Ibu, Kematian dan Tangisannya

Image by Azam Raharjo
Ibuku sungguh berbeda. Usianya sudah sepuh untuk ukuran orangtua dengan seorang anak yang masih baru lulus kuliah seperti aku. Tujuh puluh lima tahun. Ayahku sudah berpulang lima tahun yang lalu saat aku berusia 19 tahun. Aku tidak pernah menyadari ada sesuatu yang lain dari Ibu sampai hari Ayah meninggal dunia itu datang.

Sore itu Pak Diran, staff Ayah di kantor, menelepon ke rumah. Aku dan Ibu sedang menonton televisi sambil menikmati teh manis hangat dan sepiring pisang goreng buatan Ibu saat itu. Aku masih ingat sekali bagaimana deringan telpon itu terdengar lebih nyaring dari biasanya di telingaku. Aku terlonjak mendengarnya. Mukaku pucat pias seketika karena aku tak siap menguasai jantungku yang berdegup kencang tiba-tiba karena terkejut. Ibu tertawa kecil melihat wajahku. Dia berjalan perlahan menuju pesawat telepon di samping pintu menuju kamar tidur Ayah dan Ibu.

"Halo."

"Ya, Pak Diran, saya sendiri. Ada apa?"
...

"Baiklah. Terima kasih, Pak."

Ibu meletakkan gagang telepon itu kembali ke tempatnya. Aku sudah asyik kembali menonton televisi. Ibu berjalan menuju ke arahku. Kemudian ia duduk di sampingku. Ia memandang wajahku dengan seksama. Lalu ia mulai berkata dengan suara biasa.

"Ayahmu terkena serangan jantung di kantor. Pak Diran dan beberapa teman di kantornya sudah melarikannya ke rumah sakit, tapi ternyata nyawa Ayah tidak tertolong," ucap Ibu dengan tenang.

Aku menatap Ibu dengan dahi berkerut. Ini aneh. Bukan begitu cara yang aku tahu untuk mengabarkan kematian seseorang. Apalagi orang itu adalah suami dan ayah dari anakmu.

Ibu menganggukkan kepalanya meyakinkan aku yang masih tampak seperti orang bodoh.

"Ayo, berangkat ke rumah sakit," kata Ibu mengajakku dan beranjak dari duduknya. Ia berjalan dengan tenang menuju kamarnya untuk berganti baju.

Sepanjang proses pemakaman Ayah tidak sekali pun aku melihat Ibu menitikkan air matanya. Semua orang berbisik-bisik antara heran dan takjub.

"Luar biasa Ibumu ya, San. Tegar sekali," kata Ratih sahabatku.

"Ibumu memang wanita yang kuat dan tabah. Semoga kamu bisa bersabar seperti dia ya, Santi," kata Tante Hilda, sepupu Ibu.

Tak lama setelah kejadian itu ada beberapa kerabat keluarga kami yang meninggal. Pakde Susno, Mbah Putri dan terakhir Tante Siska. Ibu tidak juga meneteskan airmatanya. Ia selalu tampak sama, kadang malah justru senyum tenangnya yang muncul di wajahnya. Sejak saat itulah aku baru sadar kalau Ibu memang tidak pernah menangis untuk sebuah kematian.

Kuberanikan diri untuk bertanya pada Ibu. Semata untuk mencari tahu apakah hati Ibu masih berfungsi selayaknya orang normal atau tidak.

"Kenapa Ibu tidak pernah menangis, Bu?" tanyaku.

"Siapa bilang? Ibu menangis. Ibu kan manusia biasa," katanya sambil tersenyum padaku.

"Tapi Ibu tidak menangis saat Pakde Susno, Mbah Putri dan Tante Siska meninggal dunia. Bahkan Ibu tidak menangis saat Ayah meninggal. Kenapa? Apa Ibu tidak sedih?" tanyaku mengejar penjelasannya.

Ibuku menghela nafas sebelum menjawab pertanyaanku.

"Santi, buat Ibu kematian ada untuk dua alasan. Yang pertama pergi menghadap sang Pencipta. Dan yang kedua adalah warisan hikmah bagi yang masih hidup. Untuk alasan pertama, baik Ibu atau siapapun tak ada yang bisa menghalanginya. Jadi untuk apa ditangisi? Kematian adalah sebuah kepastian yang tak bisa kita pastikan waktunya. Untuk alasan yang kedua, sekali lagi Ibu akan bertanya, untuk apa ditangisi? Sedangkan hikmah dari kepergian orang yang kita sayang baru akan kita dapatkan setelah dia pergi meninggalkan kita. Rasa sayang kita justru lebih terasa saat dia pergi dan kita tahu tidak akan kembali lagi. Indah bukan? Lagipula Ibu yakin suatu saat Ibu pun pasti akan menyusul mereka yang sudah pergi lebih dahulu. Kita semua akan menyusul mereka," Ibu berkata panjang masih dengan senyum tenangnya.

Aku terdiam berusaha mencerna ucapan Ibu. Lama bagiku untuk dapat memahaminya. Namun aku tak hendak beradu pendapat dengan Ibuku sendiri. Kalau begitu menurutnya, ya sudahlah. Paling tidak aku sudah tahu alasan Ibu yang tak pernah menangis untuk kematian.

Sampai sore tadi aku menemui Ibu sedang menangis dalam diam di depan televisi. Aku berjalan perlahan ke tempatnya sambil menatapnya heran.

"Ibu menangis?" tanyaku heran.

Ibu mengangguk sambil menghapus airmatanya, lalu tersenyum padaku. Ia mengajakku untuk duduk di sampingnya. Mengelus rambutku seperti biasa dilakukannya sejak aku kecil.

"Kenapa?" tanyaku lagi.

"Ibu ingat Ayahmu," katanya sudah tidak menangis lagi.

"Bukankah Ibu bilang Ibu tidak akan menangisi kematian?" tanyaku teringat akan ucapannya dulu.

Ibu tertawa kecil mendengar pertanyaanku.

"Ibu bukan menangisi kematian Ayahmu. Ibu menangis karena sedang merasa rindu padanya. Itu saja. Kamu pikir Ibu ini robot apa? Masa Ibu tidak boleh menangis karena rindu pada Ayahmu?" katanya dengan lucu padaku.

Aku diam saja. Itu Ibuku. Dia memang berbeda. Dia tidak pernah menangis untuk sebuah kematian, tapi dia akan menangis karena rindu.

4 comments:

  1. hiks.. saya juga nangis saat rindu juga saat kehilangan entah sebab apapun

    ReplyDelete
  2. ini suri ya?
    sebabnya menangis ya karena rindu dan kehilanganlaaah... :)

    ReplyDelete
  3. semoga bisa mencontoh ibu, bahwa memang kematian itu bukanlah sesuatu untuk ditangisi secara berlebihan..

    ReplyDelete
  4. cerita yg bijak......menasehati tanpa menggurui

    ReplyDelete