Warung Kopi Ci Ling



Selayaknya sebuah kota pelabuhan kecil yang sarat dengan aroma laut dan orang-orang dari berbagai suku bangsa, kehadiran warung-warung kopi yang berjajar di perbatasan laut dan ruas-ruas jalan menjadi semacam inti yang menggerakkan rotasi dinamika kehidupan di kota ini. Orang-orang ramai berkumpul di warung-warung kopi, tidak peduli pagi atau petang, memperbincangkan apapun yang dianggap penting, mulai dari cuaca yang semakin tidak terbaca, berita di koran yang mengabarkan kecelakaan kereta api, artis dangdut yang baru menikah untuk ketiga kalinya, pejabat yang memberangkatkan seluruh keluarganya naik haji, sampai ke urusan ranjang dan ayam tetangga. Tidak penting apakah kopi yang dihidangkan di warung itu terlalu encer atau pahit, sebab semua percakapan yang tumpah di sana pasti manis adanya.

Dari semua warung kopi di kota ini, mulai dari yang ukurannya paling besar sampai yang menyajikan berbagai fasilitas dan makanan, tidak ada yang dapat menandingi warung kopi Ci Ling yang terletak di pinggir jalan yang menghadap pantai. Warung kopi yang selalu ramai dikunjungi orang-orang itu diyakini menyediakan kopi paling enak di kota ini. Beberapa orang bahkan berpendapat kopi racikan Ci Ling adalah kopi paling sempurna di dunia. Perpaduan kopi segar yang digiling dengan tangan, desis ketel air yang mendidih dan gula pasir, entah bagaimana, menjadi harmonisasi rasa yang luar biasa di tangan Ci Ling.


Secara penampilan, warung kopi milik Ci Ling memang tidak berbeda dengan warung-warung kopi lainnya yang menyediakan segala jenis sajian kopi; mulai dari kopi pahit, kopi susu, kopi coklat, kopi dengan gula atau dicampur sedikit krim. Tetapi begitu menginjakkan kaki ke warung kopi Ci Ling, orang-orang pasti merasa betah dan seperti menikmati secangkir kopi yang nikmat di rumah mereka sendiri. Dulu, sebelum warung kopi Ci Ling dibuka, kota kecil ini adalah pelabuhan tempat singgah yang sepi. Orang-orang lebih suka mengunci diri di kamar mereka. Beberapa yang singgah di warung-warung juga lebih sering menyibukkan diri dan menghindari percakapan. Sampai suatu ketika, seorang perempuan berbadan besar dengan rambut panjang keperakan datang dan mengenalkan dirinya. “Nama saya Ling,” katanya,  “Dan saya akan membuka warung kopi di sini.”

Sejak saat itu, kota pelabuhan kecil yang murung ini mulai memunculkan rona semangat. Para pekerja mendatangi warung kopi Ci Ling di petang hari, melepas lelah setelah bekerja seharian. Di warungnya, Ci Ling menyediakan paling tidak tiga harian berita, buku-buku sastra dan politik yang dapat dibaca dengan bebas asalkan tidak dibawa pulang dan setumpuk majalah yang membahas mulai dari perikanan, teknologi, potret-potret alam sampai dengan budi daya bercocok taman. Percakapan-percakapan pun mulai mengalir bersama cangkir-cangkir kopi yang mengepul. Kelompok pemuda pekerja yang kerap menyambangi warung kopi Ci Ling berdiskusi tentang nasib mereka sebagai buruh. Mereka membentuk serikat kerja yang memperjuangkan kesejahteraan nasib para buruh. Kelompok mereka lalu diikuti oleh kelompok lain yang menamakan diri mereka sebagai penyair. Berbait-bait puisi yang liris tercipta di antara denting sendok dan cangkir kopi yang menyisakan ampas. Ci Ling mengumpulkan sajak-sajak yang ditulis dan membundelnya menjadi sebuah buku. Di sampul depan buku, ia menulis dengan tulisan tangannya yang besar-besar dan rapi: Kumpulan Puisi Percakapan Warung Kopi. Bisa ditebak, buku puisi setebal 231 halaman tersebut adalah buku pertama sekaligus yang paling terkenal di kota kecil ini, bahkan berpuluh-puluh tahun setelahnya.

Tidak ada yang tahu dari mana asal Ci Ling. Ia datang begitu saja di suatu senja sehabis hujan yang menghadirkan lengkung pelangi di langit, sendirian dengan kardus-kardus besar dan dua koper jinjing bersulam bunga peoni di tangannya. Konon, Ci Ling adalah janda yang suaminya diculik dan dibunuh oleh kelompok radikal yang ingin memerdekakan diri dari negara persatuan. Entahlah. Tidak ada yang tahu pasti. Ci Ling memang tidak suka membicarakan kehidupan pribadinya. Ia tidak peduli orang-orang mempergunjingkan dirinya. Di kota kami yang kecil, Ci Ling adalah satu-satunya orang yang memasang altar merah di depan warung yang merangkap rumahnya. Setiap malam jam sembilan, ia akan membakar dupa dan memanjatkan doa kepada dewa langit, memohon berkah dan kedamaian untuk orang-orang yang dianggapnya perlu didoakan dan untuk negeri yang penuh luka ini.

Segera, Ci Ling dan warung kopinya menjadi semacam fenomena yang menggembirakan di kota kecil kami yang sudah terlampau lama bernuansa kelabu. Orang-orang berbondong-bondong mendatangi warung untuk mendapatkan inspirasi, atau sekedar informasi. Apalagi semenjak Ci Ling memasang televisi berukuran 24 inci yang hanya menayangkan berita reportase atau tayangan flora dan fauna, semakin riuh dan berduyun-duyun diskusi tertumpah ruah. Orang-orang mulai memperdebatkan perihal politik dan ekonomi. Nelayan-nelayan miskin menjadi topik sosial yang sering diangkat dan upaya pembentukan koperasi untuk kaum marginal mulai dirintis. Orang-orang bekerja sama, bergandengan tangan mengatas namakan kepentingan bersama. Barangkali itu karena Ci Ling yang menularkan semangat persatuan lintas agama melalui warung kopinya yang memberikan ketupat gratis di hari Idul Fitri, semarak oleh ornamen warna merah dan emas di hari Imlek atau gemerlap pohon terang di hari Natal.

Dengan bertambahnya kesibukan di warung kopi, Ci Ling mulai memperkerjakan perempuan-perempuan muda di warungnya. Ia mengajari mereka cara meracik kopi yang pas, membagikan resep rahasianya kepada perempuan-perempuan muda yang kelak pulang ke kampung masing-masing dan membuka usaha warung kopi yang sukses di sana. Tak jarang Ci Ling memberi tambahan modal kepada mereka. Pernah, seorang bekas karyawan Ci Ling yang membuka warung kopi di kampungnya ditipu oleh rekan usahanya. Ci Ling mengajarinya menuntut melalui jalur hukum dan perempuan muda itu berhasil mendapatkan uangnya kembali. Sejak itu, Ci Ling dianggap sebagai perempuan yang membuat pembaharuan di kota kecil yang biasanya pasrah menerima keadaan apapun. Waktu itu, orang-orang mulai ramai membicarakan tentang usul pengangkatan pimpinan kota yang akan dipilih secara demokratis. Banyak orang mengusulkan nama Ci Ling,  meski sebagian menolak dan berpendapat seorang pendatang, apalagi hanya pemilik warung kopi seperti Ci Ling, tidak seharusnya memimpin kota ini. Kelompok yang menentang itu membentuk komunitas tersendiri dan membuka warung-warung kopi di depan rumah mereka. Demikianlah wajah kota kecil pelabuhan ini semakin semarak dengan kehadiran warung-warung kopi dan percakapan-percakapan yang seperti tidak mengenal batas hari dan malam.

Perlahan, dinamika kota kecil yang biasanya berjalan dengan tentram ini mulai bergerak dalam putaran yang cepat dan dinamis. Berangkat dari keinginan untuk mensejahterakan kehidupan penduduk yang rata-rata bekerja sebagai nelayan dan kuli, beberapa kelompok pemuda mulai membahas rencana penjualan tanah leluhur kepada pengembang untuk dijadikan resor. Di warung kopi, suasana memanas ketika kelompok penentang mulai mengumpulkan massa dan membuat orasi-orasi. Pada puncaknya, orang-orang berkumpul di warung Ci Ling, mengharapkannya memberi solusi atas kesemrawutan yang terlanjur terjadi.

“Anda salah cari orang,” demikian jawab Ci Ling, pendek, sembari tangannya menuang kopi panas ke dalam saringan besar dari kain.

“Tapi Ci Ling bijaksana. Kami bahkan sudah mencalonkan nama Cici menjadi pemimpin kami di pemilihan tahun mendatang.”

Ci Ling tergelak. Bahunya yang lebar terguncang-guncang. Ia meletakkan secangkir kopi hitam yang baru saja dibuatnya ke atas meja kayu. Asapnya meliuk naik ke udara dan aromanya tercium tajam dan harum sekali. “Saya hanya tahu cara meracik secangkir kopi yang enak. Itu saja.”

***

Hari-hari di kota kecil pelabuhan ini berjalan seperti biasa setelah pertemuan di warung kopi Ci Ling yang tidak memberi jalan keluar atas perbedaan pendapat kelompok-kelompok yang semakin ricuh. Seperti biasa, nelayan-nelayan bekerja menangkap ikan dan menjualnya dengan harga rendah, kuli-kuli berkeringat di bawah sinar matahari yang terik, perempuan-perempuan memasak dan ikut berkelompok di warung-warung kopi dan pembicaraan kembali berdenting-denting seirama dengan bunyi sendok aluminium yang bertemu cangkir kopi, juga asap dari rokok yang menaiki udara.

Di pagi hari kesepuluh, orang-orang berhenti di depan warung Ci Ling, menatap tak percaya pada palang kayu yang menyilangi pintu warung yang tertutup rapat. Secarik kertas yang tertempel di depan pintu hanya terdiri dari lima huruf yang ditulis dengan huruf kapital: TUTUP.

Seperti kedatangannya yang begitu saja, kepergian Ci Ling juga menyisakan tanda tanya yang besar. Tidak ada yang tahu kemana perempuan pembuat kopi nomor satu di kota ini pergi. Menurut pengakuan orang-orang yang melihat Ci Ling melakukan ritual jam sembilan malam sebelumnya, ia terlihat memegang dupa sembari menengadahkan kepala kepada langit yang sedang benderang purnama dan mengucapkan doa panjang agar kota ini beroleh damai dan berkah selalu. Di pipinya, mengalir anak-anak sungai yang bermuasal dari air matanya.

***

Aku menatap lenggang jalan pagi hari di kota pelabuhan kecil yang kini menjelma deretan pertokoan dengan sebuah mal dan taman bermain yang dibangun menghadap laut. Sudah berapa lama waktu berlalu semenjak perempuan bermata serupa buah badam yang dipanggil Ci Ling itu membuatkan secangkir kopi pertamaku? Delapan belas atau mungkin dua puluh tahun yang lalu?

Betapa menakjubkannya waktu yang bergerak dengan kecepatan yang tidak terbaca, tetapi menyisakan beberapa ingatan untuk tetap terperangkap di dalamnya. Setelah kepergian Ci Ling yang misterius, kota kecil ini seperti kehilangan detak yang biasanya seirama dengan putaran jarum jam. Orang-orang mulai jarang berkelompok. Percakapan-percakapan dengan cangkir-cangkir kopi semakin lesu dan jarang. Perlahan, satu demi satu warung kopi semakin jarang dikunjungi dan akhirnya tutup. Orang-orang akhirnya lebih senang bertemu dan bercakap-cakap di pasar atau alun-alun kota. Pembicaraan menjadi lebih singkat. Orang-orang kembali sibuk dengan urusan masing-masing dan melupakan keinginan untuk memilih pemimpin baru secara demokratis, urusan tanah leluhur, juga kemiskinan yang senantiasa menggerogoti para pekerja kasar.

Bertahun-tahun setelahnya, seorang pengembang dari kota besar datang dan membangun sebuah mal dan taman bermain di kota pelabuhan kecil ini. Mendadak saja, kota yang biasanya datar ini menjadi ramai dikunjungi, terutama saat liburan. Toko-toko dibangun. Restoran-restoran dan gerai makanan bertumbuhan seperti jamur yang ramai. Tetapi tidak ada warung kopi. Bahkan setelah bertahun-tahun, orang-orang masih belum dapat melupakan aroma dan rasa pahit yang juga manis dari kopi buatan Ci Ling yang legendaris.

***

Konon, di sebuah kota di atas pegunungan berhawa sejuk yang terletak di sebelah utara negeri ini, ada sebuah warung kopi terkenal yang ramai dikunjungi, bahkan oleh pengembara-pengembara dari negeri seberang. Pemilik warung kopi itu, seorang perempuan berbadan besar, dikatakan meracik kopi yang nikmatnya tiada dua di dunia ini.


[gambar diunduh dari sini]

14 comments:

  1. Hmmmmmmmmmmm..

    Boleh mampir neh ke warung kopinya Ci ling...

    ReplyDelete
  2. Mas Ihya: yuk, silakan. ngopi sambil bercakap-cakap^^

    ReplyDelete
  3. Hm, saya suka secangkir kopi, suka yang teramat suka. Tapi kopi Ci Ling membuat saya menghirup kopi seperti mereguk air putih, lalu tersedak karena menemukan ampasnya. Entah kenapa. Ah, mungkin karena saya sedang lelah. Salam.

    ReplyDelete
  4. Meli, saya suka ceritamu ini. Satu dari yang terbagus dari semua karyamu yang pernah saya baca. Ada sesuatu yang misterius tentang Ci Ling... sesuatu yang magis. Semacam pertanda.... Saya sempat berpikir di akhir cerita: duuuhhh..., jangan2 nanti kawasan pegunungan akan jadi sasaran 'sang pengembang' berikutnya.

    ReplyDelete
  5. aku suka cerpen ini. Enak membacanya dr awal sampai akhir.

    ReplyDelete
  6. @Justmeilani: Kopi racikan Ci Ling soalnya :)

    @Mbak Elly: Makasih sudah berkunjung ya, Mbak. Ilmu meracik kopi saya sepertinya masih harus ditingkatkan. Baiklah. Berguru kopi dimulai :)

    @Mbak Endah: Makasih. Ci Ling sedang di gunung mengembangkan waralaba sepertinya. hehehehe

    @Anto: Mari ngopi. Pakai gula atau susu? ^^

    ReplyDelete
  7. Baru sempet baca dan bagus sekali, mengalir dan asik bacanya.. salam Buat Ci Ling :D

    ReplyDelete
  8. @Deasy: Salam sudah disampaikan. Ci Ling bilang: ngopi dulu baru salaman ^^

    @Mas Aziz: secangkir kopi Ci Ling untukmu si pecinta kopi :)

    ReplyDelete
  9. penasaran spt apa ya kopi itu?? pemimpin itu kan tidak hrs org besar tapi yg dkt dgn masyarakat...

    ReplyDelete
  10. ah kok tiba-tiba saya pengen ngopi ya? (padahal saya bukan orang yg suka ngopi). Tolong beri tau saya, sekarang Ci Ling ada dimana? saya pengen ketemu dan menikmati secangkir kopi hasil racikannya :)

    ReplyDelete
  11. Mbak Meli.... udah kadung jatuh cinta dengan tulisan mbak Meli...

    tanggung jawab.. :) :)

    Tidak hanya prosa liris, di tulisan ini pun diksi mbak Meli menari-nari... :)

    ReplyDelete
  12. sepertinya saya mau repiu cerpen ini :D
    indah sih

    ReplyDelete