Aku tak tahu apakah dia masih mengenaliku. Mungkin sudah banyak perubahan pada penampilanku. Jauh berbeda dengan saat aku pertama mengunjunginya.
***
Di pasar Beringharjo yang ramai, delapan belas tahun yang lalu, walau waktu masih menunjukkan pukul 3 dini hari, aku bersama seorang teman berkeliling mengitari pasar. Niat kami mencari informasi yang dibutuhkan untuk tugas lapangan. Saat itu kami sedang mengikuti pelatihan jurnalistik.
Entah apa yang akan kami cari sebagai bahan tulisan. Kami hanya memandangi para wanita-wanita perkasa, yang bertugas sebagai kuli angkut dan bongkar muat pasar.
Tiba-tiba aku sadar telah terpisah dari temanku. Aku yang seorang pendatang, dengan keterbatasan bahasa, hanya bisa bingung kesana-kemari. Seorang diri di antara orang-orang yang tak kukenali hampir membuatku putus asa. Sanpai-sampai ada orang iseng yang menawarku segala. Wajarlah, gadis keliaran malam-malam disangka menjajakan diri. Untunglah ada seorang wanita tua penjaja gula merah yang sejak tadi memperhatikanku. Dia mengatakan kepada orang iseng tersebut kalau aku itu cucunya. Orang tersebutpun pergi sambil bergumam tak jelas.
Wanita tua itu menanyakan keadaanku dalam bahasanya yang khas. Aku terbata-bata menjawabnya.
Sambil nyeruput teh yang ditawarkan padaku, aku memperhatikan wanita tua itu berjualan. Saat itu sudah pukul 5 pagi. Semakin banyak orang berbelanja, baik untuk kebutuhan sendiri maupun untuk warung atau usaha lainnya. Lama-lama, aku tidak bisa berdiam diri, sambil sesekali berbincang dan bercanda, walau dengan dialek yang berbeda, aku ikut membantunya, menimbang dan membungkuskan gula merah untuk para pembeli yang semakin banyak.
Tanpa terasa aku merasa begitu dekat dengan sosoknya, di balik kesederhanaannya dan kesahajaannya ada kebaikan budi yang memancar. Terasa hangat olehku. Seakan aku sudah mengenalnya sebelum ini.
Tiba-tiba aku melihat temanku berjalan di antara orang-orang yang lalu lalang. Saat itu waktu menunjukkan pukul 7 pagi, dan tentu saja aku belum mandi. Aku berlari menghampiri temanku. Kemudian kami berpamitan. Wanita itu tersenyum menyalami aku dan memelukku lama sekali. Sempat kaget karena tidak terpikir akan sedemikian sambutannya.
***
Di lorong pasar Beringharjo yang kini tampak lebih modern, aku mencari-cari di antara kios-kios yang ada. Bertanya sana-sini dan akhirnya mendapatkan jawaban.
Wanita tua itu sudah lama tidak berjualan di pasar. Dari cerita yang simpang siur aku mendapat kesimpulan, sehari setelah bertemu denganku, putri satu-satunya tewas tertabrak truk pengangkut saat akan membantu berjualan. Sejak saat itu dia sakit jiwa, setiap hari kerjanya berkeliling pasar. Hanya berjalan.
Aku berniat pulang, saat tiba-tiba kami telah saling berhadapan. Wanita tua itu, pakaiannya kumal, tubuhnya bungkuk dan renta. Rambutnya gimbal. Dia sama sekali tak peduli dengan sekelilingnya. Dan akupun hanya bisa tertegun memandangnya.
Dalam gelisah malam, kulihat sekelebat sinar dari matanya. Entah memancarkan kekecewaan atau kesedihan. Dengan badan membungkuk, dia melangkah terseok. Berjalan menuju samar cahaya di ujung pasar.
Mengharukan Deasy...
ReplyDeleteMenyentuh sekali kisah perempuan penjual gula ini.
ReplyDeleteSalam Senin, Deasy :)
Aih.....sedang melankolis membaca tulisan ini... jadinya .... hiks..haru...biru....
ReplyDeleteTerharu..!!!
ReplyDeletesederhan namun mengena kesedihan. Mengharukan ceritanya.
ReplyDeleteSalam.sederhan namun mengena kesedihan. Mengharukan ceritanya.
Salam.
Hikss.. ini kisah nyata ya, Deasy? :(
ReplyDeletehiks..komen yg sama dengan indah... :( ini terasa nyata sekali...
ReplyDeleteTerima kasih semuanya... Ini memang berdasarkan kisah nyata :)
ReplyDelete