Bulan Bulat Nggantung di Pretoria
Monumen Voortrekker yang dingin mengacung padamuseperti bilang aku masih di sini
menjaga arwah perang sungai berdarah.
Dan kau menjawabnya sambil menerangi
pohon-pohon jacaranda yang keputihan
aku tetap di sini
mendekat
menjaga jarak denganmu.
Pretoria, 24 Juni 2010
Tunggu Ayahmu Pulang
Langitku, pagi ini suaramu lirih kudengarberjarak 18 jam penerbangan. Aku senang.
Kaubilang sedang bermain coret-coretan
tanpa teman.Aih, adakah warna merah itu
untuk Ayahmu? Atau coklat untuk jerapah, ikan,
dan sapimu?
Bawain oleh-oleh ya, Ayah!
Aih, makin pintar kauberkata-kata
makin banyak kaubelajar dari dunia.
Aku sedang mengumpulkan oleh-oleh itu
buatmu. Sebungkus cerita tentang Afrika dan sepakbola,
tentang negeri elok yang dinginnya sering tak terkira,
tentang orang-orang yang mampu bangkit
dari khianat masa lalu kelabu, tentang mereka
si hitam berhati putih, tentang kesetaraan, tentang
kebebasan dan perdamaian.
Duapuluh enam hari lagi aku pulang, Langitku. Kita
buka sama-sama oleh-oleh itu
dan kutemani kau mencoreti setiap kisah
dengan warna maumu sampai penuh setiap laman.
Tunggu Ayahmu pulang, Langitku.
Aku rindu berbagi hangat peluk
juga kecup dari bibir manyunmu.
Johannesburg, 20 Juni 2010
Soal Kebenaran
Yang hendak kaukatakan di sini hanyalah soal kebenaran. Benar bahwa orang-orang putih menindas orang-orang hitam lalu jadi manusia kelas sampah pemakan remah-remah sampai Hector Pieterson mati sampai datang itu revolusi.Hendak kaukatakan kebenaran tak boleh mati di sini. Meski hak sudah sama juga kebebasan terbuka tapi penyakit lupa dirajam saja.
Apartheid Museum, Johannesburg, 18 Juni 2010
Aku Ingin Menusuk Rindu
Sebenarnya aku hanya ingin katakanbagaimana telah kusingkirkan pengganggu
dari masa lalu. Sehingga di sini aku hanya
merindumu seperti pohon-pohon tak berdaun
di sisi-sisi Oak Avenue menanti hijau.
Tetapi jika kau tak punya percaya, apa lagi
kau nanti dari kepala. Padahal aku hanya ingin
menusuk rindu lewat setiap kabar yang kaukirim
padaku. Hanya padaku.
Oak Avenue, Johannesburg, 17 Juni 2010
Ke Nako!
Ke Nako! Siapa sangka kalian mampu merancangnyapadahal banyak manusia meletakkan ragu di bahu-bahu
sambil terus memaku pelangi di dunia ketiga.
Memang sepanjang kisah memaki mencerca
seperti rasa nikmat yang tak boleh berhenti dikecap
orang-orang arogan tak punya pikir panjang
lalu diludahkan sebagai asam. Cuih!
Tapi kalian seka saja setiap muncrat sebagai berkat
dari Yemaya sampai Anansi, Shango atau Orishas,
Kristus juga Allah, setiap Dewa yang tepercaya
temani langkah temani kerja di setiap stadion
dan jalan raya.
Hari ini, waktu telah bertekuk lutut.
Menyerah kepada kalian.
Ke Nako!
Johannesburg, 14 Juni 2010
* Ke Nako adalah slogan Piala Dunia 2010 yang berarti inilah saatnya.
Soweto
Katanya kamu sungguh berbahaya buatkusekedar peziarah bagi Mandela pejuangmu.
Sejenak ingin tahu elan pembebasan
dalam rumah merah terakota.
Bisakah kaugantungkan curiga percuma
di pohon-pohon kedinginan di jalananmu sana.
Toh, Mandela bukan lagi milikmu saja. Milik
mereka yang impikan jalan setara.
Johannesburg, 13 Juni 2010
Johannesburg
Dinginmu memukaumenggigil aku.
Berapa celcius, tanyaku,
tiadakah hangat
dari mataharimu.
Jawabmu,
Nol derajat dini hari
Dua derajat pagi hari
Tujuhbelas derajat siang hari
Mulai membeku di malam hari.
Matahari? Kau carilah sendiri.
Johannesburg, 11 Juni 2010
Perempuan-perempuan di Negeri Debu
Aku lihat perempuan-perempuan hebathatinya luka penuh sayat
tapi senyum ngembang di awang-awang.
Sirna kah bebat hutang?
Perempuan-perempuan hebat adakah lihat.
Dari negeri debu ini kayalah negerimu
kaya oleh keringat kaya akan darah
yang kalian teteskan demi sesembah.
Kepada siapa?
Kepada mereka yang hanya berjanji
membebaskan kalian.
Doha, 8 Juni 2010
Terimakasih, teman-teman penjaga Kampung Fiksi. Senang rasanya puisi-puisi saya dimuat di laman ini. Menjadi bagian untuk meramairayakan bulan Juni. Asik sekali!
ReplyDeleteTabik.
Puisinya bagus-baguuuuuuus... suka ^_^
ReplyDelete...tetapi di kampung ini bertebaran puisi-puisi yang lebih bagus. Sering iri saya dibuatnya....
ReplyDeleteBagus sekali puisinya, Mas Indra. Terima kasih yah telah memberi diksi yang sedemikian menghanyutkan di Kampung kita ini :)
ReplyDeleteSama-sama, Mbak Meli. Dan Kampung Fiksi akan benar-benar hanyut di bulan Juni. Banjir bandang kata, sajak puisi membadai....
ReplyDeletebolehkah aku belajar kepada kalian para pujangga...karena aku awam dengan puisi yang menggugah rasa...
ReplyDeleteBung Prima, mari kita sama-sama belajar saja. Toh saya pun banyak belajar pada lingkungan sosial yang tidak pernah pamrih memberi saya fakta lalu menjadi kata.
ReplyDeleteTabik.