Perempuan Penjual Wadai (1)

Hampir setiap pagi selama beberapa hari ini aku mendengar suara nyaring perempuan itu. suara yang menawarkan dagangan yang dia jual. Berkeliling dari satu kompleks ke kompleks lainnya.

Wadai… wadai…” begitu teriaknya.

Membangunkanku dari tidur-tidur ayam setelah adzan subuh. Awalnya aku kerap terganggu dan belum bisa membiasakan diri dengan teriakan di pagi buta itu.

“Bang, Emak-emak itu jualan apa sih?” begitu tanyaku suatu hari ketika awal-awal mendengar teriakannya.

“Wadai.” Abangku menjawab singkat. Aku pun malas bertanya lebih lanjut, lebih baik kuteruskan saja tidur-tidur ayamku.

Jam segini masih terlalu dini untuk bangun. Patokanku masih WIB seperti halnya di Jawa, padahal kini aku sedang berada di tanah borneo. Tentu saja satu jam lebih cepat ketimbang di Jawa. Dan biasanya, jika patokanku adalah waktu di Jawa, Jam segini itu baru adzan subuh, dan kebiasaanku adalah masih meringkuk di bawah selimut yang hangat untuk melawan hawa dingin.

“Wadai.. wadai…”

Teriakan itu sudah dekat ke rumah yang kutempati bersama abangku. Rupanya rasa penasaran apa itu wadai berhasil mengalahkan kantukku. Perlahan aku beranjak dari tempat tidur. Kuseret langkahku menuju pintu untuk membeli wadai.
“Bu…” aku memanggil perempuan itu.

Kutaksir perempuan ini sudah berumur. Mungkin lima puluhan. Kulit keriput di mukanya menunjukkan itu. pakaiannya sederhana, hanya sepotong baju kurung dipadu dengan kain sarung yang sudah sedikit lusuh. Ibu itu menghampiri, mendekati rumah kami.

“Wadainya, ding.” Dia menurunkan bakul dari kepalanya.

O ini yang namanya wadai. Terjawab sudah rasa penasaranku. Aneka penganan dan kue-kue basah khas Banjar terhidang di hadapanku. Persis seperti jajanan pasar kalau di tempatku. Beraneka bentuk, jenis, dan warna. Aku cicipi satu.

“Hmmm… “ aku mengunyah pelan-pelan. Enak menurutku. Tak lama tanganku sibuk mengambil beberapa kue yang dijual perempuan itu. Segera setelah aku membayarnya, si ibu beranjak pamit.
Itulah perkenalanku dengan wadai. Sekaligus perkenalan dengan penjualnya yang seorang perempuan paruh baya. Belakangan kuketahui  perempuan itu biasa dipanggil acil Siah. Mulai hari itu aku menjadi pelanggan tetap Acil Siah.

Awalnya aku jarang ngobrol berpanjang lebar dengan acil Siah. Beberapa bahasa Banjar masih sulit aku pahami. Acil Siah lebih banyak berkata-kata dalam istilah Banjar. Itu yang membuatku malas untuk ngobrol berpanjang-panjang dengannya.

Namun hampir dua minggu ini Acil Siah selalu hadir di rumah kami. Memecah sepinya pagi hari di komplek tempat kakakku tinggal. Sebuah komplek asrama polisi di Banjarmasin. Dan selama dua minggu itulah Acil Siah sukses membuatku keluar dari tempat tidurku untuk membeli beberapa penganan yang dia jual keliling.

“Cil, pian sudah lama menjual wadai ini?” Aku mencoba menggunakan sedikit istilah Banjar yang kuketahui.

Inggih, hampir 15 tahun ulun keliling. Suami ulun pergi merantau ke tanah Jawa, namun kada bulik lagi. Makanya Acil sekarang harus cari duit sendiri.” Tanpa diminta Acil Siah memberikan penjelasan yang lumayan panjang atas pertanyaan sederhanaku. Senyumnya yang ramah mampu menyembunyikan guratan kesusahan hidup yang dialaminya.

“Kalau wadai ini, semua buatan pian kah?” tanyaku lagi

Kada, yang buat ini tetangga ulun. Ibu Jubaidah. Dia yang membuat, saya cuma membantu. Kadang ibu Jubaidah sudah mulai membuat wadai-wadai ini dari jam 2 pagi. Dan ulun datang jam 3 subuh untuk membantunya menyiapkan wadai yang siap jual. Sesekali ulun juga ikut buat wadai ini.”
Lagi-lagi Acil Siah menjawab pertanyaan dengan penjelasan yang cukup detil menurutku.

“Jadi, Acil datang jam 3 dan kemudian keliling?”

Nggih, ulun mulai berkeliling manjuali wadai ini bada subuh.” 

“Sampai jam berapa, Cil?”

“Sampai wadainya habis.”

Begitulah, hampir setiap pagi, selalu ada dialog antara aku dan Acil. Kadang-kadang meskipun aku membeli wadainya sedikit, namun obrolan kami bisa lama. Malah beberapa kali Acil datang, aku tidak membelinya karena kebetulan sedang bosan sarapan wadai. Namun Acil selalu saja mampir dan datang membawa cerita baru. Entah tentang anak bungsunya yang hampir lulus smp, atau tentang Ibu Jubaidah yang membuat wadai kegosongan. Selalu ada tawa dan haru ketika Acil bercerita.
Bersambung.......

oOo
Keterangan:
Wadai: Kue, 
Ulun:  saya,  
Pian: kamu (untuk orang yang lebih tua), 
kada: tidak, 
bulik:balik, 
inggih: iya,   
sidin: dia
Nggih, ulun mulai berkeliling manjuali wadai ini bada subuh : iya, saya mulai berkeliling menjual kue ini setelah subuh.

*Sumber gambar: http://www.primaironline.com/images_content/201026penjual%20makanan%20wijna.web.id.jpg
***
Hadi Samsul
Buat saya, menulis itu adalah berbagi. Berbagi ide, cerita, semangat, motivasi, bahkan informasi. Tidak terkecuali dalam fiksi. Saya selalu ingin tulisan saya bermakna bagi yang membacanya. Menulis fiksi sebenarnya bukan hal yang baru. Namun ketidak percayaan diri membuat saya mengubur dalam-dalam aneka tulisan fiksi saya agar tidak terpublikasi. Cukup jadi bagian dari memori, atau paling banter, bagian dari isi harddisk saya hehehe.
Melalui kampungfiksi ini, saya memberanikan diri untuk berlatih menulis fiksi. Selamat datang fiksi di kehidupan hadi, selamat datang hadi di dunia fiksi.  (HS)



21 comments:

  1. bagusssssssssssss :D
    tapi sayang seumur idup belom pernah nyobain makanan itu diatas :(

    ReplyDelete
  2. Waaaaaaaaa tulisan om hadi oke juga ^^
    ditunggu lanjutannya ^^

    Sama dgn mba pungky.. aku juga belum :(

    ReplyDelete
  3. lho? bersambung? oke deh ditunggu lanjutannya ..

    ReplyDelete
  4. kayanya enak.. mau juga dun, Hasdul :)

    ReplyDelete
  5. kok bersambung, kang ? diantosan atuh ..

    ReplyDelete
  6. saya suka ceritanya...dan bagus juga tulisannya Had.tapi pleasee deh jangan GEER yah..hihihi

    ReplyDelete
  7. yep...bagus..jadi mikir, kapan lo ke kalimantan, di? atau wawancara siapa nih buat riset? bvb ya? hihihiihihi

    ReplyDelete
  8. lain kali kali si acil datang pesan pisang kapit boleh kada'......:) nice story

    ReplyDelete
  9. jujur, saya sumringahhhh. bungah hahaha... langsung besar kepala dipuji kalian. makanya, tolong jangan dipuji, dikritisi juga dong kurangnya dimana, soalnya saya beneran pengen belajar jadi penulis fiksi heuheu...

    wadai itu kue. kalau di kita khas jajanan pasar gitu lah...

    ReplyDelete
  10. @Pungkay: serius pung? saya langsung adigung nih kalo dipuji... orang narsis kok dipuji xixixi
    @Mira:makasih mira... wadai itu kue kok, cuma istilahnya aja kali yg diganti
    @Dimas: harusnya engga sih :D
    @Anonymous1 (suri): bole, nanti kalo gw ke kalsel lagi ya
    @anonymous2: muhun, ku admin dipotong geuning
    @sari: sumpelo sar? bener deh gw langsung berasa gede hulu hahaha
    @Winda: enam atau tujuh taun yg lalu kayaknya, lupa, udah lama juga....
    @inge: tunggu besok kali mak
    @zakia: tunggu besok, si acil bulik

    ReplyDelete
  11. Yuhuu.. HS, gw nunggu sampe tuntas semuanya baru mau kritik ah.. Hihi.. ga ding, terus terang, gw surprise, sebab dibandingkan sama cerpen awalnya elo di K******a itu, yg ini jauh lebih bagus ;)

    Good job deh pokoe.

    ReplyDelete
  12. Saya suka. Mau bilang apa lagi yah? Ditunggu sampai habis dulu ah sebelum dibantai. #eh?

    ReplyDelete
  13. HS: wah, bagus nih ceritamu. Rupanya dikau memang serba bisa. Kalu kritik2 lewat japri aja, biar GR-nya gak mengempis hahahahahaaa... :D

    ReplyDelete
  14. Hihihi... selamat untuk fiksinya.... komen lanjutan menyusul setelah tamat yeee

    ReplyDelete
  15. wah, gue berasa hadir disana ikut beli wadai... :D
    tapi bacanya mesti pelan2 nih biar bisa nebak2 arti bahasa daerah yang dipergunakan:) -Ria-

    ReplyDelete
  16. @G, @Mbak Endah, @meli: kritik di sini aja, tujuan saya belajar kok hehehe... saya pengen bener deh punya fiksi sebagus kalian biar kelak cerita saya nyuluh2 ngajak orang buat ber-KB bisa jd buku kayak n5m r3w itu hehehehhe

    ReplyDelete
  17. @Deasy: hehe, ini bikinnya susah. oya untuk admin, tolong diedit dong pas kalimat "Wadai, Mas" diganti jadi "Wadai, ding"
    @Ria: sebenernya arti2 kata yg dicetak miring itu udah ada, tp dipotong sama admin, keknya ada di bagian 2

    ReplyDelete
  18. kawalku pas kelas 6 sd gin juwalan wadai. jadi keingatan dianya 'am.

    ReplyDelete
  19. Ceritanya menyentuh banget, awalnya juga aku kurang paham bahasa Banjar tetapi sekarang uda banyak pahamnya hehe...
    Aku juga senang beli wadai..

    ReplyDelete