Penulis: Fantasia Nina
Suatu hari, di tepi hutan, Tupi, seekor tupai kecil terlihat bersedih. Ekornya jatuh menjuntai di tanah berbatu. Sambil menunduk, ia berjalan menuju sebuah batu besar.
“Baaaaa!”
Tiba-tiba dari balik batu besar muncul Gobi, beruang kecil, dan Lili, gajah kecil, teman-teman Tupi .Tapi Tupi bergeming. Tidak menampakkan wajah terkejut ataupun girang. Teman-temannya heran melihat keadaan Tupi.
“Kenapa bersedih Tupi? “ Tanya Lili
“Aku ini hanya mahluk yang kecil. Tidak ada yang membutuhkanku.” Tupi menyahut dengan suara yang lemah.
“Lho, lho, memangnya kenapa kok tiba-tiba kamu berpikiran seperti itu Tupi? Gobi yang
merasa tubuhnya besar jadi terheran-heran dengan jawaban Tupi.
“Hari ini aku ingin sekali melakukan sesuatu yang berguna, tapi ternyata, tidak ada yang membutuhkan bantuanku. Aku terlalu kecil dan lemah. Hiks” Tupi lalu menceritakan pengalamannya kepada teman-temannya itu.
“Saat Pak Dumbi domba sedang menyiram tanamannya, kupikir aku bisa membantunya. Namun, ternyata tubuhku tidak kuat menahan kencangnya aliran air dari selang. Aku terombang-ambing kesana kemari, akhirnya tanaman pak Dumbi rusak semua.”
“Kok bisa Tupi?” Lili penasaran bertanya.
“Iya, karena aku kesana kemari tanpa terkendali, aku menginjak-injak tanaman Pak Dumbi. Beliau tidak memarahiku, tapi terlihat sedih.”
“ Ya, mungkin kamu sedang sial saja Tupi.” Gobi menghibur Tupi.
“Tidak. Bukan sial. Memang begitulah aku. Setelah dari kebun Pak Dumbi, aku menuju rumah Bu Daku kuda. Dia sedang kesulitan memetik buah. Aku menawarkan bantuan. Ternyata, karena tubuhku kecil, saat memanjat pohon, angin justru menerbangkanku. Aku terjatuh tepat di atap rumah Bu Daku, gentengnya pecah. Kasihan Bu Daku.” Tupi semakin sedih.
“Aih, Tupi, jangan bersedih. Bagaimana kalau kita bermain bersama?” Lili mencoba menghibur Tupi.
“Lihat, aku membawa kertas warna-warni, lem, gunting dan pita. Bagaimana kalau kita bermain gunting dan tempel?” Lili tiba-tiba mendapat ide.
“Ah ya. Ayo Tupi, kita main bersama-sama.” Gobi memberi semangat.
Tupi melihat tumpukan kertas warna-warni tersebut. Tiba-tiba ia tersenyum ceria, matanya berbinar. Tupi mendapat ide.
“Ah, benar.. aku mau membuat sesuatu. Ayo, kita bermain gunting dan tempel.” Tupi bersemangat sekali. Suaranya terdengar nyaring. Ekornya tegak melambai.
Lalu tiga sahabat itu sibuk membuat sesuatu. Sesekali Tupi mencari-cari di sekitar situ. Dipetiknya bunga-bunga rumput kecil, dipungutnya dedaunan kering, bebatuan dan ranting-ranting kecil.
Sesekali mereka tertawa dan saling mendorong, bercanda dan bersorak setiap kali salah satu dari mereka berhasil menyelesaikan pekerjaan mereka.
Matahari sudah berada di titik puncak saat mereka bersiap membenahi pekerjaan mereka. Terlihat senyum puas menghiasi wajah mereka yang berseri-seri.
Mereka bertiga menuju rumah Pak Dumbi. Sesampainya di sana, Pak Dumbi sudah selesai merapikan tanamannya yang rusak tadi. Tupi mendekat.
“Pak Dumbi, maafkan kecerobohan saya tadi pagi. Ini ada sesuatu untuk Pak Dumbi.” Tupi menyerahkan sesuatu pada Pak Dumbi.
“Apa ini? Oooh, sebuah hiasan dinding yang cantik, dengan hiasan kertas warna-warni dan daun-daunan kering. Indah sekali. Heemmm ini cocok sekali untuk hiasan ruang tamuku. Kebetulan aku memang sedang mencari sesuatu untuk kuletakkan di dinding ini, agar tidak kosong. ” Pak Dumbi tersenyum riang.
“Bolehkah aku meminta bantuanmu ,Tupi?”
“Tentu saja pak Dumbi.”
“Aku membuat lukisan pesanan Bu Daku, tapi belum sempat mengantarkannya. Maukah kau mengantarkannya?”
Tentu saja Tupi mengangguk senang. Ditatapnya kedua teman-temannya, mereka terlihat gembira. Lalu mereka segera berpamitan dan pergi menuju rumah Bu Daku.
Bu Daku sangat senang menerima lukisan Pak Dumbi. Matanya berbinar-binar.
“Wah, kalian baik sekali mengantarkan lukisan indah ini. Segera akan kupasang di sudut ruangan favoritku.” Bu Daku tersenyum puas memandangi lukisan itu.
“Ini untuk kalian.” Bu Daku mengeluarkan keranjang makanan, isinya bermacam-macam.
“Ayo, ambillah!” Bu Daku tersenyum.
“Terima kasih Bu. Kami juga mau pamit pulang.” Tupi dan teman-temannya serempak mengucapkan salam.
Mereka pulang sambil saling bercerita dengan gembira. Tiba-tiba di tengah perjalanan, terdengar suara isak tangis. Mereka mencari asal suara tersebut. Ternyata ada seekor kucing kecil yang menangis karena kelaparan. Dengan segera mereka memberikan makanan yang mereka dapat dari Bu Daku tadi. Kucing kecil itu senang sekali, tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih.
Tiga sekawan tadi pun semakin senang dan bergembira, karena ternyata bantuan yang mereka berikan tadi, walaupun kecil, sangat berarti bagi yang membutuhkan. Ternyata, tubuh kecil bukan menjadi penghalang untuk membantu dan berbuat demi kebaikan.
***
Moral cerita:
Sekecil apapun bantuanmu, itu dapat memberi pengaruh besar bagi sekelilingmu.
Suatu hari, di tepi hutan, Tupi, seekor tupai kecil terlihat bersedih. Ekornya jatuh menjuntai di tanah berbatu. Sambil menunduk, ia berjalan menuju sebuah batu besar.
“Baaaaa!”
Tiba-tiba dari balik batu besar muncul Gobi, beruang kecil, dan Lili, gajah kecil, teman-teman Tupi .Tapi Tupi bergeming. Tidak menampakkan wajah terkejut ataupun girang. Teman-temannya heran melihat keadaan Tupi.
“Kenapa bersedih Tupi? “ Tanya Lili
“Aku ini hanya mahluk yang kecil. Tidak ada yang membutuhkanku.” Tupi menyahut dengan suara yang lemah.
“Lho, lho, memangnya kenapa kok tiba-tiba kamu berpikiran seperti itu Tupi? Gobi yang
merasa tubuhnya besar jadi terheran-heran dengan jawaban Tupi.
“Hari ini aku ingin sekali melakukan sesuatu yang berguna, tapi ternyata, tidak ada yang membutuhkan bantuanku. Aku terlalu kecil dan lemah. Hiks” Tupi lalu menceritakan pengalamannya kepada teman-temannya itu.
“Saat Pak Dumbi domba sedang menyiram tanamannya, kupikir aku bisa membantunya. Namun, ternyata tubuhku tidak kuat menahan kencangnya aliran air dari selang. Aku terombang-ambing kesana kemari, akhirnya tanaman pak Dumbi rusak semua.”
“Kok bisa Tupi?” Lili penasaran bertanya.
“Iya, karena aku kesana kemari tanpa terkendali, aku menginjak-injak tanaman Pak Dumbi. Beliau tidak memarahiku, tapi terlihat sedih.”
“ Ya, mungkin kamu sedang sial saja Tupi.” Gobi menghibur Tupi.
“Tidak. Bukan sial. Memang begitulah aku. Setelah dari kebun Pak Dumbi, aku menuju rumah Bu Daku kuda. Dia sedang kesulitan memetik buah. Aku menawarkan bantuan. Ternyata, karena tubuhku kecil, saat memanjat pohon, angin justru menerbangkanku. Aku terjatuh tepat di atap rumah Bu Daku, gentengnya pecah. Kasihan Bu Daku.” Tupi semakin sedih.
“Aih, Tupi, jangan bersedih. Bagaimana kalau kita bermain bersama?” Lili mencoba menghibur Tupi.
“Lihat, aku membawa kertas warna-warni, lem, gunting dan pita. Bagaimana kalau kita bermain gunting dan tempel?” Lili tiba-tiba mendapat ide.
“Ah ya. Ayo Tupi, kita main bersama-sama.” Gobi memberi semangat.
Tupi melihat tumpukan kertas warna-warni tersebut. Tiba-tiba ia tersenyum ceria, matanya berbinar. Tupi mendapat ide.
“Ah, benar.. aku mau membuat sesuatu. Ayo, kita bermain gunting dan tempel.” Tupi bersemangat sekali. Suaranya terdengar nyaring. Ekornya tegak melambai.
Lalu tiga sahabat itu sibuk membuat sesuatu. Sesekali Tupi mencari-cari di sekitar situ. Dipetiknya bunga-bunga rumput kecil, dipungutnya dedaunan kering, bebatuan dan ranting-ranting kecil.
Sesekali mereka tertawa dan saling mendorong, bercanda dan bersorak setiap kali salah satu dari mereka berhasil menyelesaikan pekerjaan mereka.
Matahari sudah berada di titik puncak saat mereka bersiap membenahi pekerjaan mereka. Terlihat senyum puas menghiasi wajah mereka yang berseri-seri.
Mereka bertiga menuju rumah Pak Dumbi. Sesampainya di sana, Pak Dumbi sudah selesai merapikan tanamannya yang rusak tadi. Tupi mendekat.
“Pak Dumbi, maafkan kecerobohan saya tadi pagi. Ini ada sesuatu untuk Pak Dumbi.” Tupi menyerahkan sesuatu pada Pak Dumbi.
“Apa ini? Oooh, sebuah hiasan dinding yang cantik, dengan hiasan kertas warna-warni dan daun-daunan kering. Indah sekali. Heemmm ini cocok sekali untuk hiasan ruang tamuku. Kebetulan aku memang sedang mencari sesuatu untuk kuletakkan di dinding ini, agar tidak kosong. ” Pak Dumbi tersenyum riang.
“Bolehkah aku meminta bantuanmu ,Tupi?”
“Tentu saja pak Dumbi.”
“Aku membuat lukisan pesanan Bu Daku, tapi belum sempat mengantarkannya. Maukah kau mengantarkannya?”
Tentu saja Tupi mengangguk senang. Ditatapnya kedua teman-temannya, mereka terlihat gembira. Lalu mereka segera berpamitan dan pergi menuju rumah Bu Daku.
Bu Daku sangat senang menerima lukisan Pak Dumbi. Matanya berbinar-binar.
“Wah, kalian baik sekali mengantarkan lukisan indah ini. Segera akan kupasang di sudut ruangan favoritku.” Bu Daku tersenyum puas memandangi lukisan itu.
“Ini untuk kalian.” Bu Daku mengeluarkan keranjang makanan, isinya bermacam-macam.
“Ayo, ambillah!” Bu Daku tersenyum.
“Terima kasih Bu. Kami juga mau pamit pulang.” Tupi dan teman-temannya serempak mengucapkan salam.
Mereka pulang sambil saling bercerita dengan gembira. Tiba-tiba di tengah perjalanan, terdengar suara isak tangis. Mereka mencari asal suara tersebut. Ternyata ada seekor kucing kecil yang menangis karena kelaparan. Dengan segera mereka memberikan makanan yang mereka dapat dari Bu Daku tadi. Kucing kecil itu senang sekali, tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih.
Tiga sekawan tadi pun semakin senang dan bergembira, karena ternyata bantuan yang mereka berikan tadi, walaupun kecil, sangat berarti bagi yang membutuhkan. Ternyata, tubuh kecil bukan menjadi penghalang untuk membantu dan berbuat demi kebaikan.
***
Moral cerita:
Sekecil apapun bantuanmu, itu dapat memberi pengaruh besar bagi sekelilingmu.
Saya suka cerita ini, sederhana dan manis. Paling suka paragraf pertama, ngebayangin si Tupi lagi sedih ekornya jatuh... nglokro... gitu...
ReplyDeletePesan moral yang bagus ;)
ReplyDelete