Isabel : Family Portrait

Gambar diambil dari sini
Suara itu kembali terdengar, kegaduhan yang sangat kutakuti. Aku menutupi kepalaku dengan bantal berharap dapat meredam suara bising itu agar tidak terdengar telingaku namun sepertinya usahaku tidak cukup ampuh karena aku masih dapat mendengar teriakan-teriakan itu. 

Aku beranjak menyalakan televisi dan mengatur volume suaranya cukup keras namun mataku hanya nanar menatap layar tanpa mampu mencerna adegan demi adegan yang silih berganti di hadapanku.
Aku mencoba fokus ke layar kaca namun aku hanya menjadi semakin gila. Aku meraih remote dan menekan tombol off lalu membaringkan tubuhku di ranjang. 

Sesaat keadaan membisu. Aku menunggu dengan perasaan was-was dan kecemasanku pun berlanjut ketika suara itu kembali terdengar. Aku beranjak bangun dari tempat tidurku yang hangat untuk menyalakan komputer serta tidak lupa menyumbat telingaku dengan earphone dan menyetel volume yang bisa memekakkan telingaku, namun aku tidak peduli karena saat ini apa saja akan aku lakukan agar tidak perlu mendengar suara kedua orangtuaku yang sedang bertengkar. 

Aku mencoba menenggelamkan diri dalam game-game yang kumainkan dengan setengah hati namun pikiranku tidak sepenuhnya dapat teralihkan dari suara-suara yang timbul tenggelam dari pendengaranku. Game-game yang biasanya mampu menghiburku kini terasa begitu hampa dan sama sekali tidak mampu menampilkan senyuman di wajahku. 

Aku menghela napas panjang dan mematikan semua peralatan elektronikku lalu duduk membelakangi pintu sambil mendekap kedua lututku dan menjadikan tubuhku bagai versi hidup sebuah kursi goyang. Keadaan ini mengingatkanku pada masa kecilku yang mana kala aku tertidur dalam buaian, Mamaku selalu menggoyangkan buaian tempatku merajut mimpi setiap kali dia melihatku gelisah dalam tidurku. Ayunannya yang lembut mampu menenangkanku dan mengantarku kembali ke alam mimpi tanpa terbangun dari tidurku. 

Perasaan itu tersimpan erat dalam benakku dan membuatku suka menggoyang-goyangkan tubuhku tanpa kusadari setiap kali aku sedang gelisah dan butuh untuk ditenangkan. Dan kini, aku menggoyang tubuhku semakin cepat dengan harapan dapat kembali menemukan ketenangan dan kenyamanan itu di tengah keriuhan suara-suara di dalam kamar di seberang kamar tidurku. 

Telingaku terasa panas mendengar semua makian yang keluar dari mulut Papaku dan samar-samar aku mampu menangkap isak tangis Mamaku di tengah-tengah teriakannya membalas makian Papaku. Hatiku terasa teriris. Sekuat tenaga aku menahan tangis. Ingin rasanya aku berlari keluar dari kamarku dan menghambur masuk ke kamar mereka, memohon agar mereka berhenti bertengkar karena aku tidak sanggup lagi mendengarnya, namun kakiku terasa sungguh berat untuk beranjak. 

Dan lagi, aku takut, sangat takut akan reaksi kedua orangtuaku bila aku menghampiri mereka ketika mereka sedang bertengkar. Aku pikir mereka mengira aku tidak tahu mereka sering bertengkar seperti ini karena mereka dengan hati-hati selalu memilih bertengkar di waktu setelah jam tidurku. 

Awalnya aku tidak mengetahui tentang pertengkaran mereka, semuanya terjadi secara tidak sengaja ketika suatu malam aku terbangun dari tidur nyenyakku karena merasa sangat haus. Aku masih mengantuk ketika merayap turun dari tempat tidurku menuju dapur untuk mengambil segelas air demi memuaskan dahagaku. 

Mataku masih setengah terpejam ketika berjalan kembali ke kamar namun samar-samar telingaku mendengar suara-suara yang awalnya tidak terlalu kuperhatikan sampai kemudian aku mengenali bahwa suara bernada tinggi yang kudengar itu adalah suara kedua orangtuaku. Serta merta mataku tiba-tiba terbuka sepenuhnya. 

Tanpa sepenuhnya sadar, aku mendapati diriku merapatkan telingaku ke pintu kamar orangtuaku dan menajamkan telinga untuk mendengar mereka apa yang sedang mereka bicarakan.  Hatiku terpukul mendengar nada suara keras Papaku dan tangisan mengiba Mamaku. Sebagian diriku ingin tetap berada di sana untuk mencuri dengar lebih lanjut tetapi sebagian diriku yang lain menyeret tubuhku kembali ke kamar.  

Aku berjalan setengah melayang dan berusaha keras untuk kembali memejamkan kedua mataku, berharap semuanya hanyalah mimpi buruk yang akan menghilang ketika aku terbangun di pagi hari.  Ya, semuanya ini pasti hanya sekedar mimpi buruk, aku mencoba menyakinkan diriku dan kembali tertidur dalam kebingungan. 

Namun keesokan paginya aku tidak bisa sepenuhnya mengenyahkan apa yang aku dengar semalam. Kuperhatikan wajah kedua orangtuaku tampak tegang dan menghindari bertatapan muka satu sama lain. Mereka menyunggingkan senyum terpaksa ketika melihatku menghampiri meja makan tempat di mana kami biasa berkumpul di pagi hari. 

Papaku adalah idolaku, dia adalah orang paling baik hati yang pernah aku kenal. Aku sangat menyayanginya. Aku ingat pernah bilang ke Mamaku, bila aku besar nanti aku ingin menikah dengan Papaku. Mamaku tertawa kecil mendengar impianku itu sambil mengelus sayang kepalaku. Namun pagi itu, aku menjaga jarak dengan Papaku, secara reflek aku menghindar darinya ketika ia ingin mencium pipiku. Otakku masih merekam suara bernada keras yang dilontarkan Papa ke Mama semalam.  Aku bingung, sungguh bingung. Apakah yang ada di hadapanku ini Papa yang sama seperti yang selama ini aku kenal? Apakah yang semalam ada di kamar adalah orang lain yang mempunyai suara sama seperti Papa? 

Mamaku adalah ibu paling penyayang yang pernah aku kenal, tak pernah sekalipun Mama memarahiku. Ketika aku berbuat kesalahan, Mama memberitahuku penuh kelembutan bahwa apa yang aku lakukan itu salah dan memintaku untuk tidak mengulanginya lagi di lain waktu. Biasanya aku langsung mengangguk dan memeluknya serta berjanji tidak akan melakukannya lagi. Dan aku memang tidak pernah melakukan kesalahan yang sama untuk kedua kalinya. Aku sangat sayang Mamaku namun pagi itu aku tidak sanggup menatap matanya, masih terekam jelas dalam ingatanku betapa mengibanya suara Mamaku semalam ketika bertengkar dengan Papa. Mama, sosok wanita kuat dan tegar yang selalu menjadi tempatku mengadu kala aku sedang bersedih dan senyumannya mampu mencerahkan hari termendungku, namun semalam mendengar Mama menangis membuatku merasa kehilangan pegangan. Mama menangis? Sekarang, ke mana lagi aku harus mengadu ketika aku sedang ingin menangis? 

Aku sayang kedua orangtuaku. 

Aku menghentikan goyangan tubuhku dan beranjak ke meja belajarku untuk mengambil sehelai foto keluarga dari dalam laci sebelah kanan. Dalam foto itu tampak kami bertiga yang sedang tersenyum bahagia sambil menatap sang juru kamera yang memberikan aba-aba agar kami tersenyum pada hitungan ketiga.

Tanpa kusadari tanggul pertahananku pun tak sanggup lagi menahan desakan airmata yang menetes berjatuhan tanpa dapat lagi kucegah membasahi foto yang mulai tampak usang karena seringnya airmataku membanjiri permukaannya.  Airmataku jatuh semakin deras ketika aku mengelus sayang kedua wajah orangtuaku. 

Mama.. Papa.. aku sayang kalian. Aku tidak ingin kalian berpisah. Tolong jangan membuatku harus memilih ikut dengan siapa karena aku sayang kalian berdua. Aku menciumi pipi kedua orangtuaku satu per satu. Aku beranjak kembali ke tempat tidurku, masih sambil menggenggam sehelai foto yang bagaikan harta paling berharga untukku dan kudekap erat di dadaku karena aku tidak ingin ada yang mengambilnya dariku, sambil berbisik lirih dalam doaku. 

Tuhan, tolong satukan kembali kedua orangtuaku dalam kebahagiaan. Kembalikan kehangatan dan keceriaan itu dalam keluargaku. Dan aku tertidur sebelum sempat menyelesaikan doaku dan airmata masih menyisakan jejak di sudut mataku. 

Aku, Isabella, 10 tahun, hanya ingin kalian tahu bahwa aku sayang kalian berdua, Ma, Pa. 

~.*.~
In our family portrait we look pretty happy.. 
We look pretty normal, let's go back to that
In our family portrait we look pretty happy.. 
Let's play pretend, act like it goes naturally 
"Family Portrait" by Pink
~.*.~

Cerita terkait bisa diliat di "Lucy & Isabel".

5 comments: