bisa kami kenali. Seperti dalam sebuah lorong yang panjang dan tanpa  ujung.
Aku terus memutar ingatanku. Mencari tahu apa yang telah  kulakukan sebelum ini. Namun, berat rasanya berpikir. Sementara sinar  pun tak nampak. Aku mencubit lenganku. Berharap ini semua mimpi buruk  yang akan segera berakhir. Tapi, aku bisa merasakan rasa sakit  cubitanku. Aku menghela nafas.
“Ada apa?” Suara disampingku terdengar sedikit berbisik.
“Ah, bukan apa-apa. Kukira aku hanya bermimpi. Aku sangat berharap begitu.” Aku menjawab dalam rasa sesal.
“Aku  pastikan ini bukan mimpi. Tapi entahlah, kenapa aku tidak pernah bisa  mengingat apa pun sebelum kejadian ini. Yang kuingat hanyalah saat  tanganmu menggapai menyentuhku.”
Aku memandang ke sisi kananku,  pada sosoknya, yang tak dapat kulihat. Dan kami terus berjalan dalam  hening. Karena memang tak tahu apa yang bisa kami perbincangkan,  sementara tidak ada percikan memori untuk saling bercerita.
“Sepertinya  tak ada waktu disini.” Kataku mulai putus asa. Sepanjang perjalanan  yang entah menghabiskan berapa malam, tak kami temukan apapun.
“Baiklah, kita istirahat dahulu disini. Rasanya kau sudah lelah melangkah.” Suara beratnya seperti mengobati keputusasaanku.
Kami  duduk berdampingan sambil terus saling tergenggam. Tak berani  kulepaskan genggamannya. Hanya itu satu-satunya penopang perasaan  takutku.  Darinya mengalir kehangatan yang membuatku nyaman.
Aku  ingin bersyukur walau dalam kosong, tanpa makna dan ingatan, hanya rasa  yang masih kami miliki. Rasa lelah menjadi penanda bahwa perjalanan yang  kami tempuh sudah sangat jauh. Sedikit aku mengingat bahwa perasaan  hening dan hampa menjadi penanda bahwa sebelum semua ini terjadi aku ada  dalam keramaian. Terang.
“Sudah hilang lelahmu? Kita harus meneruskan perjalanan tanpa ujung ini.” Suaranya membangunkan aku dari diam.
“Aku sudah tak lelah. Tapi aku juga tak terlalu bersemangat dengan apa yang akan kita tempuh ini.” Aku sedikit putus asa.
“Hei,  bukankah lebih baik kita terus bergerak daripada diam? Siapa tahu ujung  jalan ini ada di depan sana. Kau tak akan tahu kalau kau ta berjalan  sampai ke dekatnya.” Walau diucapkan dengan datar, namun aku menemukan  api pembakar semangat dalam ucapannya tadi.
“Begitukah? Ya, memang harus kita coba.” Aku bangkit karena tarikan tangannya.
Perjalanan  kami mulai kembali. Meski dengan semangat yang sedikit memercik, tetap  saja aku tidak bisa menyembunyikan keputusasaanku. Tiap kali aku  menghitung berapa langkah, berharap pada langkah yang kesekian menemukan  terang, tiap kali pula aku menghembuskan nafas kecewa. Namun tiap kali  pula dia menggenggam tanganku dengan kuat.
Aku menyadari kalau  langkah kami semakin kompak beriringan. Tanpa saling menginjak.  Sepertinya waktu ingin mengajarkan kami untuk saling mengerti.
Dalam  ketidakmengertian,aku bersyukur menemukan dirinya. Dia menjadi sosok  yang sangat menopang segala ketidakberdayaanku. Saat itulah sosoknya  semakin dapat kulihat, walau masih samar. Kusadari, pandangan mataku  sedikit demi sedikit mulai dapat melawan pekatnya gelap.
“Aku belum mengenalmu.” Kataku, berusaha memandang wajah samarnya.
“Akupun begitu rasanya.” Sisi wajahnyapun mencari kejelasan di wajahku.
Aku  ingin mengajaknya berkenalan, namun tiba-tiba aku menyadari satu hal.  Aku sendiri tidak mengenali siapa diriku. Oh, apa yang sedang terjadi?  Aku memutar otakku, berusaha membuka lipatan memoriku. Tapi hasilnya,  semua kosong. Tidak ada setitikpun yang bisa kuingat. Siapakah aku?
“Tak  perlu berkenalan. Karena aku tak tahu siapa diriku. Aku hanya tahu  kalau aku ini perempuan. Dan kau laki-laki, itu kukenal dari suaramu”  Jawabku lemah.
“Hmm.. baiklah. Akupun tak tahu siapa diriku. Aku  memang laki-laki dan yakin kalau kau perempuan, walau suara bisa menipu.  Tapi yang pasti, saat ini aku sudah mengenalmu. Kamu adalah  pendampingku.” Jawabnya, walau samar, rasanya kulihat senyum menghias  wajahnya. Aku merasakan kehangatan dari ucapannya.
Kami tidak  mengenal waktu berdetik. Hanya detak jantung yang menjadi penanda waktu.  Dan seiring detak jantung yang meningkat, reaksinya menyebabkan bola  mata mulai sanggup melihat semakin jelas. Jadi, sehari adalah  sepersekian instensitas cahaya yang bisa kami terima.
“Siapakah kita?” Aku kembali bertanya.
“Aku tidak ingin mengetahuinya. Aku hanya ingin kita berdua terus bersama. Saat ini.”
Tanganku  digenggamannya semakin erat. Kurasakan desiran aneh mengalir menjalari  seluruh tubuhku. Siapakah kita? Akupun tak ingin mengetahuinya. Ya,  akupun hanya ingin merasakan ini terus. Karena aku benar-benar buta akan  diriku, dengan keadaanku, dengan keberadaanku.
“Kau tahu? Semakin  lama semakin jelas kulihat sosokmu. Setiap kali aliran hangat merasuki  tubuhku.  Setiap kali itu pula semakin ku tak ingin mengetahui siapa  diriku. Aku berharap terus seperti ini.” Suaranya menggetarkan ruang  dadaku.
Aku tak sanggup mengingkari perasaanku yang juga berharap  demikian. Tiba-tiba aku hanya ingin terus di sampingnya. Menggenggam  tangannya. Duduk bersama dalam sepi dan gelap. Menanti masa yang tak  tentu. Bahkan, aku menikmati caranya memandang dalam samar.
“Kau  tahu?  Sepertinya kita terlempar kemari dengan suatu alasan. Agar kita  saling bertemu, saling menopang dan menguatkan, saling menghangatkan  dalam dingin, menyinari dalam gelap.” Akhirnya genggamannya dilepaskan  dari tanganku. Ditariknya pundakku, dipeluknya aku erat.
Aku  pelan-pelan  menyandarkan kepalaku di bahunya. Lenganku melingkari  pinggangnya. Rasa itu menjalar. Membuat detak jantung kami semakin  kencang. Cahaya di sekeliling kami semakin menerang. Semakin jelas lagi  kami melihat.
“Kau tahu? Semakin jelas semuanya, semakin sebentar waktu kita bersama.” Aku menyadari itu.
“Kita akan terlempar kembali entah kemana. Apakah kita akan bertemu lagi?”
“Aku  tak tahu. Dan akupun tak ingin tahu, apakah kita pernah bersama, apakah  kita pernah saling menyayangi ataupun sebaliknya, siapapun kita dan  bagaimana dengan kita dahulu. Aku hanya ingin menikmati saat ini.” Wajah  kami bertemu. Dalam jelas, tanpa samar. Wajah-wajah yang bersinar  hangat oleh suatu rasa.
“Aku tak tahu apa namanya rasa ini. Aku  ingin ada didalamnya...” Aku tak sanggup meneruskan kalimatku. Bibirku  telah dibungkam kehangatan bibirnya. Degup di dadaku semakin hebat  bergetar. Nafas kami memburu.
Aku memejamkan mataku. Bibirnya menyentuh telingaku. Nafasnya membakar sendiku.
“Sampai  saat itu tiba, aku hanya ingin memelukmu. Biarlah aku menikmati  indahnya rasa ini, walau hanya sekejap. Biarkan aku terus merasai ini,  walau hanya bayanganmu saja.” Bisik suaranya menembus hatiku.
Aku  memeluknya erat. Semakin kuat detak jantung kami, semakin terang  cahayanya. Dan sinar putih itu memancar keluar dari antara kami. Sinar  yang menyilaukan. Aku tenggelam dalam pelukannya. Membiarkan diri larut  dalam hangatnya rasa itu. Dia mengecup keningku dengan lembut.
Plasssss!
Sinar putih itu membutakan. Suaranya menggelegar.
Sekejap menjadi gulita. 
Hening.
___________
Tayang di Kompas.com, Oase-Ceritaku, tanggal 23 Juli 2011
___________
Tayang di Kompas.com, Oase-Ceritaku, tanggal 23 Juli 2011

 
 
 
13 Comments
Aku tak sanggup meneruskan kalimatku. Bibirku telah dibungkam kehangatan bibirnya. Degup di dadaku semakin hebat bergetar. Nafas kami memburu. Sebagai penggemar adegan kissing (jiahahaha!) bagian ini adalah favoritkyuuu!
ReplyDeletekereeeenn!! jempol, suka :D
ReplyDeleteaura romantisnya kuat bangettttt
ReplyDeletesuka sekali dengan sirosa ini, Deasy. romantis dan biru sekali. uhuiiiii :)
ReplyDeletecakepppp bu tulisan yg ini....Jempoll...
ReplyDeleteyang penting pelukan. entah apa yang terjadi berikutnya, ah, yang penting pelukan. indah rasanya.. cihuy!
ReplyDeleteAhiak ..ahiak... Mbak G :D .... Kenapa sama yah? hahahaha... ituuuuu, waktu mau bikinnya mikir seribu kali, ditulis enggak.. ditulis enggak, hahahah.. butuh keberanian besar buatku :D
ReplyDeleteSuriiiii... Makasiiiih ;)
Mbak Ria, hihihihi... semakin kuat lagi auranya karena sering dapet kiriman bunga cantik :)
Meliiiiii ... uhuuuuuy senengnya kalo Meli suka, biru ya? hihihihi
Sariiii... hihihi... makasih Jeng
Mas Naim... memang itu yang penting, indahnya pelukan :d .. cihuuuuy juga
Hahaha, kan kita OKHU sisters, kekeke... sama2 romantis jugaaa, huehuehuee... *ngaku2 roamntis*
ReplyDeleteUsil dan romantis ... *Toss! hihihi
ReplyDeletejadi gini bulik, laki-laki dan perempuan itu sedang tidak tahu dimana, di sebuah tempat, dan mereka tak saling bisa melihat hanya secara rasa tau perbedaan mereka. tapi mereka juga sedang tidak tahu diri mereka. saya sedang menduga ini cerita tentang rasa yang tak peduli apapun, atau pertemuan rasa yang sekejap saja tapi disaat yang sama saya kehilangan arah memahami rasa di dalamnya.
ReplyDeletedalam dialog-dialognya (saya suka banget hihihihi), mereka dengan sangat jelas mengenal rasa yang ada dalam diri mereka, juga mengenal situasi dengan pasti dimensi itu, misal yang ini,
“Aku tak tahu. Dan akupun tak ingin tahu, apakah kita pernah bersama, apakah kita pernah saling menyayangi ataupun sebaliknya, siapapun kita dan bagaimana dengan kita dahulu. Aku hanya ingin menikmati saat ini.”
*bulik deasy nakaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaal
kereen... suka sekali.
ReplyDeleteIngin aku menemukan segera seseorang yang dapat mendampingiku seperti itu...
Pakde nakaaaaallll.. ditunggu ya sesuatunya :D *aku gak bakal jawab apa-apa* ((( bungkam seribu bahasa)))
ReplyDeleteR_Ming24
Semoga segera mendapatkan seperti yang diidamkan ;)
Trims ya sudah mampir
Really touchy!<3
ReplyDelete