Obituari Jalang (#1)



Aku perempuan jalang…
Istri pengkhianat…
Ibu bangsat…
Manusia bejat…
Itu aku…
Hanya membunuh saja aku tidak…
Belum…
Mungkin nanti…
Di akhir perjalananku…
Aku akan membunuh…
Membunuh diriku sendiri…
Tunggu saja…

Keputusanku hari ini bulat tepat tak berlipat.  Aku harus pergi. Meninggalkan semua yang telah berhasil membuat jiwaku sakit. Aku tidak mencari kesembuhan. Aku mencari penyelesaian dari penderitaan ini.  
Aku cuma perempuan biasa, seperti semua perempuan lain di dunia ini. Tak ada yang istimewa. Kalau ada yang memuji diriku molek, berjuta perempuan lain bahkan jauh lebih menawan dariku. Kalau ada yang mengatakan aku seksi, oh please…aku juga bukan satu-satunya. Kalau ada yang mengatakan aku pandai, ribuan perempuan jenius terserak tak berharga di muka bumi ini. Itu kalau menilaiku karena aku perempuan.
Tapi aku bukan ‘hanya’ seorang perempuan. Aku juga seorang istri. Dan juga seorang ibu. Dan tidak melupakan kalau aku juga seorang anak perempuan dari seorang perempuan yang pernah berbagi tali pusar denganku selama sembilan bulan.

Suamiku laki-laki lemah. Manusia paling tidak berguna di mataku. Ayahku adalah laki-laki bangsat. Manusia paling keji yang pernah Tuhan ciptakan. Ibuku adalah perempuan cantik tak berdaya. Manusia paling naïf yang pernah kukenal seumur hidupku. Yang menganggap cinta adalah makanan paling nikmat yang dapat dipersembahkan bagi lelakinya. Cuih!
Tak ada penyesalan meninggalkan mereka. Aku tak takut kehilangan mereka. Ada banyak manusia lebih memuakkan yang akan kutemui nanti dalam perjalananku. Aku yakin itu.
Anakku…setidaknya dia belum menjadi manusia brengsek saat ini. Hanya menunggu waktu. Apa yang kamu harapkan dari seorang anak yang mewarisi gen kacau balau seperti itu? Naluri keibuanku terkikis habis setiap memandang wajahnya yang sangat mirip dengan penyumbang sperma atas terjadinya janin dalam rahimku dua tahun yang lalu itu. Aku muak melihatnya. Walaupun dosanya belum terbaca, tapi aku yakin, tinggal menunggu waktu.
Jadi buat apa aku menunggu? Aku pergi sekarang.
Bekalku tak banyak. Hanya kecewa dan muak di hati, serta beberapa rupiah dari hasil melacur. Ya, melacurkan diri. Kau tak akan menyangka berapa banyak laki-laki hidung belang yang bersedia memberikan lembaran-lembaran uang dan bergram-gram emas hanya untuk masuk ke dalam diriku. Seandainya bekalku habis di tengah perjalanan, aku tinggal melacur lagi. Tak sulit bagiku. Hahahaa…Aku tahu kelebihanku dan aku tidak munafik.
Aku menuju barat. Arah dimana kata orang matahari terbenam. Aku ingin membenamkan diriku bersamanya. Walaupun ini sebuah pikiran bodoh. Berjalan lurus ke arah barat, bukankah aku akan sampai di timur juga? Mungkin tidak akan kutemukan matahari terbenam itu. Tak apa. Yang paling penting aku tetap pergi dan akan terbenam sampai mati. Jauh dari orang-orang yang telah membuatku sakit seperti ini.
Ini adalah obituariku. Kucatat mulai hari ini, sepanjang perjalananku mencari matahari terbenam. Untuk membenamkan diri bersamanya. Lalu mati dalam diam.
oooOOOooo
Satrio duduk termenung di depan komputernya. Matanya nyalang menatap layar. Namun pikirannya bukanlah di sana. Otaknya masih saja sibuk memutar adegan tadi pagi berulangkali. Saat Rumi, istrinya, memakaikan dasinya seperti biasa. Mengantarkannya ke teras rumah sampai ke mobilnya. Mencium tangannya lalu melambai sambil tersenyum. Entah apa yang salah pada perempuan itu. Entah terbuat dari apa hatinya sehingga dia bisa  menjadi perempuan yang begitu memuakkan.
Cintanya pada Satrio telah berhasil membuatnya mual setiap saat. Jelas dari awal pernikahan mereka tak ada cinta untuknya. Gamblang sudah Satrio memaparkan kalau satu-satunya alasan pernikahan mereka bisa terjadi adalah karena permintaan Ibu yang kini tergolek lemah di kamarnya di lantai atas rumah mereka.
Rumi bagi ibu adalah malaikat. Wajar sekali kalau ibu meminta putra semata wayangnya  untuk meminang Rumi setelah dua tahun perempuan itu dengan sabar merawat ibu. Penyakit tua ibu mendatangkannya ke dalam hidup mereka.
Rumi perempuan Jawa yang nrimo. Tak punya ayah dan ibu. Yatim piatu. Sejak kecil sudah tinggal di Jakarta bersama bibi dan pamannya. Terseok menyelesaikan kuliahnya di akademi perawat. Sampai akhirnya bisa mendapat pekerjaan bagus di sebuah Rumah Sakit Internasional tempat ibu dirawat. Sampai titik itu tak ada yang istimewa.
Semua perawat harusnya memang seperti Rumi. Tulus menolong pasien, selalu ramah dalam bersikap, sabar menghadapi pasien dan keluarganya. Mereka dibayar untuk itu.
Satrio berterima kasih pada Rumi. Ibunya bukanlah pasien yang mudah dihadapi. Bertahun tinggal di luar negeri sampai akhirnya mereka harus kembali ke Jakarta sebulan setelah ayahnya meninggal dunia telah menjadikan ibunya sebagai perempuan tua yang menjengkelkan. Keluhan demi keluhan selalu keluar dari mulut berbibir tipis ibu. Baginya pelayanan masyarakat haruslah sempurna. Sesempurna yang selama ini selalu diterimanya karena jabatan ayah. Ekspektasi istri seorang CEO perusahaan asing untuk wilayah Asia Pasifik yang kadang tidak sinkron dengan kondisi di negeri ini.
Ibu tampaknya tidak sadar kalau dia kini hanya seorang janda. Janda dari seorang yang dulunya begitu terpandang. Tapi itu kan dulu. Terbiasa mendapat perlakuan istimewa di manapun dia berada telah membuat ibu menjadi seorang perempuan tua yang membuat sebal siapa pun yang menghadapinya. Tak ada yang sanggup menghadapi ibu di rumah Sakit. Semua kena omelannya. Semua habis ditegurnya. Jangankan perawat, dokterpun kena dimarahinya jika ada sesuatu yang dirasanya kurang.
Hanya Rumi. Ya, hanya Rumi yang mau bertahan. Sabar didengarnya keluhan-keluhan ibu. Tabah ditelannya omelan-omelan Ibu. Dan senyum selalu dihadiahkannya pada ibu setiap kali ia selesai membersihkan kotoran Ibu. Tiga bulan bertahan ternyata membuahkan hasil ibu berbalik jatuh cinta padanya. Jatuh cinta setengah mati. Sampai-sampai Ibu berani mengajukan ide gilanya itu pada Satrio.
“Menikahlah dengan Rumi,” titah ibu.
Satrio hanya mampu menelan ludah getir mendengarnya. Tak ada yang salah dengan anjurannya. Usianya sudah cukup. Tigapuluh tahun. Karir cemerlang di perusahaan tempat Ayahnya dulu pernah memegang tampuk kekuasaan tertinggi se-Asia Pasifik itu. Rumah dan mobil jangan ditanya. Wajah tampan juga bukan harapan semata. Dia memang mewarisi garis wajah gagah Ayah dengan jelas. Bahkan kadang ibu sendiri mengakui kalau Satrio jauh lebih gagah daripada suaminya sendiri.
Tapi kenapa harus Rumi? Satrio bukanlah lelaki tertutup dan terisolasi dari pergaulan. Banyak sekali teman perempuannya yang jauh lebih cantik dari Rumi. Jauh lebih pandai. Jauh lebih menarik. Jauh lebih berpendidikan. Jauh lebih segala-galanya. Dan hampir semuanya tertarik pada Satrio. Ingin menjadi kekasihnya bahkan rela mengemis untuk dipersunting. Mengapa harus Rumi?
“Dia patuh pada ibu,” jawab Ibunya. Itu dia alasan utama ibu. Mencari orang yang mau menuruti perintahnya, seperti biasa. Mana ada perempuan modern jaman sekarang yang mau diam saja diperintah mertua cerewet seperti ibunya. Cuma Rumi yang begitu.
Dua tahun dia bertahan atas sikap dingin Satrio padanya. Tanpa keluhan. Tanpa tangisan. Entahlah. Yang pasti Satrio tidak pernah mendapatinya meneteskan air mata di hadapannya. Dia tampak biasa saja menghadapi sikap buruk Satrio padanya. Sekali lagi, Satrio bertanya-tanya dalam hatinya. Terbuat dari apakah hatinya?

6 comments:

  1. mulai membaca lagi :) ... calon novel selanjutnya ...

    ReplyDelete
  2. mb winda karyanya menjadi lain sekarang.
    Kayak membaca diary atau kisah di ujung telur.
    Penuh emosi yg keren.
    Terus berkarya mb..
    Ane siap menikmatinya.
    Gratis tentunya. Hahahaha...

    ReplyDelete
  3. Reni: sudah hadir yaa.. :D makasiih...

    Deasy: uhuhuhuuuu, tidak, tidak, ini masih terlalu singkat.. :(

    Boil: halah ini namanya dimana-mana lain2...wkwkwkwk... :lol:

    mas Joe: hehehehe, terima kasih ya mas joe....berasa mau jatoh dibilang di ujung telur..hihihihihi

    ReplyDelete