Aku dan hujan itu awalnya bermusuhan! Iya aku tidak main – main dan bukan sekedar bercanda atau mengada – ada. Tapi ini benar – benar terjadi.
Ah, kalian pikir aku pasti sudah gila karena begitu tidak sukanya pada hujan. Nah, aku yakin jika aku beberkan cerita dari diriku kalian akan mengerti sebabnya aku tidak suka pada hujan. Kau mau tahu apa alasannya? Pssst, tidak lain karena hujan tidak bermaksud baik dengan membasahi bumi melainkan hanya untuk membasahi diriku semata.
Hmmm? Kalian tidak percaya akan kata – kataku? Aku akan membuktikannya dengan fakta – fakta berikut ini.
Pada suatu sore menjelang jam pulang kantor, langit tiba – tiba menjadi gelap gulita tak menyisakan secercah sinar mataharipun untuk menghangatkan bumi. Beberapa saat kemudian diiringi gemuruhnya suara guntur kusaksikan air hujan mulai turun membasahi bumi. Aku masih tenang – tenang saja karena aku yakin jika hujan sudah turun lama maka itu tandanya sebentar lagi akan reda. Ternyata hari itu dugaanku salah besar.
Aku menunggu bersama puluhan orang lainnya di lobby gedung berharap agar hujan segera reda. Tapi harapanku menguap seiring berjalannya waktu yang meninggalkan sore menuju malam hari. Hujan yang turun bukannya mereda melainkan bertambah deras. Aku mulai khawatir akan kemalaman sampai dirumah karena tidak dapat segera meninggalkan gedung ini untuk berada di jalan menunggu kendaraan pulang. Aku melirik ke jam tangan yang ada di lengan sebelah kiri dan terpana melihat kenyataan bahwa aku sudah menunggu di lobby selama 1 jam. Kulangkahkan kaki keluar menuju pintu dan hembusan angin yang membawa air hujan langsung menyambut diriku disertai protes dari orang-orang yang ada disana. Terpaksa aku menutup pintu lobby kembali dan mundur setapak dua tapak.
Ya, berlindung disini memang aman tapi mau sampai kapan? Aku menggerutu dalam hati dan memutuskan bahwa aku harus melakukannya sekarang atau tidak sama sekali. Dan dengan membuka payung kecil mungil ringkih itu aku melangkah keluar dari lobby. Menyambut terpaan angin yang menyertai hujan deras ke tubuhku. Payung yang aku gunakan itu hanya bisa melindungi bagian kepala. Karena angin bertiup dari kiri, kanan, depan, belakang dan tidak butuh waktu lama sebelum akhirnya tubuhku basah kuyub. Bahkan air hujan mulai merembes masuk di celah-celah payung membasahi kepalaku. Belum lagi aku harus melewati genangan air yang dengan cepat timbul di badan jalan. Dalam sekejap, mulai dari tapak kaki hingga ke betis terasa berat untuk melangkah. Karena aku betul-betul sudah basah total mulai dari atas hingga ke bawah.
Kelihatannya aku harus masuk dulu ke dalam pertokoan itu kalau tidak aku bisa bertambah basah nih, aku terpaksa memutuskan untuk menyerah melanjutkan perjalanan menuju halte bus. Dengan tubuh yang semakin berat (sudah berat ditambah dengan baju yang basah menempel erat) aku melangkah masuk ke dalam pertokoan tersebut. Dan kalian tahu apa yang terjadi selanjutnya? Hujan berhenti total. Iya! Langsung berhenti begitu saja tanpa mereda dengan perlahan-lahan atau menyisakan rintik-rintik. Aku yakin hujan itu sangat puas karena telah berhasil menarikku keluar dari lobby kantor dan membuat diriku basah kuyub seperti sekarang ini.
Lalu kejadian lainnya lagi ketika aku bersama orangtuaku sedang menuju rumah dari kegiatan rutin check up di rumah sakit. Ketika masih dalam perjalanan, aku sudah merasa cemas ketika memandang ke arah langit yang begitu gelap. Sepertinya awan sedang merasa tidak enak badan dan menutupi sinar matahari dari muka bumi. Dengan harap-harap cemas aku berdoa semoga hujan tidak turun sebelum kami semua sampai di rumah. Masalahnya, rumah kami terletak di dalam gang kecil. Itu artinya kami harus berlari melewati hujan sebelum sampai ke dalam rumah sekeluarnya dari taxi. Dalam sekejap doaku langsung dijawab dengan lebatnya hujan turun pada saat itu juga.
Aku masih berusaha berpikir positif karena jika hujan turun sekarang tentunya pada saat kami sampai dirumah, hujan sudah mereda. Setidaknya yang tersisa hanya rintik-rintik saja, begitulah harapanku. Menit demi menit berlalu dan aku mulai yakin harapanku sia-sia belaka karena hujan sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda berhenti. Melainkan air yang ditumpahkan dari langit itu semakin deras dan deras. Aku sudah membayangkan kemungkinan terburuk bahwa hujan sepertinya tidak akan rela sebelum aku kembali basah kuyub.Dan kelihatannya itulah yang akan terjadi karena begitu taksi mencapai tempat tujuan kami, hujan malah semakin gencar menumpahkan semua cadangan airnya (memang hujan punya cadangan air?) ke muka bumi ini.
Aku menarik napas panjang dan meminta ibuku berteduh di ujung gang bersama sepupuku. Sementara aku dan ayah pun bergegas ke rumah menerobos hujan yang tidak kunjung henti juga menyirami bumi. Aku berlari melewati genangan air yang keluar dari selokan di pinggir kanan kiri jalan dan berusaha sebisa mungkin menghindari kucuran air yang tumpah dari rumah-rumah yang kulalui. Kurasakan dengan cepat seluruh tubuhku mulai berat karena baju yang kukenakan telah basah. Dan jika kalian menebak bahwa hujan sekali lagi berhenti dalam sekejap begitu aku sampai di rumah untuk mengambil payung maka tebakan kalian benar. Dengan tercengang aku memandangi langit yang terang benderang tanpa menyisakan sedikitpun rintik-rintik sebagai tanda bahwa telah turun hujan lebat sebelumnya.
Tapi pikir punya pikir daripada aku berkeluh kesah mengenai hujan yang tidak suka pada diriku, mungkin sebaiknya aku merubah cara berpikirku. Aku seharusnya berpikir bahwa aku pasti sangat istimewa karena hujan khusus menumpahkan curahannya pada diriku dan memastikan aku harus basah kuyub sebelum akhirnya ia berhenti. Coba ingat-ingat lagi ceritaku mengenai aku berusaha menunggu hingga hujan berhenti dan ternyata harapanku tidak kunjung datang. Tidak sebelum akhirnya aku memutuskan untuk melangkah keluar, menyambut hawa dingin dan angin yang membawa air hujan menerpa tubuhku. Perlakuan khusus seperti itu hanya akan terjadi jika hujan juga menaruh perhatian pada diriku khan? Bahwa dia ingin aku merasakan segarnya berjalan ataupun berlari dibawah curahan air hujan. Membiarkan air hujan melarutkan semua kekesalanku, kegundahan hatiku walau hanya sesaat. Membiarkan air hujan membantu melupakan betapa terkadang melelahkannya menjadi orang dewasa dengan sejenak menjadi anak-anak kembali. Yang menyambut air hujan dengan penuh keriangan tanpa ada pikiran apa-apa…
Ah, hanya aku dan hujan…
Aku dan hujan
- By Ria Tumimomor
- On March 30, 2011
- 11 comments
Tags:
#FictionholicSociety,
Drama,
Ria Tumimomor
Kampung Fiksi adalah komunitas dan platform literasi yang didedikasikan untuk mendukung perkembangan penulis fiksi di Indonesia. Sejak berdiri, Kampung Fiksi telah menjadi ruang kreatif bagi para penulis untuk belajar, berbagi, dan berkarya. Melalui program-program unggulan seperti #J50K—tantangan menulis 50.000 kata dalam satu bulan—dan berbagai workshop serta diskusi literasi, Kampung Fiksi terus mendorong munculnya karya-karya fiksi yang otentik dan bermakna.Dengan semangat kolaborasi dan inovasi, Kampung Fiksi menjadi tempat di mana cerita-cerita hebat dimulai dan komunitas literasi di Indonesia tumbuh bersama.
Assalamu'alaikum yaaa...salam kenal kawann...aku suka loh sama hujan..hehee...disana ada keindahan..meski relatif memang...hehee..follow back blog q yaaa...
ReplyDeletehttp://monggopinarak-miracle.blogspot.com/
dan ini...
http://nickzone-miracle.blogspot.com/
kutunggu kunjunganmu kawann...^^
Unik, terima kasih sudah mampir ya...
ReplyDeleteBisa membayangkan betapa kesalnya... :(( suka dengan deskripsi "payun kecil mungil ringkih", soalnya sering ngalami juga, lupa bawa payung besar, pake payung kecil yang justru merepotkan, apalagi kalau payungnya nyungkup kena terpaan angin... huaaaaaa... :))
ReplyDeleteAsyik, nih...
iya... kupikir, hanya mereka yg diberkahi, yg diberi hujan oleh langit.
ReplyDeleteiya... kupikir, hanya mereka yg diberkahi, yg diberi hujan oleh langit.
ReplyDeleteiya... kupikir, hanya mereka yg diberkahi, yg diberi hujan oleh langit.
ReplyDeleteAku suka berhujan-hujan kalau lagi sedih... ;-)
ReplyDeleteCeritanya manis ;-)
Tak taukah kau kalau hujan adalah sajak kerinduan? Suara rintik itu seperti musik, ia seperti menyenandungkan kerinduan yang mendalam, bau basah yang menyeruak karena tetesannya di bumi adalah bau kehidupan. jadi kenapa harus membenci hujan???
ReplyDeleteyap bener banget, merubah cara pandang itu lebi baguss... I like it
ReplyDeleteAwan bisa juga tidak enak badan...
ReplyDeleteHahay...hujannya jatuh cinta padamu.. :) :)
Paragraf terakhirnya itu mengingatkan gua akan quote yang kurang lebih bilang : daripada menunggu badai berhenti, lebih baik belajar bagaimana menari di tengah hujan :D
ReplyDeleteAtau yaa.. seperti itulah kurang lebih kalimatnya, ahahaha :p
And ngga tau kenapa, pas baca paragraf yang terakhir itu.. jadi kepikiran bahwa 'hujan'-nya mungkin bisa diibaratkan dengan 'masalah', lucu jugaa betapa ketika 'masalah' itu mulai dihadapii.. malah berhenti menjadi masalah, ahahaha ;)
Nice one, Rii ^o^