Keceriaan tiba-tiba menguap ketika aku meminta Ibu menceritakan bagaimana ayahku, sebagai hadiah ulang tahunku. Ibu berhenti mengiris kue tartku dan masuk ke kamar. Kakakku mematung di ujung sofa seakan tak percaya kalau aku berani menanyakan hal itu pada Ibu. Tapi tanpa kuduga kakakku bangkit dan meraihku, mengajakku duduk dan mulai menceritakan semua yang ingin kuketahui.
“Kamu udah tau kan kalau sebenernya dia belum meninggal?” tanya kakak mengawali. Jelas tersirat rasa benci dalam intonasinya. Juga tercermin dari penyebutan ‘dia’ bukan ‘Ayah’.
“Iya, waktu itu aku ga sengaja baca email Ibu. Di email itu Ibu cerita keadaan kita ke seseorang yang seakan memang pantes banget tanggung jawab atas hidup kita. Setelahnya aku buka raporku, ternyata namanya sama dengan nama ayah.” Jawabku jujur.
“Ibu bukan istri pertama” kakak kembali memulai, “Dari dulu Ibu pengen jadi bidan. Mimpinya ga muluk-muluk tau keuangan keluarganya yang ga seberapa. Ibu rajin belajar, dan memang pada dasarnya Ibu anak yang cerdas. Tapi, saat kelas 3 SMA kakek meninggal dan nenek bener-bener ga sanggup kalo harus nguliahin Ibu. Ibu terima semuanya, dia pasrah sama nasibnya. Tapi nenek ga tahan liat anak perempuan satu-satunya harus sedih tiap hari karena mimpinya ga kesampean. Akhirnya nenek dengan ketegaran sebagai seorang Ibu rela memohon sama Bu Zaenab, istri orang paling kaya di kampung itu, untuk nguliahin Ibu. Bu Zaenab setuju, tapi ternyata memang ga ada yang gratis di dunia ini. Ibu bisa nerusin kuliah dan jadi bidan kalo Ibu mau jadi istri ayah. Ayah adalah keponakan Bu Zaenab. Kakek, ayahnya ayah udah ninggal waktu itu. Dan kakek dalam wasiatnya berpesan, ayah baru bisa dapet semua kekayaan ayah kalau ia udah punya anak.” Kakak berhenti sejenak dan mengubah posisi duduknya untuk kemudian melanjutkan.
“Tapi siapa coba yang mau jadi istri kedua?” tanya kakak retoris.
“Istri kedua?” tanyaku tak mengerti.
“Iya. Ayah saat itu udah punya istri, tapi istrinya ga bisa punya anak. Ayah sangat mencintai istrinya karena itu dia ga mau nyerein. Ga cuma bisa jadi bidan, kalau Ibu mau jadi Ibu dari anak-anak Ayah, hidup Nenek dan Om Gatot juga akan terjamin. Sebagai anak dan kakak yang berbakti, akhirnya Ibu setuju.”
“Mereka akhirnya menikah, kemudian Ibu melahirkan aku. Ayah dapet warisannya. Dengan uang warisan Ayah dan Ibu melanjutkan kuliah. Ibu di sini, kuliah sambil ngurusin aku. Ayah ngelanjutin kuliahnya bareng istri pertamanya di Jakarta , karena disini ga ada HI, paling deket ya Jakarta .”
“5 tahun setelahnnya ayah pulang, jenguk aku dan Ibu. Kata ayah dia ga tega liat aku sendirian, jadi deh mereka buat kamu. Kakak kadang heran, enak benerlah ya ayah itu pulang-pulang buat anak eh terus pegi lagi haha,” tawa hambar kakak mengiringi.
“1 tahun bersama Ibu ga ngilangin cinta ayah ke istri pertamanya. Hari itu ayah dapet telpon dari Jakarta , dari telpon itu kita semua bahagia sekaligus sedih. Ayah dan istri pertamanya diterima kerja di kedutaan besar Indonesia di Malaysia, karena itu besoknya Ayah pamit dan berangkat ke Jakarta untuk kemudian terbang dan menetap di Malaysia sampe sekarang.”
Ibu keluar dari kamarnya dan duduk disebelahku. Sambil mengelus kepalaku ia menyodorkan 2 tiket pesawat ke Malaysia dan berkata “Ini hadiah ulang tahun dari ayahmu, pergilah bersama Kakak dan kalian akan tau bahwa ayahmu orang baik dan Ibu tidak pernah menyesal menjadi Ibu dari anak-anaknya”. Senyum dan pelukan Ibu menutup senja sore itu.
[Tulisan dikirim oleh Hartati San]
0 Spots:
Post a Comment