Puisi-Puisi Irwan.AR

Balada seekor capung

Ada seekor capung yang tak bisa pulang, ia tersesat oleh malam sementara lampion yang selalu ia bawa lenyap entah kemana.

Jalan yang disangkanya bisa ia mengerti, nyatanya hanya sekumpulan kebingungan yang tak henti menyandera pikirannya.
Himney kematian mendengung

Memburu, menghantui kaki nya

sayap nya gigil oleh hawa kecemasan

matanya yang besar mengkerut pias oleh ketakutannya sendiri.

Ia tak hanya tak bisa pulang, juga alpa bangsanya, lagu kenegaraan dan warna benderanya. Ia juga kekosongan rindu yang senantiasa menggit lembut seperti es krim ketika malam menyergap tubuhnya dalam lautan kesunyian.

“ aku kehilangan rindu, aku amnesia, duh…” lirih ia mengadu

Tiba di segaris perjanalan yang lurus membentang, ia menemukan stasiun-stasiun yang begitu sepi, tak pernah ia merasakan kesepian yang sangat seperti saat ini. Di sepanjang peron Angin hanya berdehem lalu membunyikan kengerian dengan lirih. Lalu gerbong-gerbong kereta bisu dan berkarat. Kata hanya ia temukan pada dinding apa saja yang kusam dan tak utuh lagi. Sepertinya makna pun telah banyak yang putus atau tak selesai.

Ditinggalkan tempat itu, lalu memburu hutan-hutan dengan kerimbunan dan aroma pinus yang basah, tetapi disana hanya tanah lapang dengan sebuah kamboja besar ditengahnya, nisan-nisan tergolek tak teratur memenuhi tanah lapang. Disnikah cerita tentang kebiadaban resah dunia ini telah dilukiskan ?

“ duh! Bahkan aku takut menduga-duganya,”
Dengan keputus-asaan yang memuncak ia melesat tinggi ke langit. Berjuta kesedihan dipanggulnya susah payah yang membuatnya begitu emosional memacu angin dengan sayapnya yang berdengung keras. Air mata tumpah dibawanya pula, nisan-nisa terkubur oleh air matanya yang membanjir.

“begitu bengis kah jalan yang kau berikan ? tubuh ku yang begitu pipih telah direinkarnasi dengan luka yang sama. Aku bahkan menjadi begitu hafal nyanyi sendu itu, aroma anyir darah dari luka yang terus menganga!”

Pada bumi yang tak mau berpihak dengannya, ia tinggalkan

Pada tanah yang menggersangkan rindu nya, ia tak mau lagi berpijak

Pada batu nisan yang telah menjadi kekasih sepanjang kisah, kali ini ia mesti menceraikannya bersama sepotong bulan yang mengintip dari reranting kamboja.

Di langit ia memilih bermukim, pada angan yang mencandui dan masih mau menemaninya tidur…

(16 April 2011, melintasi Semarang)


Rerumput

Udara menyandera gerak mu

Hinga kaku

Kaki ku

Melindas tubuh mu

Sampai beku

Lalu

Kau pun menciut

Jadi rumput yang semu

***

IRWAN. AR

*lelaki yang ditinggalkan karena memilih puisi sebagai jalan hidup. tinggal di makassar. tidak menyelesaikan kuliah. kerja apa saja

1 comment: