Anak

“Mama nggak pernah mau mengekang sebenarnya, Vinka! Mama hanya berusaha memberikan kamu arahan supaya kamu tidak salah jalan. Kamu sudah besar, sudah lima belas tahun. Anak gadis seumurmu harus berhati-hati dalam pergaulan! Kamu mau sekolahmu berantakan karena kamu keasyikan main dengan teman-temanmu itu? Atau kamu mau kalau kamu sampai hamil di luar nikah karena pergaulan bebas? Kamu tidak Mama besarkan dengan sembarangan! Semua Mama sediakan untuk kamu demi masa depanmu! Jangan sia-siakan itu! Mama nggak ijinkan kamu pergi ke pesta ulang tahun Dara malam minggu nanti. Titik! Dan tolong pikirkan lagi untuk masuk ke jurusan IPA itu, karena itu yang paling cocok dengan prestasimu selama ini.”

“Mama tahu kalau aku paham maksud Mama, kan? Apakah ada tanda-tanda kalau aku sudah mulai salah jalan selama ini? Selain aku asyik main dengan teman-temanku? Ada yang lain? Apa nilai di sekolahku jelek dan mengecewakan? Apa aku mulai suka keluar dengan teman laki-laki atau punya pacar? Apa Mama sudah melihat sendiri kalau aku bergaul dengan bebas? Dan apa salahnya bergaul dengan bebas? Selama itu bukan pergaulan bebas? Itu dua hal yang berbeda, Ma! Mama sendiri yang mengajarkan untuk tidak memilih-milih teman. Siapapun pantas menjadi teman kita, begitu kata Mama dulu. Lantas kenapa sekarang semuanya jadi berbalik begitu aku beranjak besar sekarang ini? Prasangka Mama sungguh keterlaluan. Mama sendiri yang bilang kalau Mama tidak membesarkan aku dengan sembarangan. Harusnya Mama juga yang percaya kalau aku memang bukan hasil asuhan sembarangan ibu! Tidak boleh ke pesta Dara, ya sudah! Aku harus masuk jurusan IPA, padahal aku mau masuk jurusan IPS, ya sudah! Tidak bisa diganggu-gugat lagi, kan? Thank’s, Ma! Sudah buat aku sedih!”


“Vinka, Mama memang belum melihat pergaulanmu salah sampai sejauh itu. Dan demi Tuhan, semoga tidak perlu itu terjadi sampai kapanpun. Nilaimu di sekolah tidak pernah mengecewakan Mama, memang. Justru karena itu Mama tahu apa yang terbaik untuk kamu. Jurusan IPA sangat sesuai dengan prestasimu. Kamu bisa jadi dokter, insinyur, psikolog, atau apapun yang kamu mau. Pilihanmu terbuka lebar kalau kamu masuk jurusan IPA. Mengenai pesta ulang tahun Dara, Mama khawatir kalian akan lupa diri karena terbawa suasana. Kamu memang tidak punya pacar setahu Mama, itu kalau tidak kamu sembunyikan. Tapi keasyikanmu bermain terlalu sering keluar rumah sampai malam hari itu harus dibatasi. Karena dari sanalah nantinya semua kekacauan yang Mama maksudkan bisa terjadi. Kamu paham kan, Mama melakukan ini semata karena Mama sayang sama kamu. Itu saja. Mama ingin percaya sama kamu, tapi kamu juga harus tunjukkan kalau kamu bisa dipercaya. Sesederhana itu saja!”

“Kita selalu berputar-putar di masalah yang sama setiap saat ya, Ma! Mama nggak capek? Terus terang aku capek, lho! Mama pasti pernah muda. Ingin keluar bersama teman-teman, bukankah itu wajar? Aku nggak pernah merepotkan apalagi membuat masalah selama ini. Mama mau aku menunjukkan ke Mama kalau aku bisa dipercaya. Bagaimana lagi caranya? Aku diam di rumah setiap saat? Maaf, Ma…aku bukan si Komeng, kucing kita itu. Selain seorang anak di rumah, aku juga seorang pelajar di sekolah. Dan aku juga bagian dari lingkungan-lingkungan kecil lainnya yang ada di luar rumah kita. Aku harus ambil bagian dalam setiap itu, karena aku manusia normal. Aku butuh berhubungan dengan manusia lain selain keluarga kita saja. Mama bicara masa depanku? Aku rasa apa yang aku lakukan sekarang adalah proses menuju masa depanku. Dan tolong Mama pahami, masa depanku, bukan masa depan Mama! Mama tidak bisa menentukan aku akan jadi apa kelak. Dokter, insinyur, psikolog atau malah tukang sayur! Semua aku yang menjalani.”

“Maafkan Mama kalau kamu merasa Mama terlalu menyetir hidup kamu, Vinka. Mama bicara atas nama cinta. Tidak ada sedikitpun keinginan Mama untuk mengatur masa depan kamu. Tapi kamu juga harus tahu, Mama ada di sini bukan tanpa fungsi. Mama harus mengawasi kamu sebagai bentuk tanggung jawab Mama kepada Tuhan. Kamu dititipkan Tuhan kepada kami, maka kami harus menjagamu sebaik mungkin.”

“Jaga aku sebaik mungkin, Ma! Aku tidak menolak. Jaga aku dalam do’a dan rasa percaya kalau aku layak menjalani hidup sebagai seorang remaja pada umumnya. Kelak kalau aku memang salah dalam melangkah, ingatkan aku. Capek ya, Ma? Aku juga capek begini terus! Bicara seolah-olah kita sedang bertatap muka. Membicarakan sesuatu yang sepertinya dalam dan dari hati ke hati. Padahal tulisan yang menjadi perantara kita. Mama di mana sekarang? Sibuk di kantor, kan? Boleh aku sibuk di sekolah bersama teman-temanku, Ma? Hanya sekedar bertanya. Nggak usah reply e-mailku ini, Ma! Aku malas membalasnya! Kalau Mama memang mau bicara dari hati ke hati sama aku, datanglah ke kamar Vinka nanti malam sepulang Mama dari kantor. Itu pun kalau aku belum tidur. Kalau aku sudah tertidur, tolong jangan bangunkan aku. Besok aku harus sekolah pagi-pagi sekali, diantar pak Mamat.”

oooOOOooo

Perbedaan demi perbedaan, perdebatan demi perdebatan dan kadang pertengkaran demi pertengkaran, masuk silih berganti ke dalam inbox mereka berdua. Tiara sendiri hampir lupa apa warna rambut Vinka, anak gadisnya itu, sekarang. Apa dia mulai mengecat rambutnya sekarang? Terlalu lama sepertinya mereka tidak bertatap muka karena kesibukannya di kantor.

Ingin sekali Tiara mengabulkan permintaan Vinka untuk bicara langsung dengannya malam ini. Tapi keadaan di kantor tidak memungkinkan. Tanggung jawabnya sangat besar di kantor. Dalam hatinya ia mengakui kalau Vinka memang bukanlah anak yang bermasalah. Tapi bagaimana mengatasi rasa was-wasnya setiap saat ia di kantor dan memikirkan Vinka di luar sana tanpa pengawasannya? Belum lagi melihat Vinka sepertinya akan menyia-nyiakan kepandaiannya dalam bidang Biologi dengan tidak mau menjadi dokter seperti yang diinginkannya. Sayang sekali, padahal dia sangat mampu untuk itu.

Sebuah e-mail masuk ke dalam inbox-nya. Dari milis ibu-ibu bekerja yang diikutinya. Puisi. Tiara malas membukanya kalau saja dia tidak membaca pengantar di badan e-mail itu.

“Baca, deh! Kadang kekhawatiran kita itu memang suka berlebihan, padahal mereka mungkin memang baik-baik saja di luar sana. Jangan kecil hati, semua terjadi karena kita sayang pada mereka, bukan karena mencurigai. Tapi sadari juga kalau mereka adalah seorang individu dengan pemikiran dan kemauannya sendiri. Tanggung jawab sebagai orang tua memang berat, tapi kita tidak berhak mengatur masa depannya, apalagi hidupnya.”

Tiara membuka attachment dengan nama ‘puisi’ itu.

Children
(Kahlil Gibran)

Your children are not your children.
They are the sons and daughters of Life’s longing for itself.
They come through you but not from you,
And though they are with you yet they belong not to you.
You may give them your love but not your thoughts,
For they have their own thoughts.
You may house their bodies but not their souls,
For their souls dwell in the house of tomorrow,
Which you cannot visit, not even in your dreams.
You may strive to be like them, but seek not to make them like you.
For life goes not backward nor tarries with yesterday.
You are the bows from which your children as living arrows are sent forth.
The archer sees the mark upon the path of the infinite,
And He bends you with His might that His arrows may go swift and far.
Let your bending in the archer’s hand be for gladness;
For even as He loves the arrow that flies, so He loves also
The bow that is stable.


Tiara tertegun membaca puisi itu. Jauh, jauh sebelum dia menikah dan mempunyai anak, dia pernah membaca puisi itu. Dan merasa kalau puisi itu amat sangat benar dalam sudut pandangnya sebagai seorang anak. Sekarang ia membacanya lagi sebagai seorang ibu. Hatinya tertohok. Mungkinkah dia sudah menjadi orang tua yang merasa memiliki jiwa anaknya itu?

oooOOOooo

Malam itu Tiara pulang larut, seperti biasa. Ia masuk ke kamar Vinka yang sudah gelap. Dilihatnya Vinka sudah terlelap pulas dalam pelukan selimutnya. Tiara duduk di samping tempat tidur berukuran sedang itu. Ditatapnya lama wajah Vinka. Berusaha menelan semua kekhawatirannya selama ini dan mensyukuri akan anugerah yang diberikan Tuhan melalui Vinka.

Diambilnya secarik kertas dan dituliskannya sesuatu di atas kertas itu.

“Vinka, sayang…Kamu sudah tidur waktu Mama pulang. Maafkan, Mama ya! Mama lihat rambutmu sudah panjang. Bagaimana kalau kita ke salon sebelum kamu ke pesta ulang tahun Dara malam minggu nanti? Itu kalau kamu mau memotong rambutmu. Kalau tidak pun, Mama tidak memaksa.”

Sekali lagi, tulisan menjadi perantara mereka. Tapi kali ini Tiara merasa tulisannya lebih berbalur cinta dan kasih sayang, dan bukannya kekhawatiran dan was-was yang berlebihan seperti biasa.

oooOOOooo

15 comments:

  1. Ah, bukankah tulisan justru mewakili emosi yang kadang tidak tersampaikan oleh kata-kata? Ceritanya bermoral (eh, mengandung pesan moral) yang bagus sekali. Gorgerous!

    :)

    ReplyDelete
  2. Semoga mereka pada akhirnya bisa ke salon bersama-sama :-)

    Cerita yang manis, mewakili emak-emak yang setiap saat penuh cemas dan was-was (menunjuk diriku sendiri :-D). Terbayang nanti saat anak menjelang remaja...

    ReplyDelete
  3. Hihi.. sedikit banyak mengingatkan gw sama perdebatan2 gw en nyokap semasa remaja. Sampe sekarangpun masih sering berdebat tapi lebih ke saling sokong-menyokong mendebat orang lain, wkwkwkwkwkwk... makin ke sini makin kompak.

    Ini tulisan yang padat banget lho..

    ReplyDelete
  4. You may give them your love but not your thoughts, For they have their own thoughts

    Huhuhu.. gua (paling) sukaa ama kalimat di atas itu, mantapss..

    Vinka dan Tiara, selamat menikmati saat2 kebersamaan di salon yaa, semoga itu bukan saat pertama dan terakhir kalian berdua meluangkan waktu bersama ;)

    ReplyDelete
  5. masalahnya, brp pun umur kita sulit buat orang tua menerima kita sebagai pribadi dewasa... Entah ya kalau gue jadi ortu :D
    Nice story, Winda:)

    ReplyDelete
  6. Mengharukan, Winda. Salah satu baris dalam puisi yang pernah saya tulis untuk anak saya:
    ia adalah bagian masa laluku yang menjadi milik masa depan...

    ReplyDelete
  7. mbak meli: hiks...iya, cerita ini mewakili aku dulu dengan mamaku...dam aku rasa begitu juga hubungan anak-orangtua pada umumnya...aheeuuuyy....

    deasy: yup..kebayang yg kerja kantoran, gw aja yg di rumah mikirnya suka was was meulu, parnoan ih..hihihihihi

    Ge: sama banget pikiran kita...setelah gw baca sebelum posting kemaren gw ngerasa kalo cerita ini terlalu padat...tengkyu..mungkin harus diurai satu per satu permasalahannya...cuma ntar bisa2 jadi novel lagi? hahahaaa...capedeee

    indah: jujur gw ngakuin, ini adalah satu2nya puisi kahlil gibran yg gue tau karena begitu baca langsung hafal dalam hati maksudnya...wkwkwkwkwk

    mb ria: so true...my mom masih aja ngerasa kalo gw anak kecil yg bisa kena omel kayak dulu..hiks..tapi aku pasrah...wkwkwkwkwk

    mbak endah: hohohooo...share dong mbaaak, gimana caramu melawan rasa was-was saat mas azam beranjak remaja... :)

    ReplyDelete
  8. Keren dan mengharukan,kalau anaknya laki-laki gimana ya? kwkwkwkw

    ReplyDelete
  9. katakan dengan bunga eh tulisan... yah, rambut saya dah panjang Mba, mending kita motong rambutnya Dede Tomat eh Nana aja yuk :D

    ReplyDelete
  10. Win..duhhhh..gw musti mempersiapkan diri kali ya..kayaknya gak lama lagi...duhh..mudah2an puisi ini bisa selalu tertanem dalam hati gw dalam menjadi seorang ibu yg baik..Thanks!!!

    ReplyDelete
  11. kisah anak dengan orang tua sejujur saya sering sekali mendengarnya, menyaksikan, membacanya dan merasakannya. tapi, yang ini ada yang benar-benar berbeda.
    sebuah gagas yang sederhana, namun penyajiannya yang keren.
    he........he........he.......
    sotoy banget gw

    ReplyDelete
  12. alangkah baiknya jika dialog dan narasi seimbang mba. jangan terlalu banyak dialog, mungkin bisa disampaikan secara narasi.

    ReplyDelete
  13. MD: tengkyu...kalo anaknya laki2? hmm, coba aku cari2 dulu ya..soalnya biasanya yg suka bermasalah sama ibu itu anak perempuan yg beranjak remaja...heheheee

    Anonim: hahahaa, iya, rambut nana aku potong sendiri di rumah...wkwkwkwkk

    Irene: samaaa...kita harus siap-siap dari sekarang...wkwkwkwkwk

    Mas Dede: hihihihihi, makasih ya apresiasinya...sebenernya masih banyak kurangnya nih, tapi namanya juga usaha ya..wkwkwkwkwkwk

    Mas Sabil: sepakat mas..pas udah dibaca lagi aku juga agak merasa kurang seimbang komposisinya...hehehehee...mungkin karena di awal aku mengasumsikan percakapan melalui e-mail itu bukan dialog, padahal kan sama aja ya? hihihiihi..
    terima kasih untuk masukannya ya..ditunggu kehadirannya selalu di sini.. :D

    ReplyDelete
  14. Uni Winda... khas Uni dengan tema kaya gini... :) :)

    Gregetnya nambah doong... *sok tewu dakyu*

    ReplyDelete