Dea oleh Azam Raharjo |
Runi segera mematikan kompor saat ia dengar deringan telpon. Rumah bagai tak berpenghuni Minggu pagi itu. Iroh sedang menengok adik-adiknya di desanya. Dari kamar Dea yang biasanya gaduh tak terdengar suara karena anak itu sedang mengantar Eyang belanja. Cepat-cepat Runi meraih serbet, membersihkan tangan, lalu berlari ke ruang tengah.
“Selamat pagi. Nama saya Kar.” Suara lelaki dewasa menyapa di seberang sana.
“Selamat pagi,” balas Runi. Kar. Nama itu melekat di kepalanya sejak peristiwa malam itu; ketika sepulang sekolah Dea bersembunyi di makam ayahnya hingga malam untuk menenteramkan hatinya.
“Saya teman les gitar Dea, Bu.” Di telinga Runi suara pemuda itu jauh lebih dewasa dibanding usianya yang menurut Dea baru 18 tahun.
“Ya, saya ingat.”
“Bisa bicara dengan Dea, Bu?”
“Dea sedang keluar. Ada pesan?”
“Tidak, Bu. Nanti saya telpon lagi. Kalau boleh tahu, kira-kira Dea pulang jam berapa?”
“Dua jam lagi. Kenapa tidak hubungi HP-nya?”
“Sudah, Bu. Tapi tidak diangkat. Nanti saya akan telpon lagi. Terima kasih, Bu.”
Runi menggenggam handset sambil berpikir, jangan-jangan Dea sengaja menghindar. Sejak peristiwa itu Runi tak mendengar lagi Dea membicarakan pemuda yang mempesona hati remajanya itu. Dea juga memindah jadwal latihan. Runi tidak bertanya, dari sikap Dea ia menyimpulkan kalau anaknya tidak mau bertemu dengan pemuda itu.
Runi ingat saat dirinya seusia Dea. Semua begitu sederhana. Cinta datang dan pergi tak beda dengan kuntum bunga. Hari ini kuncup, lusa mekar merona dan beberapa hari kemudian kelopaknya layu, kering lalu berjatuhan. Tak lama, tumbuh kuncup-kuncup baru di ujung tangkai-tangkai muda. Ia yakin Dea tidak menyesali kuncup cintanya yang kering sebelum mekar.
Sambil merenung perempuan yang memasak untuk relaksasi itu kembali menyalakan kompor. Ada beberapa potong rolade tahu yang masih perlu digoreng. Handset telepon portable ia taruh di atas meja makan agar mudah dijangkau kalau nanti ada telpon lagi; entah dari siapa.
***
“Tadi ada telpon. Dari Kar.” Runi menatap langsung mata anaknya. Ia ingin melihat reaksi sekecil apapun. Mata yang mengerjap cepat. Cuping hidung yang mengembang. Otot-otot wajah yang menegang. Bibir yang terkatup. Apa saja yang bisa membantunya membaca isi hati anaknya.
“Apa katanya?” Suara Dea biasa-biasa saja. Tak ada wajah tegang. Tak ada cuping hidung mengembang. Bibirnya pun terkatup sempurna.
“Katanya mau telpon lagi. Katanya udah telpon HP-mu juga,” jelas Runi. Tergesa ia membantu ibunya mengangkat belanjaan dari bagasi. Mendengar nama Kar disebut, Eyang berganti-ganti menatap anak dan cucunya. Runi berlagak tak peduli meski hatinya bertanya-tanya. Ia tak ingin lelaki yang dari suaranya seperti telah berusia duapuluhan itu menjadi sebab anaknya bersedih lagi. Meskipun tidak memanjakan anak semata wayangnya Runi akan berbuat apa saja untuk melindunginya.
“HP Dea habis baterenya.” Remaja itu berbohong. Tadi Kar menelpon empat kali ke HP-nya. Dea memang tidak mau menerima telpon itu. Ia ingin melupakan lelaki yang pacarnya cantik sekali dan piawai main gitar itu. Suatu saat akan ada lelaki yang tepat untukku, pikir Dea, masih teramat dini untuk menautkan hati pada seorang lelaki, hanya akan rugi sendiri. Hati yang muda itu serupa tanah gembur penuh hara, berbagai jenis biji yang ditabur di atasnya akan tumbuh sempurna, asal tahu cara menyemainya.
Telpon berdering saat Dea dan Runi sedang memilah-milah belanjaan. “Itu pasti Kar!” Runi berseru bukan karena senang, namun karena khawatir.
“Halah, Mama! Ngagetin aja!” Protes Dea. Dengan wajah tanpa semangat ia pandangi saja telpon yang tergeletak di meja makan. Runi terpaksa meraihnya.
“Halo.”
“Selamat siang. Nama saya Kar.”
“Oh. Kar… mau bicara sama Dea? Anaknya udah datang. Sebentar…” Runi menyodorkan handset ke anaknya yang sibuk memasuk-masukkan sayur ke dalam kulkas. “Dea. Ini Kar.”
Remaja itu menghela nafas panjang, melangkah enggan, meraih handset dari tangan mamanya. “Hai Kar. Apa kabar?” Ringan suara Dea.
“Baik. Adikku apa kabar? Lama banget nggak ketemu. Pindah jadwal, ya?”
“Yup! Tabrakan ama kegiatan sekolah.” Dea berbohong lagi. “Ada apa, nih?”
“Aku nelpon HP tadi, tapi…”
“Baterenya habis!” sambar Dea.
“Begini,” Kar menjelaskan maksudnya. Minggu depan pacarnya akan pentas di Jogja bersama teman-teman kampusnya. Sang pacar itu akan memerlukan gitar akustik dan listrik. Kar ingin meminjam gitar listrik supaya pacarnya tidak perlu menenteng dua gitar dari Surabaya.
“Wah. Gitar listriknya lagi rusak.” Dea berbohong untuk kesekian kalinya.
“Apanya yang rusak?”
“Tauk!”
“Mungkin bisa saya benerin?”
“Udah kadung dimasukin Staccato.” Kebohongan Dea kali ini menyertakan nama sebuah toko alat-alat musik. “Pinjem temen lain aja. Banyak tuh yang punya.”
Dea tampak sangat lega saat Kar menyudahi perbincangan. Matanya melirik mamanya. “Mama kan kadang bohong juga kalau ngadepin masalah kayak gitu. Lagian dia juga nggak tahu kalau dibohongin,” sungut Dea sambil melipati tas-tas kresek.
“Setiap kita berbohong, sebenarnya kita membohongi diri sendiri kecuali kalau orang yang kita bohongi tahu kita bohong,” ucap Runi lembut. Runi mengerti Dea sakit hati meskipun tidak ada yang sengaja menyakitinya. “Kar nggak berbuat salah, kan? Dia nggak tahu kalau kamu suka…” Hati-hati Runi mengeluarkan pendapatnya.
“Bukan soal itu,” gadis itu menyela ibunya, mengumpulkan tas kresek yang semua sudah terlipat rapi, siap dimasukkan laci. “Dea nggak mau bantuin dia. Nggak mau bantuin ceweknya.” Suara Dea meninggi.
Runi tak ingin Dea membiasakan diri memelihara rasa marah. Pengalaman hidupnya mengajarkan, rasa marah itu harus dilepas pelan-pelan dan hati-hati, begitu ia keluar jangan diingat lagi. “Jangan marah…”
“Dea nggak marah.” Wajah remaja itu menegang. “Pokoknya Dea nggak mau minjemin gitar.”
Cara Dea mengucapkan kata ‘pokoknya’ mengingatkan Runi akan dirinya sendiri. Bila ia sudah mengucapkan kata itu, ibunya tak mau membantah lagi. Dea memakai jurus yang sama untuk membuat diam sang mama.
“Oke. Nggak masalah. Mama bisa ngerti,” ucap Runi untuk mengakhiri. Senyum terima kasih mengendurkan wajah Dea, senang karena merasa diterima. Gadis itu mendaratkan ciuman ringan ke pipi Runi lalu berlari masuk ke kamarnya. Siapa bilang menjadi ibu itu gampang, tanya Runi dalam hati. Perempuan itu mencoba menertawai diri karena sebagai janda ia sekaligus menjadi ayah bagi anaknya.
Meskipun mendengarkan, Eyang tidak ikut-ikutan. Ia sibuk mengangkat cucian dari jemuran, melipatnya dengan rapi, lalu menumpuknya dalam keranjang rotan. Eyang tahu kapan harus ikut bicara dan kapan sebaiknya diam.
Telpon berdering lagi. Sebelum meraih handset, dalam hati Runi berdoa agar ia tidak mendengar kalimat ‘nama saya Kar’ untuk ketiga kalinya, yang selanjutnya hanya akan membuat Dea berbohong entah untuk yang keberapa kali.
***
hihihi... saya banget tuh, "pokoknya!!!" habis perkara. Uuuh, saya suka nonton serial 4 perempuan ini. ngomong2, serial ini juga serial kesukaan Rindu lho... :D
ReplyDeleteIroh pulang kampung ya? Pas lebaran :D
ReplyDeleteUntuk Dea: setujuh! sudah ga sensitif, kok pinjem2 gitar segala si Kar. Ga rela kalau Dea mau melupakan? (loh, kok pembaca yang emosi ya? hihihi)
Hehehehe.... aku selalu terhipnotis kalo baca EP.... rasanya mengalir aja... tapi gak habis pikir, kok bisa sih Mbak Endah buat cerita yang ringan renyah tapi dalam maknanya... heu heu heu ... salut salut.. sekali lagi salut..
ReplyDeleteDan ngomentarin tentang Dea.... aku pernah pada posisi seperti Dea itu hihihi... sebel banget dibegitukan.... *ikutan Meli, esmosi hihihi
jadi inget jaman dulu.... mosok, saya disuruh ngasih les sama cewek yang ditaksir orang yang saya taksir.... plis deh....
ReplyDelete@G: bisa terbayang dirimu bersikap 'begitu" hahahahahaaa... pokoknya...
ReplyDelete@Meli dan Deasy dan Heni: ini dia, para perempuan ceria yang pernah juga jadi remaja kayak Dea.
@Deasy: ihik... jadi malu... cuping hidungku kembang-kempis jadinya :D