Reality SHOCK

  Meti terbirit-birit berlari masuk ke dalam gedung kantor dengan kepanikan yang luar biasa. Aduh, aku sudah telat nih… Kenapa sih tadi pagi aku menuruti saja kemauan anak-anakku untuk bermanja-manja? Tapi aku juga tidak tega menolak mereka, keluhnya dalam hati. Ia sudah membayangkan wajah Ibu Siliviana yang tidak kalah seramnya dengan ikan piranha. Belum lagi caci makinya yang akan membuat para preman tersipu malu karena kalah kasar. Dan volume suaranya akan membuat para penjual loudspeaker bangkrut karena akan terdengar kemana-mana. Mungkin bisa membangunkan hantu yang sedang tidur.

Dan…”Mati akuuuu,” ia nyaris menarik rambut di kepalanya begitu melihat bahwa antrian di dalam lift begitu padat. Percaya atau tidak tapi 15 menit akan terbuang percuma dengan menunggu lift ini. Bahkan bisa lebih. Ia berpikir keras sembari meletakkan tasnya di meja pemeriksaan dan melewatinya dengan sukses. Lalu ia memandangi beberapa orang yang ada disana. Ia nyaris melonjak gembira ketika melihat ada Johanna. Hah, berarti akan ada orang yang sama-sama disemprot nanti…





“Hi Meti!” Johanna keburu menyapa dirinya. Meti merasa heran melihat Johanna begitu tenang dan bahkan mundur dari antrian untuk menyambut dirinya. Ada apa ini? Apakah Ibu Silviana tidak ada di kantor? Aduh semoga saja ia sedang rapat diluar, harap Meti. Ia yang baru saja cuti seminggu merasa belum siap untuk diterjang berondongan peluru makian oleh Ibu Silviana.

“Abis olahraga ya?” Johanna mengangggu Meti seraya menyeringai… Ia lalu menunjuk keringat yang menetes dari dahi Meti. Dengan tergesa Meti merogoh tissue untuk menyeka keringatnya. Ia melirik kearah gelas kopi yang dipegang oleh Johanna. Mungkin ia baru saja membelinya dari kafe yang ada di sebelah gedung ini. Wah, pasti betul Ibu Silviana sedang keluar kantor karena berjalan ke kafe itu membutuhkan waktu yang tidak singkat.

“Sudah seminggu ini aku mendengar kalau Ibu Silviana sakit,” Johanna menjelaskan sebelum Meti sempat bertanya. “Jangan tanya dia sakit apa, aku gak tau dan gak mau tau…”

Meti manggut-manggut seraya menarik napas lega. Seluruh badannya langsung terasa lebih santai dan beban seolah terangkat dari tubuhnya. Tapi ia tercenung memikirkan sakit apa yang kiranya berani menghampiri Ibu Silviana? Ia tersentak sejenak ketika Johanna menyikutnya agar segera masuk ke dalam lift. Johanna meliriknya dan tersenyum melihat Meti terdiam.

“Ada apa? Bukannya kamu seneng kalau Madam Piranha tidak ada di kantor?” ia merasakan pandangan orang-orang lain mengarah pada mereka. Mereka mungkin menebak bahwa yang disebut Madam Piranha itu adalah orang yang tidak disukai. Mudah-mudahan saja tidak ada yang berhasil menghubungkan kalau Madam Piranha itu adalah Ibu Silviana, pikir Johanna dalam hati.

Meti hanya mengangkat bahu sambil kembali tenggelam dalam pikirannya. Ia sebenarnya sangat perasa dan mudah tersentuh akan keadaan orang lain. Ia tidak tega membayangkan Ibu Silviana yang sudah berumur itu jatuh sakit.

Mereka berpisah menuju meja masing-masing ketika telah sampai di dalam ruangan kerja. Sembari meletakkan tasnya di meja ia melayangkan pandangan ke penjuru ruangan. Semuanya terlihat ceria dan bahagia. Ohya semuanya tetap bekerja seperti biasa. Tapi seperti ada awan cerah dan sinar hangat matahari dalam ruangan tersebut. Padahal biasanya mereka kedinginan karena AC yang terlalu poll. Atau kepanasan ketika AC rusak. Seperti tidak ada yang membebani mereka.

Johanna memandangi Meti dari tempat duduknya dan menggelengkan kepala. Ia sudah terlalu sering melihat Meti melankolis seperti ini. Ia meringis kalau mengingat Meti sering datang dan mengeluh kepadanya mengenai Ibu Silviana. Tapi sekarang? Ia kelihatan begitu memikirkan Bos Galak tersebut. Sepertinya sebentar lagi ia akan mengusulkan sesuatu yang aneh-aneh yang sama sekali tidak disukainya.

“Teman-teman…,” Johanna mengangkat kepalanya dan melihat Meti berdiri didepan ruangan milik Ibu Silviana. “Mohon perhatiannya sebentar nih…”

Ini dia deh…, gerutu Johanna dalam hati.

“Saya tadi baru saja menghubungi rumah Ibu Silviana dan kata pembantunya beliau menderita sakit gejala tipus…”

Terdengar gumaman beberapa orang di sekitar Johanna. Sebagian rupanya sudah mengetahui namun tidak merasa terlalu penting untuk memberi tahu yang lainnya. Sebagian lain baru tahu dan sebenarnya tidak ingin tahu. Meti lalu mengusulkan agar mempersiapkan diri menjenguk Ibu Silviana dirumahnya.

Mulai terdengar beberapa celetukan bernada penolakan dari sana sini.

“Tidak boleh begitu teman-teman,” terdengar Meti berkeras berusaha mengajak rekan-rekannya agar tidak terlalu menyimpan kesal di hati terhadap Ibu Silviana.

“Seandainya kita sakit tentunya kita ingin dijenguk juga oleh rekan-rekan sekalian kan? Tidak ada yang ingin sakit sendirian dirumah…,” kata-kata terakhir Meti rupanya berhasil mengetuk sebagian kecil hati rekan-rekannya. Walau masih terdengar gerutuan disana sini akhirnya semua setuju untuk pulang lebih cepat agar bisa membeli sesuatu untuk dibawa ke rumah Ibu Silviana. Johanna memaksakan senyumnya kepada Meti ketika dilihatnya rekannya tersebut mengacungkan jempol kepadanya.

“Siapa tau dengan kita menengoknya hatinya akan lumer, “ celoteh Meti kepada Johanna ketika sore itu mereka berada dalam satu kendaraan milik rekan kantor. “Kita tidak boleh melawan kegalakan dengan kegalakan juga…”

“Kita memang gak bisa galak balik sama piranha, Metiii…,” dengus Johanna kesal tapi melihat Meti yang terlihat tulus untuk menengok Ibu Silviana akhirnya ia menahan diri. “Yah, mari kita harapkan dia tidak memangsa kita disana agar cepat sembuh…”

Seperti yang sudah mereka duga, rumah Ibu Silviana yang terletak di belakang area Pondok Indah Mall Jakarta Selatan itu berdiri megah. Pembantu Silviana yang membukakan pintu mempersilahkan mereka semua masuk memarkir mobil di dalam halaman rumah. Tiga mobil yang masing-masing berisi 9 penumpang itu pun masih leluasa parkir didalam. Dengan terkagum-kagum mereka masuk kedalam ruangan rumah yang lebih besar lagi. Didalamnya terdapat sofa dan guci-guci nan megah (dan muat dimasuki oleh orang, pikir Johanna) dan lukisan mahal terpampang di dinding. Ada lemari yang berisi pajangan gantungan kunci dari berbagai penjuru dunia. Belum lagi souvenir khas beberapa negara yang menghiasi meja dan pojok ruangan.

Lalu muncullah Ibu Silviana yang terlihat begitu ringkih dan pucat. Wajahnya terlihat terkejut ketika melihat anak buahnya berada di dalam rumahnya. Ia tersenyum dan menyuruh pembantunya membuatkan minuman walau mereka semua berbasa basi agar tidak perlu repot-repot. Meti yang mewakili rekan-rekannya memberikan sekeranjang buah-buahan kepada Ibu Silviana yang menerimanya dengan wajah lebih terkejut lagi. Setelah meletakkan keranjang buah tersebut ia mempersilahkan mereka semua duduk

“Ah, saya sungguh terharu kalian semua merepotkan diri datang menengok saya…,”Ibu Silviana memulai pembicaraan setelah beberapa menit terdiam dalam suasana kikuk.

“Ini semua usul Meti, Bu…,” terdengar celetukan dari beberapa orang. “Maaf juga karena kami baru sempat menengok Ibu sekarang…”

Ibu Silviana seperti hendak mengucapkan sesuatu namun ia terlihat tercekat. Lalu ia menunduk dan mencopot kacamatanya dan tangannya meraih tissue. Johanna tercengang melihat bahwa Ibu Silviana terlihat berkaca-kaca matanya. Dan ia lebih terpana lagi ketika melihat Meti yang langsung berdiri dan duduk disamping Ibu Silviana. Ia merasa tulang rahangnya hampir lepas ketika Meti yang terlihat sudah berderai air mata sudah memeluk Ibu Silviana. Ia melirik ke rekan-rekannya yang lain yang terlihat terdiam serta sebagian juga terlihat menahan haru. Mudah-mudahan saja mereka semua tidak mengikuti Meti dengan memeluk Ibu Silviana saat ini juga.

Sepulangnya dari sana, hanya Meti yang terlihat ceria. Ia yakin kebaikan hati akan mengalahkan semuanya termasuk Ibu Silviana. Ia begitu yakin bahwa begitu sembuh Ibu Silviana akan berubah jauh dari yang sebelumnya. Dan itu semua karena dirinya, Meti terlihat melambung ke udara. Yah, mudah-mudahan saja begitu, terdengar jawaban dari rekan-rekan kerja mereka yang lain. Mereka menghabiskan malam itu dengan pergi ke Coffee Shop. Memperbincangkan apa yang mungkin terjadi setelah kunjungan tersebut. Semuanya berharap yang terbaik.

Dan seminggu kemudian di tempat yang sama yaitu kantor mereka terdengar suara yang sudah sangat dikenal,”METIIIIIIIIII!!! CEPAT KEMARI KE RUANGAN SAYA!”

Johanna mendongakkan wajahnya dan melihat bagaimana Meti tergopoh-gopoh masuk ke dalam ruangan Ibu Silviana. Ia lalu menundukkan kepala lagi dan menambah volume dari IPOD agar tidak perlu mendengar pancaran siaran dari ruangan Ibu Silviana. Ia menggelengkan kepala seraya kembali memperhatikan pekerjaannya. Masih sempat dilihatnya dari ujung pandangan matanya bagaimana tatapan rekan-rekannya ke arah ruangan Ibu Silviana. Dan mereka pun hanya menggelengkan kepala dan sadar bahwa langit cerah dan sinar matahari yang hangat itu sudah lenyap.

You may hope for the best, but often some things are not going to change.

5 comments:

  1. Hahahaha.. poor Metii *hugs* Tapi jangan kuatir, in the end kebaikan itu akan selalu berbuah manis kok ;)

    ReplyDelete
  2. hihihihihi... Iya, Meti tidak boleh menyeraaaaahhhh

    ReplyDelete
  3. hahhahaha...seruuu say..tapi last word-nya itu benar juga...dan perbuatan baik akan datang nantinya, entah dari siapa, dimana dan kapan waktunya....

    ReplyDelete
  4. but sometimes reality just give you shock therapy :D

    ReplyDelete
  5. baru sempet baca yang ini... hehehe... pantang menyerah buat Meti... siiip

    ReplyDelete