Puisi-Puisi Naim Ali (2)

: untuk Bu Zuh, juga semua ibu

/1/
dia perempuan.

urai panjang rambutnya selamanya menghitam malam, sepasang matanya bertoreh baskara, tangan kanan menggenggam fajar yang kiri menadah ranah buritan. kakinya mengayun angin di atas dipan -dinikmati itu seumpama candu- dan bila waktunya datang, ia langkahkan kemana berjalan.

kini jalannya melesat tak terhambat: baginya cuma satu, cabang dan ranting itu semu; maju. katanya kematian tak jemu menunggu.


/2/
bila saja mampu, bukan pada alam ini nyawanya berdiri.

ia lebih tenang jika menyanding matahari dalam kisar galaksi. sebab ia bisa merajuk dayagunanya agar planet dan bintang mungil itu berpijar wajar atau melebur gentar. selaik keindahan tanpa rintih yang menyuara gelegar, begitu tenang dan tenteram.

apalah daya, tetap saja ia kumpulan debu dengan senyawa yang juga diburu. ia bersaksi itu tiap kali akan menggerutu.


/3/
dipersiapkan berlapis gelombang putih untuk dilaraskan. ruah bening dari berbagai air mata dikumpulkan serta digenangi penggal-penggal dunia selebar kelor. tak luput wewangi alam yang bernafas dihimpun sampai nanti dihembus salam.

beruntun, kepada sebujur jasad, ia kabungkan kesemua lapis gelombang itu setelah tetumpah air mata terbasuh dan ditiupi salam wangi. sesungguhnya ia tahu, berkali ia menyaksi nyawa mengambang di sela berkasih dan bersayang dibalutkan.


/4/
barangkali tak ubahnya seorang musafir. setelah lelah menempuh safar; mengikuti kaki hilir dan memutar badan, ia bujur keseluruh tubuh tanpa mengacuh kiri kanan. yakin ia sudah kumuh. apa peduli dengan selembar tanah yang baru ia gelar. merebah saja dan segala pemandangan dipejam.

April, 2011


TERLANCAP GAGAP

karena waktu tak ubah dengan rambutku; bisu memanjang lalu kupotong. juga kuku, meradang kaku layak batu yang pada kalanya melebur debu, lalu angin membawanya ke segala penjuru.

untuk wajahmu debu-debu itu tak cukup seribu. tapi untuk kisahmu aku tak perlu wajahmu.

ada lirih rintik tanpa henti berbisik merdu tentang jemari kita berpangku satu, atau sepanjang tapak layu jalan ragu itu kasih kita dirubung kupu-kupu.


LAPANGAN

dari tutur seorang tetangga, dia bercerita. awalnya di pojok itu banyak bangunan mati dan keliar ilalang. mengenai bentuk mati bangunan dan jejamah ilalang panjang yang membuat matamu menggelinjang, kita tahu, tidak perlu aku pengapi.

terpasti saat ini sudah total dibabat jadi lapangan. hanya rumput segar rapi yang membentang keluasan lapang.

terserah kita sekarang. mau telentang, merebah berhari pun bermalam tidak akan terbunuh bimbang. sebab di situ segala bendera bila kita pancang akan gampang berkibar.


Taksir

itu

(berjenis pohon, gunung, gubuk-gubuk.

membaris. menjajar. demi selukis horizon.

sampai-sampai mereka harus mendaki;

menyatukan langit dan bumi.)
cakrawala. tebak saja.


Kelabu ke Putih

hingar yang mengakar kian jalar setelah waktu terkikis ludah. tubuh nan rampak, rebah. tergenang, mengambang lelah.

ulur tangan sampai terangkat angin, mohon enggan kalah.

dan pada jalan bercabang, dipotong satu per satu mana kiranya mampu.

1 comment:

  1. Makasih ya Mas Naim .. puisi yang manis.. buat aku juga khan? :D

    ReplyDelete