Hujan Dedaunan Bagian 2 (Selesai)

Hujan Dedaunan Bagian 1

6/ Cinta itu tidak pernah padam, terasa di ujung lidah, leher dan di dalam sukma.

Aku mulai terobsesi dengan memasak. Mungkin karena mulai kurasakan adanya kebenaran dalam beberapa hal yang dikeluhkannya. Aku memang memikirkannya, mencari-cari alasan yang masuk akal bagiku tentang perselingkuhannya. Aku mencari 'mengapa' di antara bumbu-bumbu dan sayur-sayuran, di antara harum aroma daging panggang, di antara wangi khas santan gulai ikan dan sedap aroma kue yang baru dikeluarkan dari dalam panggangan.
Tanpa kuperkirakan sebelumnya, aku menemukan dunia baru yang menakjubkan! Aku mulai rajin menonton acara masak-memasak di televisi. Favoritku adalah Nigela Lawson, yang begitu sensual justru ketika ia berada di dapur, saat menggigit sepotong piza yang baru saja selesai dipanggangnya, atau meremas-remas bumbu dan adonan dengan tangannya. Di sosoknya aku melihat keindahan itu. Mentah, transparan, berliku dan feminin. Aku ingin seperti itu!

Setiap hujan tiba dan langit di atas Bishan memercikkan cahaya api disertai gemuruh gegunturan, itu pertanda bagiku untuk mulai menyibukkan diri dengan masakan-masakan terbaru, yang kuperoleh dari membeli berbagai buku resep, mencatat resep tertentu saat menonton acara masak-memasak di televisi, ataupun hasil bertanya ini-itu, kepada si anu atau si ini, yang dengan suka rela mau berbagi rahasia dapur.

Petualangan ini mempertemukan aku dengan Gazpacho, Sopa al Cuarto de Hora, Canja, Zarzuela de Mariscos, Ameijoas na Cataplana... Hmmm....aku sangat suka mendengarkan bunyinya, merasakan teksturnya di lidah. Berjiwa. Gamblang. Sebuah petualangan cinta dengan masakan Spanyol. Kali ini, aku yang menjadi kekasih gelapnya.

Cinta itu meletup-letup! Mengalahkan gemuruh dan hingar bingar hujan di luar sana, sehingga aku tak lagi perlu merasa takut mendengarkan suara-suara di kepalaku atau gedoran-gedoran di hatiku.

Badai itu ada di luar sana, di antara bunyi hujan. Di dalam sini aku membuat badai tandingannya, di antara bunyi gemerincing panci-panci dan asap-asap berbumbu. Ah, cinta semacam ini tidak pernah padam bahkan saat tombol gas telah dimatikan. Cinta itu masih terasa di ujung lidah, di leher, di perut, dan di dalam sukma. Cinta itu adalah sebuah dansa tango yang panjang dan menghabiskan nafas, sekaligus membuatku terlalu letih untuk bersedih.

Tetapi, ketika akhirnya kelelahan itu sirna, aku dipenuhi oleh kekosongan bidang datar dengan lorong-lorongnya yang panjang dan tidak punya gema.

Aku tersesat.

7/ Ibu datang di pagi mendung tipis-tipis menggantung.

Saat itulah tanpa kuundang Ibu datang menemaniku. Ketika semangatku patah. Dan raga, seakan letih menyandang jiwa.

Ibu datang. Ibu datang di pagi mendung tipis-tipis menggantung, hujan turun perlahan, rintik-rintik. Ia mengetuk pintu apartemenku yang bercat putih. Aku meghambur ke dalam pelukannya, menghirup dalam-dalam aromanya, lembut, seperti bau wangi sabun bayi. Bau yang menenangkan. Menjanjikan adanya kehidupan baru setiap pagi.

Ibu memelukku. "Kamu tampak letih," ia membingkai kedua pipiku yang cekung ke dalam ceruk tapak tangannya yang dipenuhi garis-garis kehidupan, kebijaksanaan, ketabahan dan kesabaran menanggung hidup. Tangan itu, kuat, seperti juga dirinya. Kuangkat wajahku mencari matanya. Di mata itu aku mencoba berkaca. Di sana aku melihat nyala harapan. Harapan itu membuatku berani mengakui, "Aku sangat lelah. Harus berapa lama lagi merasa seperti ini?"

Sambil memegang kedua bahuku, ia menatap jauh ke dalam mataku, menembus sekat-sekat tergelap relung hatiku, menyentuh aku yang meringkuk sembunyi di sana.

Dia mengangkatku, lembut namun tegas. "Berdiri," bisiknya, "Tantanglah hidup. Semua ini pasti akan berakhir. Ketika saat itu tiba, tidak akan pernah ada rasa sakit lagi."

Aku bangkit. Walau lututku masih goyah. "Tapi, berapa lama lagi?" desakku ingin tahu.

Ibu tak pernah menjawab. Ia membawaku ke dalam pelukannya, membelai tepi keningku hingga aku jatuh tertidur. Sebuah tidur yang menentramkan.

Dalam tidurku langit masih kelabu, hujan masih turun pagi-pagi, lembut-lembut tipis uraian airnya, tanpa api dan gemuruh, hanya air putih bening, lamat-lamat membasahi rerumputan di luar sana, dan suara anak-anak, riang bermain hujan.

Saat aku bangun, aroma sabunnya masih tercium, mengawang di kamarku. Sejumlah pil tidur yang tidak jadi kutenggak bergelimpangan di atas meja kecil samping tempat tidurku. Cepat-cepat kukumpulkan benda-benda kecil putih itu lalu kubuang jauh-jauh, jauh dari kamarku, jauh dari niatanku, jauh dari pikiranku, jauh dari ketidakberdayaanku, jauh dari seluruh kehidupanku dan segala hal yang terjadi di dalamnya.

Aku percaya Ibu benar. Nyata atau khayali, dia tidak berdusta. Akan ada sebuah akhir. Apapun bentuknya, pasti lebih baik daripada menyalahkan nasib dan menyerahkan diri kepada keputus-asaan.

8/ Lynn, aku lelah...

Tak dapat kupungkiri hatiku masih kelelahan. Kelelahan yang amat sangat, sehingga aku sempat enggan untuk merasai atau memulai sesuatu. Keengganan itu membentengi aku dari rasa sakit, sekaligus membelengguku dalam sebuah utopia rasa nyaman, tanpa harus merasakan. Di saat-saat itu, langit selalu mendung, hujan turun rintik-rintik, angin bersenandung lirih.

Sampai suatu hari, aku menyadari, "Aku bosan! Aku bosan dengan abu-abumu!" Aku memutuskan untuk memberikan warna pada cakrawalaku. Kupotong rambutku dengan model yang terbaru. Kulepaskan baju-baju perkabunganku. "Cukup!"

Aku ingin hidup! Aku memutuskan untuk mengajak hidupku menari bersamaku. Bukan dia yang akan memimpin tarian itu, tetapi aku. Ya, aku menari! Aku melompati hujan, rintik atau badai. Aku bergerak mengikuti irama guruh dan sambaran kilat. Aku menari dan menari hingga kusibakkan langit di batas-batas cakrawala itu. Kurobek kesuraman mendung, hingga cahaya masuk dan melimpahi duniaku.

Aaah...... Dengan wajah tengadah  kusambut sinar matahari. Entah sudah berapa lama aku sembunyi dalam mendung. Sudah terlalu lama. Cahaya itu terasa nyaman di tubuhku, di hatiku, di jiwaku, di keberadaanku. Ketika kubuka mataku, aku tengah mandi cahaya. Jiwaku melambung. Aku hidup!

Tak lama. Tetapi tak pernah akan kusesali, waktu yang sempit itu. Aku tahu aku hidup. Walau guntur di siang bolong itu tiba juga. Tepat ketika aku mulai dapat menikmati warna-warni gincu-gincu YSL tanpa merasa mual.

Guntur itu datang, lagi-lagi membawa badai, sehingga aku sempat berteriak menggugat TUHAN-ku, dalam galau dan geram, "Dosa apa yang telah kuperbuat TUHAN? Mengapa Engkau memberikan beban seberat ini dalam hidupku? Haruskah aku menanggung seluruh hukumannya? Mengapa Engkau membiarkan nada-nada sumbang ini hadir lagi di tengah-tengah tarianku? Mengapa? Mengapa Engkau menyabotase seluruh hidupku?"

Ah, hatiku yang tak lagi tahu apa yang kini dapat kurasai atau tidak dapat kurasai lagi, itu bunyi baris pertama pada lembar buku harian yang aku coretkan saat itu, hari itu, ketika vonis dijatuhkan.

"Kanker itu kembali lagi. I'm sorry." Aku melihat airmata di pelupuk mata dokter Lynn, yang sejak empat tahun perawatan dan pemulihanku, hingga detik segalanya berserakkan kembali, telah menjadi sahabatku.

"Berapa lama waktuku?" Bisikku perlahan.

Lynn menggelengkan kepala, "Jangan bicara begitu, semuanya ada di tangan TUHAN."

"Lynn, aku lelah."

Apakah aku punya pilihan? Ya, aku punya pilihan. Masuk kembali ke dalam mendung dan mati merana di sana atau, menetapkan langkah untuk mulai belajar hidup sambil menunggu kematian. Bukankah kita semua seperti itu? Bukankah kita semua tahu, maut itu hanya sebatas nafas? Begitu dekat dia, bahkan lebih dekat daripada wajah kita sendiri?

Satu pertanyaan yang dulu kerap mengusikku. Mana yang lebih memedihkan hatiku, saat tubuh sendiri memutuskan untuk mengkhianati aku, atau ketika kekasihku memutuskan untuk mengkhianati hatiku? Pengkhianatan, akhirnya terasa sama saja. Tidak lagi terlalu penting untuk diperdebatkan. Terutama saat nasibku sudah diputuskan. Tak berbeda dengan nasib setiap orang, kematian itu pasti. Hanya saja, aku merasa diberikan kehormatan untuk melangkah ke dalamnya lebih dahulu.

9/ Sore ini, ketika dedaunan turun seperti hujan...

Tangannya menyentuh daguku, mengangkatnya, menatapkan matanya ke mataku. "Mari mulai dari awal lagi. Maukah?" Katanya, sore ini, empat tahun kemudian, sejak sore yang bersejarah itu, ketika kulihat hatiku sendiri berserakan di permukaan trotoar, di antara kaki-kaki para pedestrian. Hari ini, sore ini, di sini, sekarang, di apartemen baruku, dimana dedaunan turun seperti hujan saat angin bertiup kencang.

Mataku rasanya berembun. Kutatap matanya, mencari sesuatu. Entah apa, aku masih belum tahu. Aku hanya tahu, sesuatu itu ada disana. Menunggu. Menunggu untuk kutemukan. Tetapi apa, dan dimana? Ya TUHAN, beri aku petunjuk, bisik hatiku. Aku sama sekali tidak punya petunjuk.

"Maukah?"

Kuraih jemarinya dan kuletakkan ke dadaku, "Rasakan detak jantungku, mungkin sudah melemah, namun belum pernah hilangkan namamu, tetapi aku masih merasakan ada sekat itu, ada batas antara kita." Ooh.. TUHAN, berikan aku hati itu, yang memiliki ruang lapang, entah apa namanya, aku belum dapat mengejanya.

Dia meraihku kedalam pelukannya, kubiarkan hangat tubuhnya menghangatkan tubuhku. Jangan menangis, jangan menangis, bisik kalbuku, aku tidak ingin ada airmata lagi di hari-hari ini.

10/ Mari menikah, menikahlah denganku.

"Mari menikah." Dia mengangkat wajahnya dari hatiku, menatapkannya tepat ke jantungku. "Mari menikah, Kekasih. Menikahlah denganku, buat aku menjadi laki-laki yang paling bahagia di dunia."

Aku memandangnya. Tiba-tiba saja bibirku bicara mendahului pikiranku yang masih menggapai kata-kata dan menyusun barisan kalimat, "Tahukah kamu jalan menuju ke Surga?" Mataku menatapnya, setengah merenungi profilnya yang tampan, setengah merenungkan bayang-bayang samar yang masih terlihat walaupun semakin cair dan kabur di latar belakang waktu.

Ah... Merenungi wajahnya, membuatku tenggelam dalam matanya yang menawarkan getar-getar kemesraan. Merenungi lekuk bibirnya yang pernah begitu sering mencium bibirku. Merenungi tatapannya yang sedang mencoba mencari jawaban pada tatapanku. Merenungi dia. Perlahan, aku mulai merasakan kemungkinan itu kembali. Kami. Kami, renungku. Benarkah ini adalah kami? Dia dan aku. Aku dan dia. Bersama-sama.

"Aku tidak tahu, Kekasih, namun bila kamu ingin, akan kucarikan jalan menuju ke sana."

"Walau dengan airmata?" Bisikku haru.

"Walau dengan airmata ini," jawabnya tegas.

"Tapi kita tidak punya banyak waktu."

"Aku tidak peduli, menikahlah denganku. Ijinkan aku menebus seluruh dosaku."

"Besok mungkin sudah tidak ada lagi."

"Sedetik ke depan mungkin sudah tidak ada lagi, kita tidak pernah benar-benar tahu." Bisiknya sambil mengecup ubun2ku. "Kalau aku harus menjual jiwaku agar aku dapat membeli waktu bagi hidupmu akan kulakukan. Menikahlah denganku. Katakan kamu mau."

Aku menghela nafas panjang, dia masih saja gombal, "Kamu masih saja gombal, jangan menjanjikan apa yang tidak mampu kamu lakukan," aku tersenyum, menggelengkan kepalaku perlahan. Betapa banyak yang sudah kupelajari selama tahun-tahun mendungku. Sakit di hati itu ternyata sudah lama hilang. Cinta selalu ada. Tetapi, "Mungkin tidak banyak yang berubah di dalam hidupmu, tetapi hidupku sudah banyak berubah. Bisakah kamu menyelaraskan langkahmu untuk menari bersamaku? Aku tidak punya waktu untuk melangkah mundur."

"Aku mau." Jawabnya tanpa ragu.

"Why?"

"Simply because I love you..."

Aku memandangnya, dia memandangku. Kuraba dadanya, merasakan detak jantungnya. Ada disana. "I love you too. Tetapi apakah hal itu pernah cukup, aku masih sangsi. Kita seharusnya sedang saling jatuh cinta untuk berdansa bersama."

Ia menatap wajahku, lama sekali, lalu mengusap dengan punggung tangannya, "Kekasih, adakah bedanya antara sedang jatuh cinta dan menyadari sebenarnya kita selalu saling mencintai? Yang terpenting, aku ingin menari hanya bersamamu. Hanya dengan dirimu langkah-langkah ini hendak kuselaraskan. Tidakkah itu dapat menjadi cukup?"

Aku menatap jemarinya. Pertanyaan hatiku juga sama, tidakkah ini dapat menjadi cukup?

11/ Pengampunan.

Maka disinilah aku, memandangi hujan dedaunan di luar sana. Di tengah derai daun berjatuhan ke tanah setelah selesai hujan lebat, aku mengamatinya berjalan menuju ke mobil, menjauhi apartemenku, seperti sebuah lukisan cat air yang sangat indah. Kutatap lekat-lekat saat ini yang tidak akan pernah terulang kembali.

Tidak ada detik yang sama, dalam setiap waktu kehidupan. Waktuku yang sempit membuat aku merekam setiap gambar dan menyimpannya dalam hatiku.

"Tuhan, dia sedang pergi, apakah aku masih punya kesempatan untuk melihatnya kembali lagi, akankah dia benar-benar kembali? Apa yang akan menjadikan semua ini cukup, TUHAN? Apa yang harus kulakukan?"

Pengampunan, nak. Suara Ibu terdengar perlahan namun begitu jelas. Pengampunan, berikanlah pengampunan. Pengampunan, aku mengeja kata itu dalam hatiku.

Saat itu juga telpon genggamku berbunyi, membangunkan aku dari perenungan. Kulirik nomor yang muncul di layarnya, "Ya." Jawabku.

Pengampunan. Gema suara itu perlahan, lalu lenyap.

"Apakah itu sebuah jawaban?" Tanyanya.

Aku tersenyum, "Ya." Jawabku pasti. Ya, dengan segenap hatiku.

Tak ada yang bisa kulakukan untuk mengubah masa lalu. Aku tahu itu. Aku juga tidak tahu apa yang akan terjadi esok. Tetapi hari ini, today is the present, today is the gift.

Aku melihat ke luar jendela. Tatapan kami bertumpu, lalu perlahan tapi pasti aku melihat kembali bayanganku di matanya. Dia sedang berjalan kembali. Kembali kepadaku.

Pintu depan terbuka, seperti juga sebuah lorong sepi di bilik hatiku yang pernah terkunci rapat, sudah terbuka.

'Hai,' katanya sambil menarik sejumput rambutku. 'Hai you...' Sahutku. 'Aku kembali.' Katanya. 'Ya, aku tahu.' Jawabku.

12/ Aku akan terus menari!

Malam harinya, di dalam tidurku, aku bertemu ibu, dan aku bertanya, "Ibu, apakah aku sudah dikalahkan oleh nasib?"

Ibu menatapku, ada binar di matanya. "Tidak. Engkau sudah berani menatap nasib langsung ke matanya, mengarungi detak jantungnya, menjalani badai dan topannya. Ketika saat itu sudah tiba, para prajurit harus kembali ke kemah-kemah kekekalan karena perjuangan sudah dijalani, semuanya sudah selesai."

"Tapi aku tidak menang."

"Tentu saja kau menang anakku, bukankah sudah kau letakkan tanganmu ke dalam tanganNya? Bukankah sudah kau sandarkan dirimu kepadaNya? Bukankah sudah kau damaikan hatimu dalam damaiNya? Bukankah sudah kau selesaikan pertanyaan panjangmu sore ini? Bukankah sudah kau terima hadiahNya hari ini?"

Kutatap mata Ibu, mengucapkan terimakasih sebelum melanjutkan kembali perjalananku. Masih ada waktu, walau tinggal sepotong lagi.

"TUHAN," kataku kepadaNya, "bila dalam tidurku ini Kau datang menjemputku, aku sudah tahu, Kau akan meletakkan tanganku ke dalam tanganMu dan tidak akan pernah Engkau lepaskan."

Lembar demi lembar kebahagiaan menyelimutiku dan aku menyusup jauh ke dalamnya, meringkuk nyaman seperti bayi.

Waktuku mungkin sudah begitu dekat, tetapi aku telah tahu bagaimana caranya menjalaninya. Bukan, aku tidak akan berjalan melainkan menari. Aku akan menari! Aku akan menari hingga gerbang-gerbang keabadian itu terbuka dihadapanku. Aku akan menari di bawah derai hujan dedaunan.

Selesai

Catatan khusus:

Dimuat di Kampung Fiksi dengan perubahan-perubahan, tidak persis sama dengan versi awal yang dimuat di Kumcer Pilihan Femina November 2003.

Cerpen lawas ini ditulis tahun 2003, untuk mengenang seseorang yg dekat di hati, ia baru saja meninggal (30 Maret 2003) setelah perjuangan selama 11 tahun melawan kanker payudara. Saat cerpen ini selesai ditulis, ternyata cukup waktu untuk mengirimkannya ke Lomba Cerpen Femina, tidak menang, tetapi dianggap cukup layak untuk dimuat dalam Kumpulan Cerpen Pilihan Femina November 2003, yang terdiri dari 3 cerpen: Bicara pada Imel oleh Risnawati Tambunan, Deadline! oleh Setiyo Bardono, dan Hujan Dedaunan oleh Gratcia Siahaya.

Cerpen ini hanyalah hasil dari membayangkan apa yang mungkin pernah dirasakan, dan mendramatisir apa yang pernah dialaminya, selebihnya hanyalah rekayasa belaka dari kepala yang penuh nuansa romantis (tidak lebih).

Untuk: TL. Wagiu (1948-2003)--tante, sahabat dan soulmate yang sering berujar, 'ayo G kita menulis, menulis dan menulis! walaupun tidak perlu ada yang membacanya.' (Kami berdua kerap menulis dan saling bertukar cerita (puisi dan prosa), sekedar untuk memuaskan imajinasi berkata-kata.)

11 comments:

  1. Kisah haru yang ditulis dengan indah. Semoga ia sedang menari di suatu tempat yang asri dan nyaman.

    ReplyDelete
  2. Selamat sore, Mbak Endah :) Saya yakin dia baik-baik saja sekarang. Dia berada di tangan Kekasihnya yang sejati.

    ReplyDelete
  3. Sari,Thanks ya. Jangan nangis, kita harus ikutan Lomba tahun ini, supaya cerita kita bener2 selesai :p

    ReplyDelete
  4. Hiks.... baca endingnya merinding..... tersenyuh... mewek huaaaaaaaa :'(

    Indah dan mengharukan.... hiks....
    Jadi teringat lagu "Tinggal Sertaku.... dalam tiap jam.... *nangis dulu aku

    ReplyDelete
  5. Aku mencari 'mengapa' di antara bumbu-bumbu dan sayur-sayuran, di antara harum aroma daging panggang, di antara wangi khas santan gulai ikan dan sedap aroma kue yang baru dikeluarkan dari dalam panggangan.
    Tanpa kuperkirakan sebelumnya, aku menemukan dunia baru yang menakjubkan!--->>>gw selalu terkagum2 dengan kepiawaian G bermain2 di detil cerita seperti ini..kayanya ini yg masih harus gw eksplore lagi... ;)

    ReplyDelete
  6. @Meli, Reni, Deasy, Winda :) Tengkyu ya.. Versi ini sudah banyak kalimat2 yg gw ganti, haha, dan setelah mendiamkannya selama beberapa tahun lalu membacanya kembali, malah bisa diedit di sana sini :p

    ReplyDelete
  7. mbak.. bagus banget...
    bagaimana bisa menulis sepanjang itu tanpa harus kehilangan daya pikatnya mbak?

    apa kabar mbak G? Semoga tante TL. Wagiu bahagia disana.

    ReplyDelete
  8. Pagi mbak Reni, seneng banget ketemu di blog lagi :) Kabar saya baik2 dan sehat2. Terus-terang aja, saya sendiri menulis tanpa kerangka tulisan, jadi kalau yg satu ini, mungkin karena faktor emosi yg kental jadi berpengaruh pada mengalirnya cerita. Terima kasih karena sudah membaca cerpen ini. Trimakasih utk harapannya, saya percaya, ia bahagia di sana. Amin.

    ReplyDelete