Pesawat Kertas

Oleh: Agung Teguh Satria Pratomo

Aku masih ingat saat kita bermain pesawat kertas di tanah lapang kosong seusai senja sebelum purnama. Kau membuatkanku pesawat itu karena aku tak bisa membuatkanya, "Ini untukmu," bisikmu yang halus takkan pernah ku lupa. 

Senyum indah dengan lesung pipit itu yang membuatku tak akan pernah melupakan saat sesudah kau menjahiliku dengan segudang kejahilanmu. Tapi kau selalu mengucapkan maaf seusai itu semua. Aku tak pernah lupa.

Namaku Kinanti, aku sering dipanggil Kinan oleh teman-temanku, dan teman yang ku ceritakan tadi adalah Pramudya, aku selalu memanggil Pramu tapi kadang-kadang aku memanggilnya Jamu kalau aku sedang kesal padanya.

Aku satu sekolah dengannya, kami masih duduk di kelas 5 SD di sebuah sekolah negeri. Kami selalu berangkat dan pergi sekolah bersama-sama, tak lupa dia selalu memberikan senyuman yang manis untuk dinikmati. Kami memang sudah bersahabat dari kecil, dari kami TK hingga sekarang kami selalu bersama. Dia sahabat yang baik.

Awal Maret, ketika bermain pesawat kertas yang rutin kami lakukan setiap senja sepulang sekolah. Dia nampak sedikit aneh. 

"Aku akan pergi," dia berbicara seolah dia akan meninggalkanku untuk selamanya. 

"Kau mau ke mana?" Tanyaku dengan sedikit gundah.

"Aku harus pergi sekarang, aku akan pergi ke luar negri, untuk selamanya."

Dia berlari meninggalkan tanah lapang dan juga meninggalkanku untuk selamanya. Aku tak kuat menahan air mata yang telah menari pada kelopak mataku hingga akhirnya jatuh tak tertahankan.

Tahun demi tahun aku lalui sendiri, hingga kini aku beranjak remaja. Aku kini berseragam SMP. Tapi kecerianku tak seperti dulu saat Pramu masih ada bersamaku. 

Ibu sering bercerita, aku sering mengigau membicarakan pesawat kertas dan Pramudya. Perpisahan kami memang membuat trauma mendalam bagiku. Aku pernah jatuh sakit saat itu, keparahannya membuatku harus dilarikan ke rumah sakit. Ayah dan ibu yang merawatku hingga aku kembali bisa beraktivitas. 

Pramudya memang sahabatku yang paling baik. Kebaikannya, semangatnya, keceriaannya, dan sifat pantang menyerah itu yang membuat aku merindukannya. Tapi kini dia telah tiada jauh disana, dan entah dimana.

Dari semenjak kajadian itu aku menjadi orang yang pendiam, pemalu, dan pemalas. Hingga kini teman-temanku selalu menyemangatiku, tetapi semua sia-sia, karena menurutku tidak ada yang bisa menggantikan kebaikannya Pramudya. 

Aku sering menangis tak ada sebab, dan Galih teman sekelasku selalu saja mengejekku saat aku menangis. Dia orang yang paling menyebalkan untuk saat ini. Mungkin kalau Pramudya masih bersamaku saat ini, dia akan memarahi Galih. Aku sering dijahili olehnya, tapi tidak seperti Pramudya, dia tidak mau meminta maaf sesudah menjahiliku. Aku sangat membencinya.

Suatu saat aku mengalami trauma yang sangat mendalam. Nilai raporku turun jauh, banyak nilai yang tidak dapat aku terselesaikan dengan sempurna, malah banyak nilai yang di bawah rata-rata. 

Aku menangis sejadinya saat pembagian rapot itu. Satu sekolah mengetahuinya, karena aku menangis tepat di depan kelasku. Ayah dan ibu tak mampu menenangkanku, bahkan semua teman sekelasku tak mampu memberhentikan tangisanku. 

Hingga saat orang tuaku berbincang dengan guruku ada seorang pria mendekatiku dan memberikan sebuah pesawat kertas kepadaku. 

"Ini untukmu," dia memberikannya mirip dengan saat aku masih duduk di kelas 5 SD, yah, sama seperti Pramudya memberikan pesawat kertas kepadaku. Aku terkejut sekaligus senang saat itu. 

"Pramudaya, itu kamu?" Aku berkata kepada orang yang memberikan pesawat kertas tadi. 

"Ini aku Galih."

Aku terkejut sekaligus bangun dari dekapan tangisan yang menyerangku semenjak tadi. 

"Mau apa kamu?" Aku bertanya kepadanya dengan nada sinis, "Mau mengejekku lagi?" Aku semakin berprasangka tidak baik kepadanya. 

Dengan tenang dan senyum yang hampir mirip dengan Pramudya, dia berbicara, "Aku hanya ingin memberikanmu pesawat ini."

Aku semakin terkejut, ada apa dia memberikanku pesawat itu. 

"Aku tahu, aku bukan Pramudya sahabatmu dulu, tapi aku ingin menjadi temanmu, maafkan aku selalu menjahilimu, aku melakukannya semata-mata ingin membuatmu kembali ceria, aku tidak suka melihat orang yang hanya berdiam dan melamun tak karuan. Aku tahu kau sangat menyayangi sahabatmu itu, tapi itu tak perlu kau sesali, di sana diapun tidak menyukai kau yang seperti ini." Dia menasihatiku layaknya kakak terhadap adiknya yang terpuruk. 

"Kau harus kembali bangit dari keterpurukanmu itu, kau anak yang pintar dan kau harus punya semangat layaknya Pramudya sahabatmu." 

Aku yang tadi menangis kini bisa tersenyum mendengar kata-kata dari Galih. Aku memeluknya seperti kepada seorang kakak. 

Terima kasih Galih, kau telah mengingatkanku, mulai saat ini aku akan menjadi orang yang lebih kuat, aku harus seperti Pramudya. Aku melepaskan pelukku dan berdiri. Aku menari-nari layak seorang penari balet pada panggung pertunjukan. Teman-temanku kini berubah wajahnya menjadi bahagia, dan orang tuaku yang semenjak tadi terlihat sedih kini kembali tersenyum indah.

Tahun demi tahun kini aku menjadi wanita yang kuat. Aku menjadi orang yang paling ceria di sekolah. Menjadi orang yang paling semangat menatapi kehidupan. Terima kasih Galih berkatmu aku menjadi orang seperti ini. Aku dan Galih menjadi sahabat yang baik seperti kakak dan adik. Tak lupa kepada Pramudya yang menjadi inspirasiku menatapi kehidupan, dan kepada pesawat kertasmu.

1 comment: