Eureka
kuceritakan padamu tentang senja yang tak penuh
yang karenanya seorang perempuan tua rela berpeluh
"aku menemukanmu dalam senja kali ini" katanya pada batu nisan
ia memang pernah punya surga, sebelum tank-tank datang
menggetarkan tungku lalu asap dan debu menjadi semacam embun
ia melekat pada daun-daun pintu dan jendela, pekat
Eureka!
"aku menemukanmu juga pada aroma ini" katanya lagi
sebelum rimis hujan tuntas menghapus peluhnya
langit memang tidak berdusta;
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati.
bulan meninggi seperti tiang pancang disisinya
tapi ia tak juga beranjak ia telah menemukan kemana ia hendak pergi
sebab esok disitu ia tak akan menemukan apa-apa lagi.
Makassar 3 april 2011
Dialog Kinjeng
Tempayak satu
ada yang tak biasa ketika hening menggelinding bening
ia diam ia riak, seperti sajak abuabu dilembarlembar lontar
dengan segala keresahankeresahannya
tentang waktumu tentang air matamu
atau mungkin tentang ruhruh yang sebentar lagi akan sampai
kau lihat?
Tempayak dua
yah..aku lihat ketika hening kisahkisah dituliskan
mungkin pada sajak yang kau sebut itu
sebab diakhirnya ada namaku juga namamu
seberapa lamakah kisah tentang kita dituliskan
kau tahu?
Naiad;
konon, aku akan terbang dengan sayapsayap bening
melukis teratai dengan beberapa warna
menuntun kunangkunang mencahayai malam
lalu menggoda beberapa gadis, sungguh...
tiap malam isyarat ini kukumandangkan
sebab ia terus memburuku, melacakku
percayakah kau?
Oread;
yah! jangan kau tanya lagi hanya saja kau perlu ingat
kalau akulah pedang yang disiapkan untumu
konon akulah yang akan menebas semua sayapsayap nimfa
mengumpul dan merangkainya jadi rekahan bunga teratai
kau tahu? sebab itulah ia begitu indah
maka berdoalah!
*
tibatiba malam jadi begitu hening
mungkin sebentar lagi ruhruh akan sampai, entahlah...
Bagelen, 19 Februari 2011
Ingatan Semalam
semalam kau kulum cahaya diam-diam
lalu memasang lampion yang berpendar keunguan
satu dijantungku satu dijantungmu
kau tahu? dijantungku ia mendetakkan abjad yang tak mampu kau sebut
merangkai dewangga dan memberinya sekuntum mawar,
sebelum kau membisikku pelan; *
semalam kau memungut satu-satu remah-remah kisah yang kugambar pada sketsa hujan
lalu menjadikannya semacam episode sunyi, satu dihatiku satu dihatimu
kau tahu? dihatiku ia masih mengukir abjad yang tak mampu kau sebut itu
tetap merangkai dewangga juga sekuntum mawar,
lalu kau membisikku pelan; *
Akh...sepertinya itu abjad yang tak mampu kau sebut
begelen, 16 Februari 2011
Akhirnya Berbunyi Juga Gramofone Tua Itu
~do re mi
pada gramofone itu berbaris aksara yang menghabis
meletupkan sonata yang berdesir lirih
tentang aku, kamu, dan jive yang tak pernah tuntas
didekapku,
kau pernah bilang; kau tak akan sanggup melunasi malam.
sebab kau tahu akan kulumat satu-satu peluh yang mengeluh
bahkan kepada detik yang mengekalkan
didekatku,
kau pasti dengar ia berbunyi dalam hujan yang begitu nyinyir
gegas dalam separuh malam yang bergetar, aku terkapar.
Bagelen, 18 Desember 2010 jam
Tentang Nujumku Yang Luka
~ sebab ini mereka menembak mati aku,
ketika rimis mengendap-endap malu
pada cahaya pada jalan-jalan
aku berkata; aku mencintaimu, kekal.
tapi hari-hari jadi begitu menggelisahkan
kau jadi luka kau jadi airmata
sungguh,
aku tak pernah membaca kisah
tentang hidup yang membaik
seperti aku tak pernah tergetar
kecuali pada matamu yang bening
pernah aku bernujum di bawah kalpataru
tentang takutku tentang matiku
adakah suatu waktu desember menghangat?
biar kujadikan malam begitu senyap
sebab aku rindu pada lukamu pada airmatamu
Bagelen, 10 Desember 2010
Obituari Resah
seperti bidak catur yang kugerakkan, belati ini kuhunus tepat dijantungmu
lalu tombaktombak tembaga beradu padan serentak menghentak wajah bumi
dalam lima waktu yang jadi sembab; sesungguhnya disela doa aku mati
hai dretarastra! tidak cukup seratus korawa kau beri
aku pandawa yang menggiring seribu duka di kurukshetra
lantang, tentang nama yang kaubisik pada gerimis di ujung kerismu
pun-kuhitamkan setiap langit dan kubakar debu dalam satu waktu;
ketika nujum juga membisikku
lalu kuhirup aroma anyir tubuhmu dan menulisnya jadi obituari resah
sayup kudengar bisik surga atau neraka, aku lelap di kencana jingga
Bagelen, 22 Oktober 2010
Sajak Secangkir Kopi
(06.00)
Secangkir kopi beraroma dendam dengan sesaji berkuntum mawar
ia kusemayamkan bersama kemenyan malam para pendoa; juga mantra
jangan kira aku meracau, meracik dan menyajikannya di patahan kaca
"sebab dengan itu aku bisa mencicipimu, mengulum kenangan dilidahmu"
(17.30)
langit memudar diamdiam, menghapus rindu satusatu
kemanakah angin yang menghembus gigil dan ombak mendesir lirih?
padanya resah, kesakitan, kepedihan bergumul
lalu senja semakin pekat dan dingin memaksaku meminta;"sayang secangkir lagi"
(23.45)
.....
"aku tahu esok tak akan ada lagi
sebab, telah kuaduk namamu dicangkir ini, lalu kuseruput dalamdalam"
Bagelen, 07 September 2010
Alkisah
I
Ayana;
telah berapa musim sejak kita pahat sepasang nama kita di pelepah itu
dan telah berapa lama pula sejak ujung keris ayahmu merobek dadaku
"kupikir betul sudra sepertiku tak perlu mimpi bersanding denganmu"
hanya bisa menarinari menariksarungkan pusaka
II
mantra;
sejak kupaham kisah tak pernah usai dan rindu kupahat diwajah bulan
ia terucap bersama aroma dupa disudut malam
lalu menggelegar serupa tawa para kurawa
III
aku terpekur di ruang imaji tentang negeri di ujung karang
dengan sepasang camar yang memungut rindu satu persatu
"rindu yang pernah kutebas dan kubuang"
ditepinya mengapung beberapa sampan yang penuh mimpi
"mimpi yang diamdiam merayap dikepalaku lalu kutebas dan kukubur disisi luka"
Bagelen, 25 Agustus 2010
Bhirau Wilaksono, lahir di bone-bone, luwu utara 29 November 1987, anak pertama dari 4 bersaudara, sedang menyelesaikan pendidikan dokter di Universitas Muslim Indonesia Makassar, aktif dalam dunia tulis menulis sejak masa SMA, sekarang aktif bersama KPK (kelompok Penulis Karampuang) makassar, beberapa puisi telah terbit dalam sebuah antologi KPK bersama beberapa penulis dari makassar.
Puisi-puisi Bhirau Wilaksono
- By Unknown
- On June 02, 2011
- 9 comments
bagus!
ReplyDeleteBhirau, selamat datang di kampung fiksi. Terima kasih banyak sudah berbagai puisi...
ReplyDeleteSelaamat datang di Kampung Fiksi...
ReplyDeleteDan Saya sukaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa sekali dgn puisi2nya
This comment has been removed by the author.
ReplyDeletepuisinya indah, dan saya jd dapat beroleh hasil tentang gaya bahasa dan kosa kotanya. terima kasih...^_^
ReplyDeleteterimakasih semua :) senang rasanya dapat keluarga baru disini
ReplyDeletesemua suka dan enak bacanya, yang paling suka sajak secangkir kopinya.
ReplyDeleteAih aih... begini ini ya puisi bagus itu :) ... sukaaaa
ReplyDeleteterima kasih untuk partisipasinya Mas Bhirau
Aku tidak menemukan cara untuk tidak menyukai puisimu, Mas Bhirau. Salut setinggi-tingginya :)
ReplyDelete