[Pemenang 1 Lomba Cerpen Kampung Fiksi] Obrolanku Dengan Tuhan - oleh: Vira Cla

Handphone yang kuletakkan di meja samping tempat tidur berdering. Ada panggilan masuk yang membangunkanku seketika itu. Kulihat layarnya, sebuah private number. Aku benci menjawab panggilan dari nomor yang tak kukenal, apalagi dari nomor rahasia seperti itu. Kututup mukaku dengan bantal seakan ingin menutup diri dari handphone yang terus berdering. Kamarku masih gelap, tak ada cahaya yang mengintip dari gorden jendela yang sedikit terbuka. Sepertinya masih subuh dan masih pantas bagiku untuk melanjutkan tidur setelah begadang semalam.

Aku tertidur hingga menjelang siang. Puting beliung dalam perut ini memaksaku untuk mencari suplai energi. Aku terpaksa bangun, walau mataku masih ingin terpejam. Di dapur, aku menyiapkan sereal dan susu sebagai menu brunch hari ini. Sesaat aku menyuapkan sesendok sereal ke dalam mulut, handphone yang kutinggal di kamar berdering lagi. Tak kuacuhkan. Tak ada hal penting yang harus kulakukan hari ini, jadi aku merasa tak penting untuk dicari oleh sesiapapun hari ini juga, walau hanya lewat panggilan handphone.

Cuaca dalam perut sudah tenang, puting beliung telah berlalu, damai sekali rasanya. Namun, kedamaian ini tak bertahan lama, karena puting beliung itu bergerak ke ususku. Sudah jadi kebiasaan, tak lama aku menghabiskan makanan pertama hari ini, aku harus segera ke kamar mandi, nongkrong di sana berlama-lama membuang hajat sambil memungut ide-ide yang berseliweran di atas kepala. Entah kenapa, suasana syahdu di kamar mandi bisa memicu lahirnya kreatifitas. Mungkin hanya satu yang bisa membuyarkan semua ide kreatif itu. Dering handphone!


Kalau handphone itu ada di dekatku sekarang, pasti segera kubanting biar rusak sekalian! Handphoneku itu memang sudah butut, bukan handphone canggih yang trend saat ini. Layarnya saja masih monokrom, nada deringnya masih polifon, fungsinya cuma bisa SMS dan telepon. Hubungan kami selama tujuh tahun seharusnya memang disudahi saja. Handphone, oh, handphone...

Total panggilan tak terjawab hingga sore berjumlah tujuh. Angka kesukaanku. Seharian di rumah, aku meninggalkan handphone di dalam kamar. Aku tak ingin pekerjaan membersihkan rumah, mencuci dan menyetrika pakaian, serta aktifitas afternoon reading with tea-ku diganggu oleh sebuah panggilan telepon. Aku cukup heran dengan nomor rahasia yang ngotot ingin bicara denganku. Siapa gerangan? Rasa-rasanya aku tak punya penggemar fanatik yang mengincarku. Akhirnya aku penasaran, aku ingin tahu siapa penelepon rahasia itu. Tapi, bagaimana caranya? Aku tak bisa balas menelepon ke nomor rahasia.

***

Halaman di aplikasi microsoft word di depan mataku ini masih putih bersih. Tak satu huruf pun yang bisa kuketik. Seperti ada yang kurang kulakukan seharian ini hingga membuat otakku buntu seketika. Padahal, semua pekerjaan rumah telah kubereskan, tak ada lagi buku-buku yang berantakan, perangkat makan yang kotor, debu-debu di furnitur pun sudah kubersihkan. Apa yang kosong di kepala ini?

Dering yang sama untuk ke sekian kalinya. Otakku tetiba cemerlang. Kegesitan mengangkat panggilan yang akhirnya muncul lagi senja ini. Barangkali panggilan ini yang kutunggu-tunggu supaya otakku bisa diajak bekerja. Segera kutekan tombol berlogo telepon berwarna hijau itu dengan jempolku.

“Halo,” sapaku seperti biasa menjawab telepon masuk.

“Halo,” balasnya. Ia yang entah siapa. Aku tak pernah mendengar suara seindah itu. Aku bahkan tak bisa menentukan apakah itu suara pria atau suara wanita. Suara yang asing, suara yang barangkali tak pernah kau dengar di manapun, suara yang hanya kudengar lewat telepon ini.

“Ya, dengan siapa ini?” tanyaku sedikit gemetar, entah kenapa.

“Tuhanmu, Joanna.” Jawaban tergila yang pernah kudengar. Jujur saja, aku dibuat terperangah. Entah kata apa yang harus kusampaikan pada orang gila itu. Wait! Orang gila? Tuhanku orang gila?

“Maaf. Saya lagi sibuk, tolong hubungi orang lain saja. Saya tak ada waktu melayani lelucon macam ini.” Suaraku kembali normal. Masa bodoh dengan suara terindah itu!

“Aku sedang tidak bergurau, Joanna.” Kedua kalinya ia memanggil namaku. Bagaimana ia tahu? Oh ya, ia adalah Tuhanku. Temanku yang mana yang ingin mengerjaiku kali ini? Segera saja kumatikan telepon dari Tuhan, terserah ia mau marah, aku tak percaya jika benar Ia yang meneleponku.

Aku beringsut mendekati layar laptop. Masih ada jeda antara keterpukauanku pada suara terindah dengan keinginanku untuk berkonsentrasi pada tulisanku. Sementara waktu, biar kunikmati jeda ini.

***

Usahaku gagal malam ini, tak ada kata-kata yang terangkai dengan layak. Musik yang kudengar tak mencairkan kebekuan otakku. Menonton film pendek juga tak memicu ide apapun. Mungkin aku perlu ke luar rumah sebentar, mengirup udara dingin, menyesap keheningan malam. Siapa tahu ide-ide berjatuhan dari langit.

Handphone yang seharian tadi merecokiku masih tergeletak di atas meja. Kubiarkan tinggal di sana, walau ada secuil keinginan untuk menjamahnya. Aku ingin mendengar suara terindah itu lagi.

Kembang anggrek yang kutata di pot gantung menghiasi teras rumahku yang mini. Mereka kadang menjadi pendengar terbaik di rumah ini. Memang tak ada sesiapa lagi yang tinggal bersamaku. Aku menjadi janda setelah menikah sepuluh tahun. Menjadi janda karena suamiku menginginkan anak dari rahim yang tak akan berbuah ini. Kuelus perutku. Mataku telah lama kering. Jadi, tenang saja, tidak akan ada air mata malam ini, dan malam-malam selanjutnya...

Handphone-ku berdering. Mungkinkah dari si penelepon rahasia lagi? Aku menuju kamarku segera. Tak sempat kujawab. Namun, tak lama kemudian, masuk sebuah pesan singkat.

“Joanna, telepon Aku jika kau butuh. Sekarang kau sudah tahu nomorku ini. Tapi, berjanjilah untuk tidak memberitahu siapa-siapa. Aku bisa kauhubungi tiap saat kapan kau mau. Sincerely, Your God.”

Sepertinya Tuhan baru punya handphone, bagaikan mainan baru, Ia menghubungi setiap umatnya. Ia kesepian di atas sana. Ia menghubungi siapa saja. Dan aku salah satu korban keisengan-Nya. Aku mencoba mengikuti permainan ini. Mungkin Tuhan memilihku karena aku sama kesepian dengan-Nya. Bisa jadi! Kubaca lagi pesan singkat itu. Tak ada yang sanggup kulakukan selain tertawa terbahak.

***

Hingga tengah malam, aku belum bisa tidur. Ada kegelisahan yang menjalar di dada. Entah gelisah karena tulisan belum rampung, entah gelisah karena Tuhan mencoba menghubungiku. Oh, aku mulai percaya benar Tuhan yang meneleponku dan mengirimiku SMS? Hahaha... Gila! Hidupku di dunia fiksi tak lantas menghanyutkanku ke dalam arus imajinasi, bukan? Tentu saja bukan Tuhan yang menghubungiku. Lantas, kenapa aku masih gelisah?

Handphone berwarna hitam buram itu berdiam di meja kecil di sebelah pembaringanku. Bunyi polifoniknya yang nyaring kini kurindukan. Aku berbaring miring menghadap handphone itu. Telah banyak kisah kami bagi bersama. Kisah bahagia ketika ia menjadi hadiah ulangtahun pernikahanku tujuh tahun yang lalu. Ia juga yang menemani kesepianku ketika berpisah dari suamiku lima tahun setelah itu. Lewatnya kukirim permohonan maaf pada mantan mertuaku. Mantan mertua yang pernah begitu sayang padaku. Sekian tahun, aku masih bertahan dengan handphone jadul itu.

Bingung, gelisah, penasaran, mengaduk-aduk isi kepalaku. Kuraih handphone yang belum juga berdering sejak SMS dari Tuhan tadi. Telepon Aku jika kau butuh. Butuh teman bicarakah aku? Mungkin Tuhan memang sedang mengirimkan seseorang untukku. Tapi, bagaimana jika memang Tuhan yang mencoba menghubungiku?

Kuberanikan menelepon nomor rahasia Tuhan. Nomornya cukup panjang, entah provider mana yang jadi langganan Tuhan ini. Aku tak akan membagi nomornya di sini, tak akan kubiarkan pembacaku mengetahui nomor yang diminta untuk dijaga kerahasiaanya. Apalagi, ini nomor handphone Tuhan, kalau banyak orang yang tahu, bisa-bisa orang tak lagi mengunjungi rumah-Nya. Oh, kapan aku terakhir kali ke gereja?

Nada sambung itu bernyanyi di kuping kananku. Cukup lama menunggu jawaban. Sedang sibukkah Tuhan? Sudah lewat tengah malam. Tuhan tidak tidur, bukan?

Kucoba sekali lagi. Kalau tetap tak ada jawaban, aku akan meyakinkan diriku sepenuh hati bahwa Tuhan memang tak akan membagi nomor handphone-Nya pada siapa pun juga, hingga kapan pun juga. Dan itu juga kalau Tuhan punya handphone. Hmm...

“Halo, Joanna. Aku tahu kau akan menghubungi-Ku,” kalimat yang kudengar itu tak salah lagi dari suara yang sama kala senja tadi. Suara yang tetap menggetarkan kalbu.

“Tuhan?” Aku bingung harus berkata apa! Tanganku gemetar. Suaraku tak tenang. Aku tak ingin orang di seberang sana—Tuhan—mengetahui kegelisahanku kini.

“Bicaralah, Joanna. Jangan ragu.” Keheningan menjalar. “Kau menangis, Joanna?”

Tidak! Siapa kau? Sudah lama aku tak pernah menangis lagi. Aku tak mungkin menangis sekarang hanya karena mendengar suara indah ini. Kuusap pipiku. Basah. Bagaimana mungkin tak terasa?! Siapa kau?

“Joanna, dengar suara hatimu. Kau tahu apa kata hatimu. Kau telah tahu jawabannya, Joanna.”

Tak kuasa lagi. Kumatikan sambungan dengannya...-Nya? Benarkah Kau, Tuhan, yang bicara denganku?
Badan bergetar, berkeringat dingin, sulit tidur, beginikah rasanya ketika nabi menerima wahyu Tuhan? Hei, Joanna! Kau bukan nabi, jangan kau samakan! Ya, aku bukan nabi, dan tidak mungkin aku berbicara langsung dengan Tuhan. Tenangkan dirimu, Joanna!

***

Akhirnya, aku memang menenangkan diri, dengan obat tranquilizer. Setidaknya sebutir tablet diazepam melancarkan kata-kata mengalir dari mulutku ketika berbicara dengan Tuhan. Ya, ketika aku butuh, aku meneleponnya, eh.. Nya. Sepertinya aku harus membiasakan diri menyebut Tuhan dengan huruf kapital. Aku mulai percaya bahwa aku menelepon Tuhan. TUHAN!

“Mungkin kau perlu kencan dengan seseorang, Joanna.”

“Tidak perlu. Bertemu, berkenalan, kencan, menikah, mengharapkan anak. Aku tak akan bisa memberi apa yang lelaki mau, Tuhan.”

“Kamu yakin sekali bakal tidak bisa mengandung?”

“Jadi, Kau bisa menjamin aku bisa hamil? Ya, Kau harus memungkinkan aku untuk hamil! Ayolah, Tuhan, Kau yang menyarankan untuk kencan, lho?!”

“Oke. Tapi, apa nanti kau tak akan menyesal telah bercerai dari Alex?”

Aku terdiam. Malam ini aku melanjutkan menulis novel baruku. Sejak tujuh hari yang lalu, sejak aku menerima SMS dari Tuhan, sejak aku beranikan diri meneleponnya tanpa gemetar, sejak aku bisa mengobrol dengan Tuhan, sarafku seperti bekerja dengan optimal, memungut begitu banyak ide lalu menjalinnya menjadi kerangka cerita yang menakjubkan. Malam ini aku sedang asyik mengirimkan huruf-huruf ke halaman word melalui tarian jemariku di atas keyboard, lalu tiba-tiba buntu, aku pun mengambil handphone dan segera memanggil Tuhan. Tapi, malam ini Tuhan membuatku terdiam. Lagi dan lama.

Bukan Alex yang ingin bercerai. Aku yang minta diceraikan. Aku tahu apa yang diinginkan Alex. Aku mengerti apa yang diharapkan ibu mertuaku pada Alex anak semata wayangnya. Aku sendiri yang mencarikan calon istri untuk Alex, kupilih yang subur, kuingin Alex memiliki keturunan dari benihnya, yang akan menjelma seorang bocah yang dialiri darah Alex. Dan, aku tak ingin jadi penghalang kebahagiaan mereka. Buat apa istri pertama yang mandul? Aku tak akan bisa bertahan. Aku minta diceraikan. Dua tahun lalu, awan kelabu itu datang, dan hingga kini, tak pernah bergerak dari atap kehidupanku.

“Joanna, kau mengenangnya?”

“Ya, tapi aku tahu Kau bercanda. Pemeriksaan medis lengkap telah menyatakanku infertil. Aku tak akan mungkin hamil.”

“Joanna, aku yang menciptakanmu. Apa yang tak mungkin Kulakukan? Semuanya mungkin, Joanna.”
Sudahlah, Tuhan. Aku mengantuk.

***

“Joanna, pergilah ke gereja.”

“Hmm...”

“Jadi, minggu ini ke gereja?”

“Hmm...”

“Aku tahu jawabanmu. Buat apa? Toh, Aku sudah menyediakan kesempatan khusus untukmu. Kau bisa menghubungi-Ku kapan kau suka. Ya, ‘kan?”

“Hmm... Tak ada yang bisa kurahasiakan dari-Mu.”

Tuhan yang kuyakini hanya ada dalam hati nuraniku. Ia tak harus kutemui di gereja, lembaga agama bikinan manusia. Tuhanku semestaku, yang hadir tiba-tiba lalu pergi tak terduga.

***

Tidak ada nada sambung. Hanya hening. Berkali-kali aku menelepon nomor rahasia itu. Sehari-semalam, tak hentinya aku mencoba menghubungi Tuhan. Aku sedang butuh Tuhan!

***

Aku seperti bertemu dengan orang asing di sebuah kafe. Orang asing yang mencoba mengajakku berkenalan. Aku menyanggupi pertemanan dengannya karena ia orang yang asyik diajak ngobrol. Lalu, hari berikutnya, aku ke kafe yang sama. Harusnya aku melakukan apa yang seharusnya kulakukan bila sendiri, tapi aku tak bisa melakukannnya karena aku diam-diam mencari orang yang kemarin aku temui. Beruntung, orang itu ada lagi. Kami pun saling bercerita, berbicara tentang apa saja. Setelah itu, aku sanggup melakukan apa yang harus kulakukan, dengan lancar dan lebih brilian. Sehingga hari-hari berikutnya, aku terus mencari orang yang sama, mengajaknya duduk di mejaku lalu bercerita lagi. Aku tak butuh lagi zat-zat adiktif yang kusugestikan bisa mengalirkan inspirasi. Aku hanya butuh berbicara dengannya. Terus demikian hingga tiga bulan kemudian, orang itu tak lagi muncul di kafe itu, tak lagi ada di hadapanku.

Aku kehilangan fokus melanjutkan pekerjaanku. Aku terus mencari-cari orang asing yang hadir tiba-tiba lalu pergi tak terduga.

Tuhan, Kau kemana??? Aku membanting handphone ke depan cermin kamar.

Handphone dan kaca sama berderai. Hatiku lebih hancur lagi.

***

Tak ada handphone yang berdering nyaring. Tak ada Tuhan yang berbicara lewat handphone. Tuhan, Kau bukan hantu, kan? Kau pasti bisa kutemukan di suatu tempat. Di mana Kau bernaung Tuhan?

Tidak! Aku tak akan ke gereja! Tuhan yang di gereja telah melaknatku karena telah bercerai dari Alex. Tuhan di sana tak akan rela menyediakan waktu ngobrol khusus lewat handphone. Tuhan yang mana kucari ini?! Tuhan, kembalilah!!!

Tubuhku tergeletak lemas di atas ranjang. Pecahan handphone itu telah kusatukan, tapi tak bisa menyala. Tak apa-apa, Tuhan pasti punya cara ajaib supaya handphone itu berfungsi lagi. Aku akan menunggu-Nya.

***

Novelku mentok setelah sembilan bab. Aku butuh satu bab lagi untuk menyelesaikannya. Agen penerbitku mulai menanyakan perkembangannya. Tidakkah dia tahu aku tak akan bisa menamatkan novel ini dengan baik bila tanpa DIA?! Tuhaaan!!!

Email masuk hampir tiap hari, bertanya tentang hal yang sama. Orang-orang kapitalis ini memang tak bisa mengerti. Aku belum bisa memberikan draft novelku! Mengertilah, setan!

Tak ada lagi email bawel. Sepertinya aku dicampakkan.

***

Aku membeli handphone baru. Kuharap aku bisa menghubungi Tuhan lewat handphone ini. Kartu sim telah diaktifkan. Aku mulai memencet keypad.

TUHAAAN!!!

Aku tak menyimpan nomor rahasiamu!

Entah teriakan histerisku terdengar oleh para tetangga. Ah, aku sudah tak peduli. Tubuhku terguncang karena isakan tangis. Aku mencari Tuhanku. Aku ingin berbicara dengan-Nya. Tuhanku semestaku, hatiku telah hancur, masihkah Kau ada dalam hatiku?

Hatiku telah hancur, mungkin Tuhan tidak betah berada dalam hatiku. Mungkin Ia mengungsi ke gereja, mungkin saja, ‘kan?

Tidak! Gereja tak akan membukakan pintunya untukku.

Tunggu!

Tuhan sering menyuruhku ke gereja.

Aku akan menemuinya di sana!

***

Aku merapikan diri. Aku mematut diri depan cermin. Banyak yang berubah, lebih tepatnya berkurang. Aku terlihat pucat. Kulihat lipstick di atas meja rias. Kuusapkan pelan. Tanganku gemetar. Ah, peganganku tak kokoh. Segera kucampakkan lipstick itu, entah ia berguling ke mana. Aku berlari keluar. Terjatuh di depan pintu. Aku berjalan terseok. Terus berjalan menjauhi rumah.

Gereja, di sinilah aku berdiri. Di mana Kau Tuhan? Bicaralah sekarang! Kumohon.

Handphone di saku celanaku berdering. Private number. Hatiku melonjak girang, walau tubuhku sudah begitu lemas.

“Tuhan...”

“Kau meyakini Aku selalu ada di dalam hatimu. Tapi, kau sendiri tak pernah mendengar suara hatimu. Kau tak pernah mempercayai-Ku, Joanna.”

***

Novelku selesai. Penerbitku sangat senang. Bagaimana tidak? Novel yang menyelipkan pengalaman spiritualku itu menjadi best-selling seantero negeri. Sepertinya novel-novel macam ini memang diburu banyak orang. Orang-orang seakan kehilangan sesuatu yang mendalam di diri mereka. Orang-orang ini membutuhkan penyegaran spiritual. Mereka mencoba mencari Tuhan. Ah, semoga mereka bisa menemui Tuhan dalam hati mereka.

Handphoneku kini makin sering berdering. Tapi aku jarang menerima telepon, lebih banyak SMS yang masuk. Mereka pembaca novelku. Ungkapan kagum dan terimakasih bertubi-tubi kuterima. Tidak, aku tak pantas untuk itu semua. Tuhan yang pantas dikagumi dan disyukuri. Tuhan yang akan selalu bersemayam di dalam hati tiap manusia. Tuhan yang akan selalu berbicara dengan makhluknya yang mau mendengar. Dengarlah suara hatimu, Joanna, kau akan mendengar diri-Ku berbicara.

Itulah kalimat terakhir yang kudengar dari handphoneku.

***

end
by: Helvira Oktami Hasan (Vira Cla)
Dimuat pertama kali di sini.

3 comments: