Tanpa tujuan

Johanna berjalan dengan gusar kembali ke tempat duduknya dan menatap layar computer. Berusaha kembali berkonsentrasi dengan pekerjaannya. Ia tidak menyesal meluapkan kekesalannya pada Meti karena wanita itu benar – benar sudah membuatnya kesal selama beberapa bulan terakhir. Dia dan para karyawan lain yang menggunakan keluarga untuk kabur dari pekerjaan mereka.



Oh tentu saja ia tahu mengenai kejadian yang dialami Meti dan tentu saja ia turut prihatin mendengar hal tersebut. Ia tidak heran dengan kejadian seperti itu menambah kacau Meti lebih dari yang sebelumnya.

“Kamu mestinya gak boleh kayak gitu dong sama Meti,” terdengar teguran Tono atasannya. “Karena masih lajang kamu tidak mengerti bahwa keluarga itu yang terpenting dalam hidup ini…”

“Iya, kamu sih enak belum punya tanggungan apa – apa…, “ kali ini Stephen ikut menimpali dari belakang. “Kamu harus belajar untuk punya empati sama orang lain…”

Hhhh, cape dheee… gerutu Johanna dalam hati seraya hanya memaksakan senyumannya. Ia mencetak tombol print di komputernya dan beranjak menuju tempat mesin printer sekaligus fotocopy berada. Ia bisa sekalian membuat kopi panas disana daripada harus mendengar ocehan dua orang ini. Diambilnya kopi sachet dari laci serta gelas dan sendok lalu ia pun melaju untuk mengambil hasil print laporannya.
Johanna lega ketika tidak ada seorangpun yang menjadi saingannya dalam menunggu hasil print serta fotocopy. Ia pun mulai membuka sachet berisi kopi instant itu dan mengambil air panas dari dispenser yang tersedia. Seraya mengaduk – aduk pikirannya melayang kepada kejadian beberapa bulan lalu yang menjadi pemicu ketidaksukaannya pada semua orang disana.

Saat itu ia berangkat pagi dengan hati tidak tenang karena harus meninggalkan ibunya yang tengah sakit. Memang ayahnya yang menyuruhnya berangkat saja ke kantor dan ia yang akan menjaga sang ibu. Tapi tetap saja Johanna merasa gelisah dan bersalah karena harus tetap pergi ke kantor mengingat pekerjaan mereka sedang menumpuk. Seandainya kakaknya tidak sedang bertugas ke luar kota tentunya ia tidak akan khawatir seperti ini, keluhnya. Ia bertekad akan meminta ijin untuk bekerja setengah hari saja. 

Tapi apa yang terjadi begitu sesampai dirinya di kantor? Tono tidak ada di mejanya, Meti masih belum kelihatan batang hidungnya dan Stephen pun tidak terlihat bayangannya sama sekali. Kemana mereka semua, pikirnya dengan panic? Ia berusaha menghubungi mereka bertiga mulai dari nomor handphone hingga telepon rumah. Tidak ada satupun dari mereka yang mengangkat sehingga semakin menambah kejengkelan Johanna.

Ketika akhirnya ia bisa menghubungi mereka semua tidak sedikitpun keheranan timbul darinya mendengar alasan mereka. Ibu Silviana mendatangi meja kerja Tono untuk menanyakan sesuatu ketika menyadari hanya ada Johanna disana. Ia pun menanyakan hal tersebut pada Johanna dan memandang dengan tidak percaya ketika Johanna memberikan alasannya.

“Mereka semua tengah menjaga keluarganya yang sakit?” suaranya meninggi dan matanya terpicing seolah ia curiga Johanna lah yang mengarang itu semua. “Apa mereka semua tinggal di perumahan yang sama dan sekarang sedang ada epidemic disana?”

Seandainya ibunya tidak sedang terbaring di rumah maka kalimat Ibu Silviana itu sebenarnya lucu tapi tidak saat ini.
“Erhm, Tono bilang istrinya sakit. Meti mengatakan kedua anaknya sakit. Sementara Stephen juga sedang sakit begitu pula anak istrinya…”

Ibu Silviana seperti hendak mengatakan sesuatu tapi entah apa yang membuatnya menahan diri kali itu. Ia bertanya pada Johanna apakah volume pekerjaan mereka sedang tinggi dan ia memerlukan bantuan dari tempat lain? Pfff, minta bantuan dari orang lain? Sama saja membuang waktunya karena ia harus mengajari mereka lagi. Maka seiring dengan gelengan kepala Johanna maka wanita itupun meninggalkannya. Ia tidak sempat lagi meminta ijin pada ibu Silviana bahwa ia pun ingin pulang cepat hari ini.

Pekerjaannya memang tidak banyak, tapi semuanya harus diselesaikan pada hari ini juga dan tidak boleh terlambat. Jadi ia harus memisahkan pekerjaan mana yang harus diselesaikan hari ini juga, menjawab telepon klien di meja Tono yang terus – terusan berbunyi. Ia harus memaksa dirinya untuk tidak sebentar – sebentar menghubungi ayahnya mencari tahu bagaimana kondisi ibunya. Dan syukur pada Tuhan hari itu tidak terjadi insiden apa – apa di kantor. Serta yang terpenting ia pulang mendapati kesehatan ibunya membaik.

Tapi hal itu tidak mengurangi kekesalannya pada rekan – rekan kerjanya yang dianggapnya mau menang sendiri. Oh aku harus pulang cepat karena aku harus hadir di sekolah anakku… Wah, aku tidak bisa lembur soalnya anakku lagi sakit. Duh, aku tidak bisa masuk hari ini karena harus membimbing anakku belajar. Atas nama keluarga, yaitu pasangan hidup mereka beserta keturunannya. Itulah yang dinamakan keluarga. Sementara lajang seperti dirinya yang masih tinggal dengan orang tua dianggap tidak mempunyai keluarga. 

Lalu diingatnya ketika di lain hari ia meminta ijin pulang cepat karena kakaknya mengalami kecelakaan dan keadaannya sempat kritis. Saat itu dengan acuh tak acuh Tono bertanya bukankah kakaknya telah menikah? Mengapa harus Johanna yang menemani dirumah sakit dan bukan suaminya? Lagipula, apa orangtua mereka tidak bisa ikut mengurus. Dengan menahan gelegak amarah Johanna ingat ia menjawab dengan dingin bahwa jika sampai terjadi apa – apa dengan kakaknya dan ia terlambat melihatnya, maka Tono yang bertanggung jawab. 

Kembali ke masa sekarang, Johanna menatap ruangan tempat kerjanya yang sudah ia tempati selama kurang lebih 15 tahun. Apa yang kau cari Johanna? Itulah pertanyaan pertama ibunya ketika baru saja sembuh dari sakitnya. Ibunya sering merasa tidak enak badan dan sekarang di usia senjanya semakin sering sakit itu datang mendera. 

“Jangan terlalu sibuk dengan karirmu di kantor sehingga melupakan kehidupan pribadimu… Ingat tahun depan kamu sudah berkepala empat…”

 Karir? Karir apa? Ia berada di tempat yang persis sama ketika ia pertama kali masuk di kantor itu. Yang telah berubah darinya adalah hatinya yang menjadi keras, susah menerima kritikan dan menjadi pemarah. Ia tidak mencari karir disini melainkan hanya untuk bertahan hidup. Ia tidak mencari identitas diri disini karena ia sudah menjadi sama seperti orang – orang yang sudah terlalu lama berada di tempat yang sama. Ia hanyalah sekian angka dari nomor identitas pegawai yang ada di kartu setiap karyawan di tempat itu.

Dan dengan pikiran itu Johanna melangkah menuju mejanya kembali. Ya, ia memang tidak seharusnya marah pada Meti karena mereka toh sama saja. Mereka adalah para wanita yang bekerja tanpa tujuan dan ambisi selain untuk memperoleh penghasilan agar dapat melanjutkan hidup.

Tidak, Meti punya tujuan yaitu memberi nafkah pada anak  anaknya. Sementara is sendiri pada akhirnya tidak tahu apa tujuan hidupnya di dunia ini…

(keterangan : gambar diambil dari : https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgvmzUYKrjN6e3vlX5xTdHfEqlQfJ545IhAbVs7Mg1Cx-fXgSC4mICRpsjpUDtD7URhuImpjK_uRS9KaSCVEdfl2Zb7bHFRu-Y9iZX6WvfLXFgAQn9bdJzcU7pIDqOXjtUnl0N6AV8B2g/s320/spinster.jpg )

Post a Comment

10 Comments

  1. Cari hobi Johanna, mari bergabung dengan kami untuk menulis dan menjadi penulis, setidaknya jadi punya alasan hidup di dunia untuk apa, wakakakakaaa... eh tapi bener, banyak org yg mengira dirinya sama dengan pekerjaannya. Kalo suatu saat mereka berhenti bekerja, apa jadinya ya?

    ReplyDelete
  2. Johanna kayaknya gak sempet mikirin hobi :D
    sebenarnya sih bukan sama dgn pekerjaan...tapi gak tau mau ngapain lagi

    ReplyDelete
  3. Haduh, cerita kali ini membuat saya takut. Apa jadinya saya tanpa pekerjaan saya yah? (berpikir keras). Semoga saya tidak menjadi seperti Johanna atau robot-robot yang hanya bekerja tanpa cinta.

    Tulisan ini juga tak kalah kerennya dengan versi Meti, Mbak Ria. Kekuatannya adalah Mbak Ria pintar menghadirkan pergolakan realita tanpa kesan menggurui dan menjadi sinis.

    ReplyDelete
  4. huaaah, dapat pujian dari Meli... Terbanggggggg ke langit ke tujuh...

    ReplyDelete
  5. hmm menarik, menceritakan kehidupan dan pekerjaan dari sisi lawan Meti.. keren aja ceritanya ;-)

    ReplyDelete
  6. 'Penyakit' semacam ini udah banyak 'menyerang' orang2 di benua Eropa dan Amerika. Di kota2 besar di Asia juga udah banyak...
    Aktual nih, Ria :-) hahahahahaaa... kok saya ngasih 'rating' kebawa-bawa dari lapak itu ya... :)))

    ReplyDelete
  7. benar kata Mbak endah..hal ini banyak terjadi di luar sono...

    duh apa jadinya kerja tanpa cinta?..

    kalo akublang aktual dan juga inspiratif....hehehe

    punya makna yg bagus tulisan ini

    ReplyDelete
  8. ah, johana cuma kecapekan kerja aja...bener kata G tuh, ajak dia nulis di KF deh, biar agak loose dikit..hihihihihi...
    tiap manusia ternyata emang beda-beda memandang segala sesuatu ya, walaupun sama-sama perempuan, tetap aja ada perbedaan, apalagi kalau itu menyangkut status dan keluarga...padahal intinya ya ada di judul cerita ini, apa tujuan kita (sebagai perempuan) hidup? :D
    keren..bikin mikir, setelah seminggu kopong gk bisa mikir..wkwkwkwkwk

    ReplyDelete
  9. Sementara is sendiri pada akhirnya tidak tahu apa tujuan hidupnya di dunia ini…

    Psstt.. Johannaa, gua tau kenapa elo sampai merasa seperti ituu.. pastii karena elo itu orangnya terlalu realistis sehingga lupa bagaimana nikmatnya menjadi seorang 'pemimpi', ahahaha :D

    Semoga tanpa tujuan-nya ngga berlangsung lama yaa ;)

    ReplyDelete
  10. @Deasy iya, harus ada cerita dari dua sisi supaya lebih menarik khan? :)

    @Mbak Endah soalnya Johanna kan selama belasan taun karirnya mandek gak jadi ceritanya dia bertanya2 sebenarnya tujuan idupnya tuh apa siih

    @Chalinopita iya, orang suka lupa keasikan kerja akhirnya kehidupan sosialnya terbengkalai

    @Winda ini juga mikirnya sambil keringet dingin WIn... kekekekek

    @indah Mimpi johanna udah ancur lebyuuuurrr

    ReplyDelete